Tragedi pembantaian Achmadi, seluruh anggota keluarganya, berserta 1 pembantunya di Karunrung, Makassar 28 tahun silam menjadi kasus kriminal yang melegenda di Kota Daeng hingga saat ini. 7 Korban, baik itu Achmadi, istrinya Cecilia alias Syamsiah, 4 anak mereka, dan pembantunya bernama Piddi ditemukan tewas dengan kondisi mengenaskan.
1 Orang yang "dituduh" sebagai dalang bersama 5 eksekutor telah ditangkap dan menjalani hukuman penjara seumur hidup. Mereka kini telah bebas. Namun, mulai dari proses penyidikan di polisi hingga duduk sebagai terdakwa di persidangan, 6 orang itu kekeh membantah sebagai dalang pembunuhan berencana Achmadi sekeluarga di rumahnya di Karunrung. Lantas siapa otak dari tragedi ini?
Ialah Nur Salampessy, pria yang divonis seumur hidup oleh Pengadilan Negeri (PN) Ujung Pandang sebagai otak dari pembantaian sekeluarga di Karunrung, Makassar pada 1995. Salampessy kini telah menghirup udara bebas dan bekerja sebagai juru parkir di Makassar. Hingga usianya kini genap 68 tahun, Salampessy secara konsisten menegaskan dirinya bukanlah otak pembantaian Karunrung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tim detikSulsel menemui Nur Salampessy di wilayah Pengadilan Negeri Makassar pada Selasa, 5 Desember 2023 lalu. Ia akrab disapa Nur. Usianya masih 40 tahun saat diseret ke kasus pembunuhan berencana Achmadi sekeluarga di Karunrung, Makassar, Minggu, 12 Maret 1995.
Nur masih ingat betul bagaimana dirinya yang tidak tahu apa-apa diseret ke kasus ini. Awalnya dia dijemput polisi dan dimintai keterangan untuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pembunuhan Achmadi.
"Dia (polisi) bawa saya ke Polda (dulu masih di Jalan) Balaikota. Sampai Polda, (saya) disuruh mengaku (membunuh Achmadi sekeluarga). Saya bilang 'apa yang mau saya akui kalau tidak ada orang saya bunuh'," papar Nur kepada detikSulsel.
Dalam BAP kepolisian, Nur tetap dipaksa mengaku sebagai otak pembunuhan Achmadi meski telah tegas membantahnya. Setelah perdebatan yang alot, polisi akhirnya memberikan Nur secarik kertas kosong untuk ditandatangani di bagian bawah.
"Saya (dikasih) kertas kosong dia (polisi suruh saya) tanda tangan di bawah. Saya tidak baca apa-apa," kenang Nur.
Setelah itu muncullah BAP yang menerangkan Nur mengaku sebagai otak pembunuhan berencana Achmadi sekeluarga. Pengakuannya tersusun lengkap disertai tandatangannya. Nur heran dan komplain ke penyidik yang memeriksanya. BAP itu dikarang sendiri oleh penyidik yang memeriksa dan tidak sesuai fakta.
"Mereka ketik sendiri BAP. Dia suruh tanda tangan (kertas kosong) di bawah. Saya bilang 'bapak menipu saya'. Saya tunjuk polisi. Karena bapak (polisi) karang sendiri," ujarnya.
"Dia yang karang sendiri sampai penuh ke bawah. Dia tulis bilang Nur Salampessy mengaku begini, begini, dan begini," tegasnya lagi.
![]() |
Polisi turut memeriksa dan menetapkan lima orang tersangka lainnya yang merupakan eksekutor pembunuhan. Mereka adalah Syarifuddin alias Boa, Muh Rusli alias Ulli, Abdullah Hasan alias Bado, Haerul Muhsin alias Ical, dan Alius Arman alias Arman. Kepada polisi, Nur mengaku sama sekali tidak mengenal kelima pelaku itu, dan begitu pun sebaliknya, mereka tidak mengenal Nur.
"Saya tidak kenal semua. Boa, Bado, Ical, Arman, Ulli saya tidak kenal semua. Biar rumahnya saya tidak tahu di mana. Bayangkan. Seandainya saya tahu semua rumahnya, itu bisa dibilang saya pelaku. Nanti di penjara dia kenal nama saya. Saya juga kenal nama mereka semua," sebutnya.
Nur pada akhirnya tetap diproses hukum atas tuduhan pembunuhan berencana Achmadi sekeluarga. Tim detikSulsel menerima Salinan Putusan Pengadilan Negeri Ujung Pandang Nomor: 514/PTS.PID.B./1995/PN.UJ.PDG yang memvonis Nur penjara seumur hidup. Pria kelahiran Ujung Pandang 25 Desember 1955 itu diadili Hakim Ketua Benyamin Sambelintin, Hakim Anggota I Husni Nasucha, dan Hakim Anggota II Hj Andi Norma.
