Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), kerap dilanda banjir setiap hujan deras. Kini muncul opsi agar warga yang tempat tinggalnya menjadi langganan banjir khususnya di Kecamatan Manggala direlokasi ke tempat yang lebih representatif.
Usulan itu disampaikan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang dalam rapat di Balai Kota Makassar, Senin (24/3/2025). Rapat yang membahas penanggulangan dan pengendalian banjir itu turut dihadiri Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin.
Kepala BBWS Pompengan Jeneberang, Suryadarma Hasyim mengatakan, opsi relokasi ketika infrastruktur pengendali banjir sudah sulit dibangun. Hal ini dikarenakan infrastruktur seperti waduk maupun kolam retensi membutuhkan biaya besar.
"Solusinya itu tadi saya sudah ngomong ke pak wali kota, yang sudah jalan coba kita relokasi sebaiknya. Kalau kita mau protect, mahal sekali biaya," kata Suryadarma kepada wartawan usai rapat.
Suryadarma mengatakan, proyek infrastruktur pengendali banjir sudah banyak dibangun di Makassar, seperti Waduk Tunggu Pampang dan Kolam Regulasi Nipa-Nipa. Pemerintah pusat mengucurkan anggaran yang besar untuk proyek itu.
"Seperti bangun Kolam Retensi Nipa-Nipa, biaya konstruksinya habis Rp 300 miliar, pembebasan lahannya hampir 1 triliun, jadi hampir Rp 1,3 triliun. Padahal kapasitas tampungnya hanya 2,74 juta meter kubik," tuturnya.
Anggaran pemerintah pusat saat inipun terbatas untuk kembali membangun proyek serupa. Suryadarma menyinggung proyek strategis nasional di Sulsel yang dibiayai APBN saat ini fokus pada Bendungan Jenelata di Gowa.
"Jadi anggaran kita pun tidak bisa kita kucurkan terus menerus (ke Makassar). Saat ini anggaran pemerintah pusat banyak terfokus ke pembangunan Bendungan Jenelata," ucap Suryadarma.
Dengan begitu, Pemkot Makassar harus punya alternatif lain sebagai solusi jangka pendek mengatasi banjir. Suryadarma turut meminta agar pemerintah lebih selektif memberikan izin mendirikan bangunan di wilayah rawan banjir.
"Ke depan jangan lagi diberikan izin untuk memberi izin bangunan di daerah dataran banjir. Bukan banjir yang salah, kita sendiri yang mendekati banjir," tuturnya.
Dia lantas menyinggung Perumnas Antang yang kerap dilanda banjir. Suryadarma menganggap kawasan itu merupakan dataran banjir sehingga memang rawan terdampak ketika hujan deras.
"Kalau di Perumahan Antang Blok 8 dan 10 ya itu karena kawasan banjir, kalau mau itu dibuatkan tanggul untuk melindungi daerah perumahan itu apabila air naik," ujar Suryadarma.
Namun dia kembali menegaskan pembangunan tanggul, waduk atau kolam retensi berat direalisasikan dengan anggaran yang terbatas.
"Itu berat, mahal sekali. Intinya itu jangan kita mendekati dataran banjir. Ada namanya floodplains, itu dataran kayak suatu rawa, tempat air berkumpul ke sana, jangan kita mendekati," tuturnya.
Kabel Bawah Tanah Hambat Drainase
Dalam rapat tersebut, BBWS Pompengan Jeneberang turut menyoroti kabel bawah tanah yang menghambat drainase di Makassar. Kondisi itu dianggap turut menjadi pemicu terjadinya banjir.
"Salah satu kendala yang kami temukan adalah adanya kabel-kabel bawah tanah yang menghambat aliran air dari drainase sekunder ke drainase primer," kata Suryadarma.
Pihaknya menekankan pembenahan infrastruktur drainase menjadi prioritas untuk penanganan banjir. Hal ini untuk memastikan pengendalian daerah aliran sungai (DAS) berjalan dengan baik.
"Sistem drainase yang tidak berfungsi optimal dapat memperburuk kondisi banjir, terutama saat curah hujan tinggi. Hal ini juga berpengaruh terhadap kondisi sungai-sungai, terutama Sungai Jeneberang dan Sungai Tallo," jelasnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
(sar/hsr)