Kelelawar di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan (Sulsel) mempunyai keunikan yaitu hidup berdampingan dengan manusia di pusat Kota Watansoppeng. Pakar ekologi satwa liar Unhas, Risma Maulany menjelaskan mengapa itu bisa terjadi.
Habitat kelelawar pada umumnya berada di goa atau hutan lebat yang gelap. Namun berbeda dengan kelelawar di Kabupaten Soppeng yang sudah sejak dulu tinggal dan hidup di pepohonan asam jantung Kota Watansoppeng.
Meskipun berada di tengah kota, kelelawar ini tampak tidak terganggu termasuk saat mereka beristirahat di siang hari. Keberadaan kelelawar di pusat kota ini kemudian menimbulkan pertanyaan bagi sebagian orang tentang habitat asli kelelawar tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Risma Maulany menjelaskan, habitat asli kelelawar sebenarnya dipengaruhi oleh jenis makanannya. Secara umum kelelawar dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kelelawar pemakan buah dan pemakan serangga.
"Kalau secara alami, kan kelelawar itu punya dua kelompok atau ordo besar. Ada yang namanya microchiroptera dan ada namanya megachiroptera. Nah, kalau megachiroptera ini biasanya adalah jenis kelelawar pemakan buah. Kemudian microciroptera ini adalah pemakan serangga," jelas Risma saat dihubungi detikSulsel, Jumat (28/10/2022).
![]() |
Kelelawar atau kalong yang berada di Soppeng disebut merupakan jenis kelelawar pemakan buah. Risma mengatakan penamaan kalong yang disematkan merupakan istilah yang digunakan masyarakat setempat. Penamaan ini bisa berbeda-beda di setiap daerah.
"Jadi kalau kalong itu istilah yah, ada yang bilang kalong, ada yang bilang codot, itu biasanya term yang diberikan untuk kelelawar pemakan buah," ujarnya.
Jenis kelelawar ini memang memiliki kecenderungan memilih tempat tinggal yang dekat dengan manusia. Hal ini karena mereka bisa dengan mudah memperoleh buah-buahan sebagai makanannya.
"Kalau untuk kelelawar buah kecenderungannya itu dia selalu memilih yang berdekatan dengan manusia," kata Risma.
"Atau yang letaknya itu biasanya dengan pemukiman penduduk atau dekat dengan hutan-hutan yang biasanya memiliki produksi buah," sambungnya.
Sementara, jenis kelelawar pemakan serangga, umumnya memilih tinggal di tempat-tempat yang cenderung lebih gelap dan jauh dari manusia. Meskipun begitu, ada juga hewan pemakan serangga yang hidup di tempat gelap seperti gua, atau di pepohonan yang di sekitarnya terdapat sumber makanan.
"Memang yang pemakan buah itu, ada juga yang memang memilih sarangnya di dalam gua. Tetapi mereka tidak sama dengan kelelawar yang pemakan serangga. Biasanya mereka (kelelawan pemakan serangga) letak sarangnya jauh lebih di dalam, sedangkan kalau kelelawar pemakan buah ini biasanya agak di gua bagian depan," jelas Risma.
Kelelawar yang berada di Soppeng merupakan jenis kelelawar buah dengan spesies pteropus alecto. Habitat atau tempat bersarang jenis kelelawar ini adalah pepohonan dengan ketinggian 8-12 meter yang memiliki banyak cabang-cabang primer dan cabang sekunder.
"Pohon yang digunakan sebagai tempat bersarang oleh kelelawar ini biasanya cukup memiliki banyak cabang-cabang primer, dan juga cabang sekunder karena mereka memang dijadikan tempat untuk bergantung," kata Risma.
Selain itu, faktor lain yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan tempat bersarang bagi kelelawar adalah intensitas cahaya dan kebisingan. Risma mengatakan, intensitas cahaya pada pepohonan yang menjadi tempat tinggal kalong cukup rendah dibandingkan dengan tempat tinggal kelelawar lainnya di Sulsel.
"Kalau yang di Soppeng itu yang kami temukan rata-rata intensitas cahaya yang masuk dari tajuk sampai kita ukur di bawah tajuk itu umumnya jauh lebih rendah," kata Risma.
Sementara itu, tingkat kebisingannya jauh lebih tinggi karena berada di tengah kota. Risma mengatakan tingkat kebisingan tempat tinggal kalong mencapai dua kali lipat dibandingkan tempat bersarang kelelawar lainnya di Sulsel.
"Kemudian kebisingannya jauh lebih tinggi dibandingkan tempat lain yang kami ukur. Karena di Soppeng itu di tengah kota, jadi kebisingannya itu jauh lebih tinggi. Jadi tingkat kebisingannya itu di atas 60 db, sementara kalau di Maros itu rata-rata 30 db," ungkapnya.
Risma mengatakan, kelelawar dan jenis satwa lainnya pada umumnya akan memilih tempat hidup yang lebih tenang, jauh dari kebisingan. Kendati demikian, tingkat kebisingan yang tinggi di tengah kota Soppeng ini tampaknya sama sekali tidak mengganggu bagi si kalong.
Menurut Risma, hal itu dikarenakan kelelawar buah memiliki kecenderungan mampu beradaptasi di tempat yang kurang sesuai dengan habitatnya selama mereka merasa aman dari gangguan masyarakat.
"Untuk kelelawar buah, saya melihat ada kecenderungan di beberapa tempat di mana mereka umumnya tidak diganggu masyarakat, itu mereka cenderung bisa beradaptasi dengan kondisi dan situasi setempatnya," kata Risma.
Keberadaan kalong di Soppeng juga lebih terjaga karena adanya regulasi pemerintah yang mendukung perlindungan kelelawar di daerah tersebut. Sejarah historis kerajaan yang notabene juga masih dianggap valid oleh masyarakat Soppeng menjadikan kalong bisa hidup dengan aman tanpa merasa terganggu dengan keberadaan manusia di sekitar mereka.
"Kalau di Soppeng orang tidak berani mengganggu karena ada peraturan atau kebijakan lokal yang memang diturunkan oleh pemerintah setempat sehingga mereka itu tidak ada gangguan dari masyarakat. Sehingga akhirnya kelelawar juga bisa hidup berdampingan di situ karena mereka itu kan dianggap sebagai ikon dari Kabupaten Soppeng," jelas Risma.
(urw/asm)