Hakim meyakini Nur terbukti merencanakan pembunuhan Achmadi karena persoalan warisan rumah yang ditinggali Achmadi. Rumah itu disebut milik paman Nur bernama Faisal Salampessy. Nur diyakini punya kepentingan terhadap rumah yang ditempati Achmadi, dan menganggap dirinya berhak atas rumah yang ditinggali Achmadi, apalagi rumah itu milik pamannya, Faisal Salampessy. Sementara Achmadi ialah lago Faisal, dimana istri Achmadi, Cecilia bersaudara kandung dengan istri Faisal, Desy.
"Menyatakan Terdakwa Nur Salampessy terbukti bersalah melakukan kejahatan pembunuhan berencana yang dilakukan secara bersama-sama, seperti tersebut pada dakwaan pertama primair Pasal 340 yo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP dan dakwaan kedua Pasal 2 (1) UU No.12/Drt./1951 LN. No.78 Tahun 1957," demikian Putusan PN Ujung Pandang tahun 1996.
"Menghukum Terdakwa Nur Salampessy dengan hukuman penjara seumur hidup dan terdakwa tetap ditahan," sambung putusan itu.
![]() |
Sementara itu, halaman 48 sampai halaman 53 Salinan Putusan tersebut mengungkap 5 pelaku eksekutor yang tidak mengenal Nur, baik sebelum pembunuhan hingga eksekusinya. Kelima pelaku mengungkapkannya saat menjadi saksi untuk Nur yang duduk di kursi terdakwa.
Pengacara Nur, Yusuf Gunco menyebut 3 hakim yang mengadili Nur telah wafat. "Pada saat amar putusan, Nur Salampessy berdiri bahkan mendatangi hakim di ruangan sidang, 'bahwa bukan saya pembunuhnya. Tetapi Allah maha tahu siapa yang duluan mati antara saya dengan tiga hakim ini'. Itulah perkataan terakhir Nur Salampessy di dalam pengadilan waktu sidang, pada saat pembacaan amar putusan. Ternyata hakimnya lebih duluan meninggal daripada Nur Salampessy," kata Yusuf kepada detikSulsel, Jumat, 8 Desember 2023.
Nur Salampessy Bantah Ingin Miliki Rumah yang Ditinggali Achmadi
Terkait keyakinan hakim yang menyebutnya ada kepentingan dengan rumah Faisal yang ditinggali Achmadi, Nur dengan tegas kembali membantahnya. "Nah itu dia (polisi) jebak saya, dia bilang saya mau (memiliki) itu rumah. Masa saya mau berhak (kuasai) itu rumah, untuk apa," ucap Nur.
Nur hanya mengakui datang ke rumah yang menjadi tempat kejadian perkara (TKP) di Karunrung, Makassar sehari setelah pembunuhan Achmadi sekeluarga terjadi. Itu juga karena penasaran dengan kabar pembunuhan sadis Achmadi sekeluarga yang didengarnya dari warga Talasalapang, Makassar. Rasa penasarannya kian menjadi mengingat rumah itu milik pamannya.
Saat tiba di lokasi, Nur mengaku sempat salah bicara dan didengar polisi yang menyamar jadi preman. Omongan itulah cikal bakal Nur ikut terseret dalam kasus pembantaian Achmadi sekeluarga. Nur bercerita, saat hendak meninggalkan TKP, dia diikuti oleh polisi yang menyamar tadi. Polisi kemudian memanggil Nur untuk ikut bersamanya. Awalnya Nur diajak ke salah satu tempat minum di daerah Topaz, Makassar. Dia merasa tertipu dan akhirnya digelandang ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
"Saya salah bicara (saat di TKP), saya bilang 'bisa saya tinggal di rumah om saya, om (Faisal) Salampessy'. Karena itu (rumahnya) om (Faisal) Salampessy ditempati (Achmadi) meninggal sekeluarga," ungkap Nur.
Tim detikSulsel berupaya mengkonfirmasi pengakuan Nur soal BAP dan tanda tangan kertas kosong kepada salah seorang purnawirawan polisi yang menyelidiki kasus tragedi Karunrung 1995, Roby Andi Mannaungi. Awalnya Roby bersedia berbincang dengan tim detikSulsel pada Selasa (5/12) di salah satu warkop di Makassar. Namun Roby tidak merespons tim detikSulsel di hari janjian wawancara.
Pengakuan pelaku lain di halaman selanjutnya.
Salah Satu Pelaku Benarkan Nur Salampessy Bukan Dalang Pembunuhan
Tim detikSulsel akhirnya menemui salah satu pelaku eksekutor pembunuhan Achmadi. Pelaku yang enggan disebutkan namanya itu mengaku memberikan fakta yang sebenarnya. Sumber itu menyebut pelaku atas nama Ulli yang mengetahui dalang utama di balik pembantaian Achmadi sekeluarga. Ulli diiming-imingi uang Rp 10 juta oleh paman Nur, Faisal Salampessy jika berhasil membunuh Achmadi.
Tergiur tawaran Faisal, Ulli mengajak 4 eksekutor lainnya, yakni Boa, Bado, Ical, dan Arman. Mereka merencanakan pembunuhan Achmadi dan keluarganya dalam waktu satu bulan. Awalnya, Ulli hanya berniat untuk menghabisi Achmadi saja, sesuai dengan permintaan Faisal. Namun karena khawatir pembunuhan ini terungkap, Ulli bersama 4 pelaku ikut membunuh istri Achmadi, 4 anak mereka, dan pembantunya, Piddi.
Nyatanya, membunuh Achmadi tak semudah yang dibayangkan Ulli. Achmadi sempat melakukan perlawanan dan membuat Ulli kewalahan. Hingga akhirnya Ulli mendapatkan peluang, lalu menancapkan kapaknya ke kepala Achmadi. Achmadi pun tewas tersungkur.
Mayat Achmadi, istrinya, dan 3 anaknya dimasukkan ke dalam 2 sumur di lokasi berbeda, namun tak jauh dari TKP pembunuhan. Sejumlah benda tajam yang menjadi barang bukti juga dimasukkan ke dalam sumur. Sementara 1 anak Achmadi lainnya beserta jenazah Piddi disimpan di lantai 2 rumah.
Setelah menyelesaikan 'pesanan' Faisal, Ulli dan lima rekannya meninggalkan TKP. Apesnya, usai mengerjakan 'tugasnya' dengan baik, Ulli malah tak pernah lagi bertemu dengan Faisal dan tidak menerima bayaran Rp 10 juta.
"Ulli tidak pernah ketemu dengan Faisal. Mulai dari pertemuan awal menjanjikan uang hingga Ulli bebas," ujar sumber itu.
Sumber itu tidak banyak bicara soal motif di balik keinginan Faisal membunuh Achmadi melalui tangan Ulli. Pembunuhan terhadap Achmadi murni karena Faisal yang meminta dengan janji uang kepada Ulli dan kawan-kawannya. "Ulli cuma ditanya, 'apakah kau bisa eksekusi (bunuh) itu Achmadi?' Ulli bilang 'iya sini mi'," bebernya.
Pernyataan sumber di atas berbeda dengan Salinan Putusan Pengadilan Negeri Ujung Pandang terhadap terdakwa Nur Salampessy. Dalam dakwaan subsidair halaman 18 yang diperoleh detikSulsel, Ulli justru diberitahu oleh Ical soal 'pesanan' membunuh Achmadi. "Pada hari Sabtu tanggal 11 Maret 1995 sekitar jam 15.30 Wita, di STM Tridaya Sakti Ujung Pandang saksi Haerul alias Muchsin alias Ical mengatakan kepada saksi Muh Rusli alias Ulli: 'Ada order untuk bunuh Achmadi sekeluarga-seisi rumah Achmadi, nanti kita dapat uang'," demikian ucapan Ical ke Ulli.
Namun Faisal kini telah wafat. Nur mengaku masih sempat bertemu dengan Faisal di kampung halaman sebelum meninggal. Nur berjumpa dengan Faisal usai bebas dari penjara dan pulang ke kampung halaman di Ambon. Saat kembali ke Makassar, Nur mendengar kabar Faisal meninggal dunia dari teman-teman Faisal. Oleh karena itu, Nur mengaku tidak mengetahui pasti kapan pamannya meninggal dunia.
"Faisal sudah meninggal. Saya kurang tahu tahun berapa. Sudah lama-lama mi juga. Sempat ketemu di kampung, di Ambon. Meninggal di kampung. Saya pulang kampung tahun 2010. Satu tahun lebih ji di Ambon. 2011 kembali ke Makassar," sebut Nur Salampessy.
Sementara dalam Salinan Putusan PN Ujung Pandang, Faisal dalam kesaksiannya di pengadilan mengaku tidak mengetahui adanya peristiwa pembunuhan Achmadi sekeluarga dan Piddi di Karunrung, Makassar pada Minggu, 12 Maret 1995. Faisal menegaskan, di hari kejadian dia bersama istrinya Desy sedang berada di Jakarta, tepatnya di rumah pria bernama Haji Ali.
