Pengamat politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar Prof Sukri Tamma mengatakan politik uang marak terjadi pada momen pemilihan kepala daerah (Pilkada). Menurutnya, politik uang membuka ruang terjadinya tindak pidana korupsi.
"Politik uang itu adalah hal yang selalu terjadi, dan ini menjadi catatan. Padahal regulasi kita sudah sangat bagusnya, berbagai langkah sudah diupayakan para penyelenggara pemilu, para masyarakat, media juga memberitakan terkait politik uang," kata Sukri Tamma kepada detikSulsel, Minggu (11/11/2024).
Dia mengatakan politik uang kerap terjadi karena minimnya kesadaran masyarakat. Selain itu, dia menyebut masyarakat tidak menyadari bahwa menerima uang sama dengan memaksanya memilih kandidat tertentu.
"Bahwa itu (politik uang) adalah sesuatu yang sangat keliru, itu memaksa orang untuk memilih," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, dia mengatakan kandidat yang melakukan politik uang dan terpilih akan berdampak kedepannya. Menurutnya, kandidat tersebut akan memanfaatkan jabatannya untuk mengembalikan modalnya.
"Politik uang kita khawatirkan ada konsekuensi lain, misalnya kelak dia akan jadi utang politik," sebutnya.
"Itu bisa membuka ruang untuk korupsi dan seterusnya. Ada pengeluaran yang sudah dikeluarkan, tentu tidak ada yang mau rugi misalnya, itu tidak hanya kembali modal tapi beserta untungnya. Maka dikhawatirkan itu akan jadi jalan untuk korupsi," tambahnya.
Sukri pun mengingatkan bahwa Pilkada merupakan tanggung jawab semua pihak. Dia mengungkapkan demokrasi adalah milik masyarakat sehingga turut mengambil peran dalam mengawal Pilkada berjalan sebagaimana mestinya.
"Di dalamnya kan termasuk para kandidat, partai politik, teman-teman media, kami di perguruan tinggi, akademisi, dan seterusnya. Semuanya harus terlibat untuk memastikan bahwa proses ini betul-betul sejalan dengan semangat kita untuk mewujudkan kedaulatan rakyat secara baik," jelasnya.
(hsr/ata)