Sulawesi Selatan (Sulsel) termasuk ke dalam 5 besar provinsi dengan kategori rawan tinggi di Pilkada Serentak 2024. Bahkan Sulsel di peringkat pertama untuk kategori paling rawan dalam pelaksanaan tahapan kampanye.
"Indeks kerawanan pilkada (IKP) secara nasional ini sudah dilaunching, Sulawesi Selatan termasuk salah satu dari 5 provinsi yang dianggap rawan tinggi," ujar Anggota Bawaslu Saiful Jihad dalam pemaparannya pada peluncuran IKP Pilkada di Sulsel di Hotel Harper, Senin (9/9/2024).
Sulsel berada di posisi empat dalam kategori rawan tinggi. Nomor urut pertama Nusa Tenggara Timur, disusul Kalimantan Timur (Kaltim) dan Jawa Timur (Jatim). Sedangkan Sulawesi Tengah (Sulteng) berada di posisi kelima rawan tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saiful mengungkap ada 4 indikator yang dinilai dalam menentukan tingkat kerawanan. Yakni indikator sosial politik, pencalonan, kampanye dan pungut hitung.
"Konteks sosial politik berkaitan dengan pelaksanaan pemilu dalam konteks sosial. Misalnya ada penyelenggara kena sanksi etik, baik penyelenggara permanen maupun adhoc. Begitu juga dengan peristiwa intimidasi atau ancaman selama pemilu, termasuk kekerasan yang mungkin terjadi," ujarnya.
Sedangkan untuk indikator pencalonan berkaitan dengan adanya petahana yang maju kembali di pilkada. Termasuk adanya kerabat petahana yang maju.
"Ini bisa berdampak terkait netralitas termasuk adanya calon yang mungkin dari ASN, TNI Polri, pejabat yang menjadi calon. Belum tentu terjadi tetapi ada potensi terjadi hal demikian," ujarnya.
Selanjutnya pada masa kampanye, lanjut Saiful, kerawanan Pilkada Sulsel 2024 berada pada urutan pertama. Kerawanan yang kerap terjadi yakni netralitas ASN, penggunaan fasilitas negara. Termasuk kemungkinan adanya ancaman dan hasutan saat kampanye.
Saiful juga menjelaskan bahwa kerawanan Pilkada Sulsel pada tahapan kampanye disusul oleh NTT, Jatim, Jateng dan Kaltim masing-masing pada posisi kedua hingga kelima. Kemudian untuk tahapan pencalonan Sulsel berada di nomor urut 2 setelah Kepulauan Riau.
Sementara dari aspek sosial politik Sulsel berada di peringkat ketiga. Sementara di kategori ini, Aceh peringkat pertama disusul DKI Jakarta dan NTT. Sedangkan Sulawesi Tenggara berada di peringkat 5. Sedangkan pada aspek tahapan pungut hitung, Sulsel berada di peringkat 21 dari 34 provinsi.
"Sekadar informasi Sulsel adalah tertinggi kedua setelah Papua Pegunungan rekomendasi PSU. Kasusnya tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sulsel. Sosial politik Sulsel berada di posisi 4, pencalonan, kampanye, pungut hitung Sulsel juga masuk. Itulah sebabnya masuk rawan tinggi karena banyak indikator yang kena," ujarnya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Sulsel Mardiana Rusli dalam sambutannya menjelaskan IKP ini tak terlepas dari pelaksanaan Pemilu 2024 lalu. IKP Sulsel pada saat itu masuk kategori rawan rendah karena situasi politik relatif aman dan terkendali.
"Tantangan kita di pemilihan (Pilkada) ini akan kita jawab apakah kita berada pada indeks kerawanan tinggi Sulawesi Selatan masuk 5 besar Indonesia yang dikeluarkan oleh Bawaslu RI, ada 10 daerah di antaranya juga dianggap rawan tinggi. Ini adalah tantangan kita bersama sebagai ekosistem penyelenggaraan pemilihan," ujarnya.
Pihaknya memastikan akan merumuskan program untuk mengintervensi daerah rawan. Tiap daerah di Sulsel juga memiliki kerawanan berbeda-beda.
"Ada beberapa daerah yang dalam hitungan Bawaslu relatif cukup rawan dari sisi netralitas penyelenggara negara maupun penyelenggara pemilunya," katanya.
Mardiana merinci, Bawaslu telah memproses kasus netralitas aparatur sipil negara ASN di sejumlah daerah di Sulsel. Salah satu yang paling tinggi adalah Kabupaten Pinrang dengan jumlah 29 kasus. Sebanyak 28 kasus telah diteruskan ke KASN.
"Daerah lain yang cukup tinggi ada Luwu Timur, ada 18 kasus yang juga sedang ditangani Bawaslu. Di Pangkep ada 9, 3 di antaranya diteruskan ke KASN, Selayar 1, Makassar juga cukup, ada 4 kasus yang ditangani," jelasnya.
"Ini artinya early warning sistemnya harus dikuatkan. Daerah-daerah yang cukup rawan dalam aspek netralitas kita akan coba intervensi dengan komitmen netralitas dalam beberapa hal. Melakukan kegiatan yang sifatnya mengikat komitmen pihak aparatur sipil negara. Karena memang pola politik lokal ini sangat dekat dengan kekerabatan kepala daerah," ujar Mardiana menambahkan.
(hmw/hmw)