Warga di Mamasa Gelar Ritual Tolak Bala Buntut Ayah Perkosa Anak Kandung

Sulawesi Barat

Warga di Mamasa Gelar Ritual Tolak Bala Buntut Ayah Perkosa Anak Kandung

Abdy Febriady - detikSulsel
Rabu, 06 Sep 2023 16:25 WIB
Warga di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat (Sulbar) menggelar ritual tolak bala Massuru Tallungallo.
Foto: Warga di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat (Sulbar) menggelar ritual tolak bala Massuru Tallungallo. (Abdy Febriady/detikcom)
Mamasa -

Warga di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat (Sulbar) menggelar ritual tolak bala Massuru Tallungallo buntut pria berinisial M (55) memperkosa anak kandungnya hingga hamil 6 bulan. Ritual ditandai dengan menumbalkan seekor kerbau, sembilan ekor babi, seekor anjing dan ayam.

"Ini ritual sesuai dengan adat dan budaya di Kecamatan Sumarorong, ini adalah suatu ritual yang dilakukan akibat pelanggaran asusila, termasuk perbuatan semena-mena terhadap keluarga yang masih ada hubungan darah. Biasanya dilakukan kalau ada kejadian seperti ini namanya Massuru Tallungallo artinya ada sesuatu yang harus ditebus selama tiga hari," kata tokoh adat Sumarorong, Paulus Palullungan kepada wartawan, Selasa (5/9/2023).

Ritual tersebut berlangsung di bantaran Sungai Sumarorong, Kecamatan Sumarorong pada Selasa (5/9). Warga setempat yang mengikuti pelaksanaan ritual diwajibkan memakai pakaian berwarna putih sebagai simbol kesucian.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Paulus mengemukakan setidaknya ada dua tahap dalam pelaksanaan ritual Massuru Tallungallo ini. Diawali kegiatan yang dikenal dengan istilah Mattepak kemudian Ma'rambu Langi.

"Kegiatan pertama, sanksi terhadap pelaku dan keluarganya, yang namanya Mattepak, jatuh pada kerbau karena pelaku telah berbuat semena-mena terhadap anak kandungnya," ungkapnya.

ADVERTISEMENT

"Ma'rambu langi adalah anjing merah dibakar sampai hangus, kemudian setelah itu ayam merah lagi akan dimasak dan dilakukan ritual oleh orang tua," sambungnya.

Pada hari kedua dan ketiga, warga akan menumbalkan babi berjumlah sembilan ekor yang dikenal dengan istilah Babarang Pemali.

"Kemudian masih ada tahapannya besok sampai hari yang akan datang, babi yang akan dipotong kurang lebih sembilan ekor, ada tahapannya seperti babarang pemali, istilahnya termasuk juga menebus semua kesalahan-kesalahan si pelaku ini, " tutur Paulus.

Lebih lanjut Paulus menerangkan, pemilihan empat jenis binatang yang dijadikan tumbal dalam tradisi ini karena dianggap memiliki makna dan fungsi masing-masing.

"Empat jenis binatang ini sesuai dengan rentetan ritualnya. Ini kerbau untuk menebus sanksi kesalahan pelaku, asap anjing yang dibakar dibutuhkan untuk menyampaikan penebusan kesalahan pelaku kepada sang pencipta dan alam. Karena jika ini tidak dilakukan, namanya hukum alam itu yang paling kita antisipasi supaya tidak terjadi. Kemudian ayam merah merupakan permohonan supaya apa yang kita lakukan baik semua ke depan, kalau babi itu juga untuk menebus semua kesalahan pelaku," bebernya.

Dia juga mengungkapkan jika daging kerbau yang telah dijadikan tumbal dalam ritual ini, tidak boleh dikonsumsi. Dagingnya harus dibuang ke sungai, sebagai simbol menghanyutkan segala kesalahan ataupun perbuatan yang dianggap hina.

"Karena itu bukti perbuatan yang apa namanya itu, keji, yang hina itu dibuang ke sungai karena tidak bisa dimakan manusia, karena dagingnya sudah dianggap penuh perbuatan buruk yang harus dihanyutkan," jelas Paulus.

Paulus menegaskan jika ritual Massuru Tallungallo juga merupakan salah satu bentuk sanksi adat yang diberikan kepada pelaku asusila.

"Artinya sanksi yang diberikan kepada si pelaku dan inisiatif yang dilakukan si pelaku. Macam babi adalah inisiatif yang dilakukan oleh si pelaku, karena dia telah berbuat salah atau keliru terhadap anak kandungnya, maka dia harus membersihkan diri dari semua kesalahan baik dalam diri sendiri, keluarga maupun kampung," jelasnya.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya...

Paulus menyebut ritual ini harus dilaksanakan demi menghindari mara bahaya. Keluarga pelaku dan seluruh warga juga bertanggung jawab untuk menyiapkan segala persyaratan yang dibutuhkan dalam melaksanakan ritual ini.

"Kalau pelaku tidak mampu ya keluarga turun tangan. Kalau keluarga tidak mampu turun tangan semua masyarakat, karena ini bagian dari tanggung jawab bersama, karena berdampak terhadap banyak orang, berdampak kepala alam, sehingga bagaimanapun juga harus kita tangani jika si pelaku tidak mampu," tandasnya.

Meksi telah menggelar ritual sebagai bentuk sanksi adat, Paulus menyebut jika sanksi hukum terhadap pelaku tetap harus dijalankan.

"Pelaksanaan sanksi adat tidak menghapus sanksi formil sesuai hukum yang berlaku," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, pria berinisial M di Mamasa diamankan polisi karena memperkosa anak kandungnya penyandang disabilitas yang berusia 22 tahun hingga hamil 6 bulan. Pelaku mengaku sudah 10 kali memperkosa korban akibat pengaruh minuman keras (miras).

"Sesuai dengan pengakuan tersangka telah 10 kali dilakukan," ujar Wakapolres Mamasa Kompol Kemas Aidil Fitri kepada wartawan, Selasa (5/9).

Kemas mengungkap pelaku memperkosa korban pertama kali pada Desember 2022 lalu. Perbuatan bejat pelaku terakhir kali dilakukan pada Agustus 2023.

Halaman 2 dari 2
(hsr/sar)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads