Pria berinisial M (55) di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat (Sulbar) tega memperkosa anak kandungnya yang berusia 22 tahun hingga hamil 6 bulan. Pelaku memperkosa korban yang merupakan penyandang disabilitas sebanyak 10 kali.
Wakapolres Mamasa Kompol Kemas Aidil Fitri mengatakan pelaku melancarkan aksi bejatnya di rumahnya di Kecamatan Sumarorong, Mamasa. Pelaku memperkosa korban sejak Desember 2022 lalu.
"Sesuai dengan pengakuan tersangka telah 10 kali dilakukan. Terakhir dilakukan pada bulan Agustus (2023)," ujar Kompol Kemas kepada wartawan, Selasa (5/9/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Mamasa Iptu Hamring mengatakan pelaku memperkosa korban saat dalam kondisi mabuk. Pelaku awalnya memeluk korban lalu diajak berhubungan layaknya suami istri.
"Bermula itu karena pelaku ini habis minum minuman keras. Bermula dipengaruhi karena mabuk di tetangganya, pulang ke rumah melihat anaknya sendiri, antara tidak sadar karena pengaruh minuman itu dia peluk anaknya diajak bersetubuh," terang Hamring.
Pelaku melancarkan aksinya itu dengan mengancam korban agar keinginannya dituruti. Selain itu, pelaku juga menyekap mulut korban.
"Pengancaman, pertama saat digauli pertama mulut disekap dengan pakai tangan, kemudian disampaikan jangan bilang sama orang lain," jelasnya.
Aksi bejat pelaku pertama kali dibongkar oleh masyarakat sekitar rumahnya. Warga curiga korban mengalami perubahan pada bentuk tubuhnya.
"Awalnya ada desas desus di masyarakat, gosip ibu-ibu yang curiga setelah melihat perubahan tubuh korban. Olehnya itu korban lalu kita bawa ke Polsek untuk dimintai keterangan," ungkap Yunus.
Akibat perbuatannya, M dijerat dengan 286 KUHP tentang persetubuhan perempuan yang bukan istrinya. Pelaku terancam 9 tahun penjara.
Warga Gelar Ritual Tolak Bala
Warga yang berada di sekitar tempat tinggal pelaku kemudian menggelar ritual tolak bala. Ritual tersebut ditandai dengan penumbalan seekor kerbau, sembilan ekor babai, seekor anjing, dan ayam.
"Ini ritual sesuai dengan adat dan budaya di Kecamatan Sumarorong, ini adalah suatu ritual yang dilakukan akibat pelanggaran asusila, termasuk perbuatan semena-mena terhadap keluarga yang masih ada hubungan darah," kata tokoh adat Sumarorong, Paulus Palullungan kepada wartawan, Selasa (5/9/2023).
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Ritual itu berlangsung di bantaran Sungai Sumarorong, pada Selasa (5/9). Warga setempat yang mengikuti pelaksanaan ritual diwajibkan memakai pakaian berwarna putih sebagai simbol kesucian.
Paulus mengungkapkan bahwa ritual ini diawali dengan istilah Mattepak dan Ma'rambu Langi. Kemudian di hari kedua dan ketiga warga akan menumbalkan babi berjumlah sembilan ekor yang dikenal dengan istilah Babarang Pemali.
"Ma'rambu langi adalah anjing merah dibakar sampai hangus, kemudian setelah itu ayam merah lagi akan dimasak dan dilakukan ritual oleh orang tua," kata paulus.
"Kemudian masih ada tahapannya besok sampai hari yang akan datang, babi yang akan dipotong kurang lebih sembilan ekor, ada tahapannya seperti babarang pemali, istilahnya termasuk juga menebus semua kesalahan-kesalahan si pelaku ini, " tambahnya.
Paulus menegaskan jika ritual Massuru Tallungallo juga merupakan salah satu bentuk sanksi adat yang diberikan kepada pelaku asusila.
"Artinya sanksi yang diberikan kepada si pelaku dan inisiatif yang dilakukan si pelaku. Macam babi adalah inisiatif yang dilakukan oleh si pelaku, karena dia telah berbuat salah atau keliru terhadap anak kandungnya, maka dia harus membersihkan diri dari semua kesalahan baik dalam diri sendiri, keluarga maupun kampung," jelasnya.
Meksi telah menggelar ritual sebagai bentuk sanksi adat, Paulus menyebut jika sanksi hukum terhadap pelaku tetap harus dijalankan.
"Pelaksanaan sanksi adat tidak menghapus sanksi formil sesuai hukum yang berlaku," pungkasnya.