Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengungkap Maluku Utara menjadi salah satu provinsi di Indonesia dengan indeks kerawanan pilkada kategori sedang. Pihaknya pun mengajak masyarakat dan semua pihak bersama-sama menjaga tahapan pilkada berlangsung aman dan damai di Maluku Utara.
Komisioner Bawaslu Maluku Utara Rusli Saraha mulanya menjelaskan bahwa ada dua rilis indeks kerawanan, yakni kerawanan pemilu dan pilkada. Dia mengatakan indeks kerawanan pemilu dan pilkada merupakan dua hal yang berbeda.
"Rilis indeks kerawanan pemilu dirilis oleh Bawaslu RI semenjak Desember 2022. Proses tahapan pemilu hampir selesai, sudah ada pelantikan. Sekarang menghadapi proses pemilihan pilkada dirilis oleh Bawaslu RI Agustus 2024 menempatkan maluku utara di kategori sedang," kata Rusli dalam diskusi yang diinisiasi Gerakan Pemuda (GP) Nuku di Jakarta, Selasa (5/11/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rusli memaparkan ada 72 kontestan yang bertarung dalam pilkada di Maluku Utara, baik gubernur, bupati, maupun wali kota. Mereka memperebutkan 22 kursi yg disediakan di daerah dan kurang lebih ada 50 orang yang bersedia tidak terpilih.
"Situasi ini jika dihubungkan dengan dinamika pilkada maka semua orang berkepentingan termasuk ASN, kepala desa, petani, nelayan, pelaku UMKM berkepentingan semua," tuturnya.
Dia melanjutkan, ada tantangan yang dihadapi pada musim pilkada, yakni potensi politisasi SARA dan politik uang. Dia lantas menyinggung penangkapan mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba oleh KPK yang merupakan efek dari biaya pilkada yang begitu mahal.
"Lalu bagaimana caranya memastikan proses pilkada yang damai? Dimulai dari semua kelompok kepentingan terutama para penyelenggara. Potensi dari kacaunya proses pilkada bisa terjadi karena adanya kecurangan," jelasnya.
Selain itu, sasarannya lebih besar ke penyelenggara entah KPU, Bawaslu, dan jajarannya. Hal ini karena lembaga tersebutlah yang berwenang dalam proses penyelenggaraan pilkada adalah KPU dan Bawaslu.
"Efek dari proses kecurangan tersebut lah yang menimbulkan kekacauan. Karena itu pentingnya integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilihan sehingga bisa tidak terlibat dalam praktik manipulatif," tutur Rusli.
Sementara itu, pakar politik dari Universitas Nasional (UNAS), Dr Safrizal Rambe mengatakan setiap calon kepala daerah harus memahami posisinya ketika ikut serta dalam pesta demokrasi. Setiap kontestan harus bersikap dewasa ketika kalah dalam pilkada.
"Masyarakat juga harus siap untuk berdemokrasi. Demokrasi menumbuhkan proses kedewasaan. Perlu ditumbuhkan dengan upaya partisipasi politik," kata Safrizal.
Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial (FISIP) UNAS ini turut menyinggung persoalan perbedaan sistem yang belum selesai. Salah satunya temuan perbedaan exitpol dan quickcount.
"Persoalan sistem menandakan ada yang belum selesai. Hasil-hasil yang didapat bisa dilihat sekarang, sistem yang dibuat tidak membuat pemilu lebih baik, seperti persoalan kecurigaan orang," paparnya.
Dia melanjutkan, indeks kerawanan pemilu juga menjadi isu strategis yang harus dipikirkan. Safrizal menekankan pentingnya netralitas aparatur pemerintah dan penyelenggara pemilihan.
"Persoalan praktik politik uang, ini perlu adanya komitmen. Jangan menurunkan idealisme hanya karena ketidakmampuan hidup yang lebih baik sehingga tergoda dengan politik uang. Harus menyuarakan hal tersebut. Dimensi-dimensi cultural harus disambungkan," jelasnya.
Di satu sisi, pakar hukum tata negara, Prof Margarito Kamis menilai kerawanan pemilu atau pilkada di suatu daerah turut dipengaruhi kebijakan penyelenggara, termasuk KPU dan Bawaslu. Dia menganggap masyarakat bisa mengikuti proses demokrasi dengan baik ketika sudah menjadi orang yang merdeka.
"Jadi ini pemilu itu produk orang punya akal orang punya hati, orang merdeka, itulah pemilu," tegas Margarito.
Sementara dari sisi survei dalam pilkada, Peneliti Politika Research and Consulting (PRC) Mohammad Alfan Arfilah memotret tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemilu di 80 persen. Artinya ada 20 persen yang memilih menganggap tidak profesional.
"Soal realitas sistem yang banal, bagaimana peran konsultan untuk mengatasi? Menjaga suara itu penting. Hasil temuan dari kandidat hanya memiliki 70 persen saksi di TPS, 30 persennya berarti rawan untuk di eksploitasi," pungkasnya.
Sementara, Presiden Gerakan Pemuda Nuku, Djusman Hi Umar mengemukakan, Maluku Utara sudah berusia 25 tahn sejak pemekaran. Dia menilai, hal ini waktu yang tidak singkat dalam menjalankan roda pemerintahan dan juga proses berdemokrasi.
"Berdasarkan data Bawaslu Maluku Utara itu tercatat tingkat kerawanan pilkada tertinggi ketiga di Indonesia di bawah Sulawesi Utara dan DKI Jakarta. Padahal Maluku Utara dalam 3 tahun terakhir dinyatakan sebagai provinsi paling bahagia," jelasnya.
(sar/asm)