Keterbatasan fisik tak mematahkan semangat Herman (30) untuk tetap bisa menempuh pendidikan. Pria tunanetra asal Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) itu membuktikannya dengan meraih gelar sarjana di Universitas Islam Makassar (UIM).
Herman merupakan mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) di Fakultas Agama Islam (FAI) UIM. Ia lulus dan diwisuda dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,50 atau mendapat predikat memuaskan pada Selasa (7/6) lalu.
Tentu saja, meraih gelar sarjana itu tidaklah mudah baginya. Herman butuh kerja ekstra dibanding dengan mahasiswa lain pada umumnya. Sebab, di kampusnya belum ada fasilitas khusus untuk penyandang disabilitas. Terlebih, dia satu-satunya mahasiswa tunanetra di kampusnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak ada (program difabel). Hanya itu memang ada sih beberapa dosen yang maklumi (keadaan Herman)," kata Herman saat ditemui detikSulsel di kediamannya, Jalan Teuku Umar 9, Kelurahan Kaluku Bodoa, Kecamatan Tallo, Makassar, Rabu (8/6/2022).
Sebagai penyandang disabilitas, Herman berusaha keras agar tidak tertinggal dengan mahasiswa lainnya di kelas. Berbagai cara ia lakukan agar materi yang diberikan dosen tetap dapat ia terima dengan baik.
Salah satu yang kerap dilakukannya ialah merekam materi yang disampaikan dosen di kelas menggunakan handphone (HP). Setelah itu, rekaman tersebut kemudian ditranskrip setelah tiba di rumah.
"Saya ketik materinya dosen, saya pause (rekaman), baru saya ketik lagi jadi jelas pertemuan pertama, pertemuan kedua, dan pertemuan ketiga," tuturnya.
Herman mengaku tetap mengikuti proses kuliah seperti mahasiswa lainnya, termasuk membeli buku, meski tak bisa ia baca. Namun, pria kelahiran tahun 1992 itu tak mati akal, dengan meminta temannya membaca materi di buku tersebut untuk direkam lalu ditranskrip lagi.
"Tidak ada (buku materi huruf braille), karena nggak ada kampus yang cetak buku dengan huruf braille selain di sekolah saya dulu," ungkapnya.
Aral pun tak bisa ia hindari. Ada kalanya Herman tak berkutik saat dihadapkan pada mata kuliah yang mengharuskan mahasiswa menulis kaligrafi. Syukurnya, dosen pengampuh mata kuliah memberikan toleransi kepada Herman dengan mengerjakan tugas lisan, termasuk saat final semester.
"Itu (mata kuliah Hadis dan Bahasa Arab) kan pakai kaligrafi itu saya tidak bisa 100 persen itu. Ada beberapa dosen itu (diganti) dilisankan (tugas dan final)," kisahnya.
Herman harus membawa pendamping saat mengikuti final tertulis. Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Saat final pun, Herman harus meminta izin membawa pendamping atau menggunakan laptop di hadapan dosen. Terlebih ketika mendapat final tertulis dan soal dibacakan oleh dosen.
"Tapi, saya biasanya bawa laptop kalau begitu (soal dibacakan), jadi saya langsung ketik apa yang dikatakan dosen dan saya minta izin dulu," terangnya.
Herman mengaku banyak terbantu dengan fitur aksesibilitas pada HP yang dimilikinya. Dia bahkan sudah lancar mengetik dengan 10 jari di laptop karena keseringan mentraskrip materi kuliah.
Perjuangan Herman kemudian semakin berat saat dirinya mengurus skripsi. Meski menyandang tunanetra, ia tetap harus bepergian ke rumah dosen untuk meminta tanda tangan. Sekalipun jarak dari kampus dan rumah dosennya tidak dekat.
"Sama rata lah tidak ada bedanya (dirinya dan mahasiswa umum), tapi ada juga (dosen) yang minta saya untuk tunggu di kampus saja," ucapnya.
Terkait biaya kuliah, Herman mengungkapkan mengumpulkannya dari hasil berjualan. Selama kuliah, ia juga berjualan keripik di kampus. Hasilnya dipakai untuk membayar kuliah.
"Saya jual keripik pisang yang dijual guru saya di asrama, saya ambil (modal) Rp 4 ribu lalu saya jual di kampus Rp 5 ribu untuk tambahan biaya transport, karena saya dua kali naik pete-pete kalau mau ke kampus," paparnya.
Herman mengalami kelainan genetik sejak lahir tapi masih sempat melihat. Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.
Herman Alami Kelainan Genetik Sejak lahir
Herman sudah mengalami kelainan genetik pada penglihatannya sejak lahir. Namun, kondisinya saat itu masih bisa melihat. Ia bahkan sempat menempuh pendidikan hingga bangku SMP.
Awalnya, Herman menjalani sekolah di SDN Kaluku Bodoa Makassar. Kemudian melanjutkan sekolah di SMPN 22 Makassar dan lulus pada tahun 2009.
Hanya saja, setelah lulus SMP Herman tak melanjutkan sekolahnya. Dia saat itu memilih untuk menjadi buruh harian. Namun tak berlangsung begitu lama.
Pada 2010, Herman memutuskan untuk melakukan operasi pada matanya. Namun, setelah 10 hari dioperasi, dokter menyatakannya mengalami tunanetra total.
Herman sempat empat tahun menganggur dari pendidikan. Barulah pada 2014 ia kembali melanjutkan sekolahnya di tingkat SMA di SLB-A Yayasan Pembinaan Tunanetra (YAPTI) Makassar.
Dia kemudian lulus pada 2017 dan langsung melanjutkan pendidikannya di UIM. Kini, Herman sudah memiliki gelar sarjana setelah berjuang menyelesaikan studinya dengan kondisi yang terbatas.
Setelah lulus, Herman mengaku ingin fokus mengajar sesama penyandang tunanetra. Mulai dari mengaji, hingga hafalan surah-surah pendek.
Meski begitu, pihak kampus disebutnya sempat meminta dirinya untuk melanjutkan pendidikan magister (S2). Dia pun mengaku berniat untuk melanjutkan kuliah dengan beasiswa LPDP, namun tidak sekarang.
"Dekan minta saya lanjut, tapi untuk saat ini, saya mau mengajar saja dulu, saya berharap ada bantuan dari pihak kampus (beasiswa S2)," kata dia.