Faisal juga tidak pernah bertemu dengan Nur selama tahun 1995 sebelum kejadian. Paman dan kemenakan itu terakhir kali bertemu pada tahun 1992 di Ujung Pandang saat orang tua Nur jatuh sakit.
"Bahwa benar setelah selesai melaksanakan pendidikan di Bandung pada tahun 1993 saksi (Faisal) pernah ke Ujung Pandang tetapi tidak bertemu Nur Salampessy. Bahwa Benar saksi tidak tahu menahu siapa sebenarnya yang menyuruh terdakwa Nur Salampessy untuk membunuh Achmadi sekeluarga dan Piddi," bunyi Salinan Putusan PN Ujung Pandang tersebut.
Pengakuan pelaku Ulli di halaman selanjutnya.
Pelaku Ulli Bantah Terima Perintah dari Faisal
Tim detikSulsel lantas menemui Ulli, eksekutor yang disebut menerima perintah pembunuhan dari Faisal. Ulli membantah pernyataan dari sumber tersebut. Ulli menyebut dirinya ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan pengakuan empat temannya, Boa, Bado, Ical, dan Arman yang menjadi eksekutor pembunuhan.
Ulli juga mengaku tidak bersalah atas pembantaian Achmadi sekeluarga. Di hadapan polisi, Ulli mengaku tidak pernah membunuh Achmadi, meski dirinya dipaksa mengaku.
"Jadi saya dulu ditangkap, berdasarkan pengakuannya ji teman-temanku. Di sessaka dulu (dulu saya disiksa). Jadi saya bilang, begini pak, daripada saya disuruh mengaku, saya tidak tahu. Tapi kalau dari keterangannya temanku, itu saja yang di-BAP," kata Ulli kepada detikSulsel, pada Rabu, 6 Desember 2023.
Seluruh keterlibatan Ulli dalam BAP akhirnya dibuat berdasarkan pengakuan 4 pelaku lain yang menuding Ulli terlibat. Ulli akhirnya tetap menandatangani BAP. Dia bercerita, saat rekontruksi, tim penyidik jengkel dengan kelakuannya yang ogah-ogahan untuk melakukan reka ulang adegan pembunuhan terhadap Achmadi. Hal itu dilakukan lantaran Ulli merasa tidak bersalah. Sehingga, dia menilai tidak perlu melakukan reka adegan apapun dalam kegiatan rekonstruksi.
Namun dia pasrah untuk melakukan reka adegan karena diperintah polisi berdasarkan pengakuan dari teman-temannya. Ulli akhirnya memperagakan seluruh detail pembunuhan Achmadi sekeluarga berdasarkan keterangan yang diungkap rekannya kepada polisi.
Sikap yang sama juga ditunjukkan Ulli di dalam ruang sidang. Ulli konsisten mengaku tidak terlibat dalam tragedi pembantaian Achmadi sekeluarga. Penetapan status Ulli sebagai tersangka hingga divonis pengadilan murni karena pengakuan 4 teman sejawatnya yang terlibat. Ulli bersama lima tersangka lainnya, termasuk Nur Salampessy dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Ulli enggan menanggapi pengakuan Nur yang membantah dituduh dalang di balik kejadian sadis yang menimpa Achmadi sekeluarga. Bahkan, Ulli tidak mengenal Nur sama sekali sebelumnya. Tapi, Ulli membenarkan bantahan Nur saat polisi membuat BAP dalam kejadian ini.
"Nanti di kantor polisi saya ketemu Nur. Di kantor polisi juga kan dia (Nur) bilang dia tidak terlibat. Saya dikasih lihat, ditanya polisi, apakah kamu kenal ini Nur Salampessy? Saya jawab tidak kenal. Nur Salampessy juga ditanya, kamu kenal itu (Ulli), dia bilang tidak," ungkap Ulli.
Ulli divonis Pengadilan Negeri Ujung Pandang penjara seumur hidup. Dia bebas pada tahun 2008 setelah menjalani penjara 13 tahun. Masa penjara membuat Ulli mengenal Nur lebih dekat, bahkan hingga kini.
"Sekarang kalau dia lihat atau bertemu saya, saya kasih dia (Nur) uang. Kadang saya tanya, mau makan apa?" kata Ulli menceritakan kedekatannya dengan Nur.
Sementara Nur menghirup udara bebas lebih cepat dari Ulli. Nur juga menjalani penjara 13 tahun di Lapas Blok A Kota Makassar dan bebas di tahun 2008. Kehidupan Nur sebagai juru parkir di Makassar sangat kurang berkecukupan.