Tari Pakarena Makassar: Sejarah, Gerakan hingga Filosofinya

Risdayanti Ismail - detikSulsel
Senin, 13 Mar 2023 06:30 WIB
Tari Pakarena. (Foto: kikomunal-indonesia.dgip.go.id)
Makassar -

Tari Pakarena merupakan tarian tradisional dari Sulawesi Selatan (Sulsel). Tarian ini tidak bisa dipisahkan dari sejarah dari suku Makassar.

Dikutip dari laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, nama tarian Pakarena berasal dari kata dasar "karena" dalam bahasa Makassar yang artinya main. Kemudian, mendapatkan prefiks atau awalan "pa" yang artinya si/sang atau penanda pelaku. Sehingga Pakarena dapat diartikan si pemain.

Tarian ini bukan hanya sekadar tarian yang dipertontonkan untuk sebuah hiburan. Namun, juga memiliki sejarah serta tersimpan makna mendalam dalam setiap gerakannya.


Sejarah Tari Pakarena

Dilansir dari jurnal Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar yang berjudul "Makna Filosofi Tari Pakarena Tradisi Gowa Tallo di Kelurahan Tombolo, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa (Studi Semiotika)", tari Pakarena merupakan tarian tradisional yang sering dibawakan di Kerajaan Gowa. Tarian ini mulai berkembang di masa pemerintahan Raja Gowa XVI, Sultan Hasanuddin.

Ibunda Sultan Hasanuddin, I Limatakontu dahulu turut menangani tarian Pakarena. Pelestarian Tari Pakarena kemudian dilanjutkan oleh permaisuri pertama I Mallombassi Daeng Mattawang dan Ipetta Nisali. Tari Pakarena dilestarikan dan dibina di bawah naungan keluarga kerajaan secara langsung.

Dahulu Tari Pakarena dikenal dengan sebutan Sere Jaga, yang berarti waspada atau sadar atau tidak tidur semalam suntuk. Namun karena adanya perubahan fungsi, sehingga tarian tersebut berubah nama.

Awalnya tarian ini merupakan sarana upacara ritual suku Makassar. Sementara nama "Sere Jaga" dianggap keramat untuk disebutkan pada sembarang waktu dan tempat. Kata tersebut selalu dikonotasikan dengan ritus lama orang Makassar yang antara lain upacara Appanai dan Appanaung.

Sehingga dengan beralihnya fungsi tarian tersebut maka berubah nama menjadi Pakarena. Perubahan fungsi ini dilatarbelakangi dengan masuknya ajaran agama Islam di tengah-tengah masyarakat Makassar. Maka terjadi peralihan dari kepercayaan lama yaitu animisme dan dinamisme.

Seiring hal itu tradisi Sere Jaga pun beralih menjadi Pakarena, yang berfungsi sebagai pelengkap dalam upacara penobatan raja, dan upacara accera kalompoang atau membersihkan pusaka kerajaan.

Dalam perkembangannya Tarian Pakarena sering disaksikan di acara penyambutan pengantin dan perayaan hari besar kenegaraan seperti 17 Agustus. Tarian Pakarena masih dilestarikan hingga saat ini, meski begitu mulai tergeser oleh tarian kontemporer.

Makna Gerakan Tari Pakarena

Tari Pakarena memiliki enam gerak dasar dalam koreografi. Keenam gerakan tersebut memiliki filosofi makna yang dalam. Berikut penjelasannya:

1. Ma'biring Kassi (Berjalan di Tepi Pantai)

Gerakan ma'biring kassi dimulai dengan berjalan ke depan panggung dengan perlahan dan kipas berada di tangan kanan dengan posisi tegak di depan dada penari. sedangkan tangan kiri memegang sarung dengan posisi jari telunjuk dan jari tengah menjepit sarung.

Ma'biring kassi dalam tarian ini berarti singgah di bibir pantai. Makna yang ingin disampaikan yaitu peringatan hati-hati dalam pergaulan dan senantiasa menjaga diri. Tersirat pesan dan harapan orang tua terhadap anaknya.

2. Sita'lei (Berpindah Tempat)

Tangan kiri diayunkan ke depan hingga jari jempol tangan kiri menyentuh pusar, sedangkan tangan kanan mengayun kipas ke arah kanan hingga masuk ke depan perut. Selanjutnya kedua tangan membuka, tangan kanan diayun ke arah kanan dan begitu juga dengan tangan kiri.

Setelah gerakan membuat, badan penari berbalik dari sebelah kiri dengan tangan kiri kembali ditempatkan di depan pusar dan tangan kanan mengayun kipas. Kipas yang diayun akan berakhir di depan badan penari.

Makna di balik gerakan tersebut yaitu kekeluargaan, pertukaran tempat penari merupakan bentuk kolektivitas dalam kekeluargaan. Pekerjaan yang membutuhkan massa, sebagai manusia mesti bahu membahu dan gotong royong menyelesaikan pekerjaan baik dalam acara pesta atau duka.

3. Sonnayya (Bermimpi)

Gerakan sonnayya dimulai dengan tangan kiri memegang sarung dan tangan kanan memegang kipas. Tangan kanan memegang kipas dengan arah atas sedangkan tangan kiri memegang sarung di bawah.

Nama gerakan sonnayya dalam bahasa bugis berarti bermimpi atau berkhayal. Sehingga makna yang ingin disampaikan dalam gerakan yaitu tidak penting berkhayal dan bermimpi. Pasalnya, orang yang terlalu lama berkhayal hanya tinggal bermalas-malas, berharap terhadap sesuatu yang tak pasti.

4. Accarammeng (Bercermin atau Melihat Diri ke dalam Cermin)

Gerakan dimulai dengan tangan diayunkan ke arah kanan dengan posisi tegak sedangkan tangan kiri digerakkan ke arah kiri dan tangan diputar di samping telinga. Selanjutnya kipas ditutup dengan menghentakkan kipas di paha.

Pesan yang ingin disampaikan dalam gerakan tersebut yaitu pentingnya bercermin diri atau introspeksi diri sebelum berkomentar baik atau buruknya orang lain. Jadi, mawas diri sangat penting dan menghindari mengorek kekurangan dan kesalahan orang lain.

5. Anging Kamalino (Angin Tanpa Berhembus)

Gerakan anging kamalino diawali dengan tangan kiri meletakkan selendang di tangan kanan yang sedang memegang kipas tertutup. Kemudian, penari berjalan ke arah kiri kemudian kanan dengan tangan kiri akkingking lipa (memegang sarung) dan tangan kanan memegang kipas dan selendang di depan.

Anging kamalino ini memiliki nilai yang sarat dengan falsafah bugis yaitu Sulapa Appa yaitu paham sumanga atau sifat manusia dalam kehidupan. Terdapat empat sifat manusia yaitu air, api, angin, dan tanah.

Gerakan menutup kipas secara pelan menunjukkan sifat air. Artinya, manusia memiliki tempat di daerah asalnya dan dimanapun yang ia tuju.

Sifat api yang bergelora ditunjukkan oleh gerakan memegang selendang dan kipas di tangan kanan kemudian menggerakkan badan ke arah ke bawah dan ke atas. Hal ini menunjukkan bagaimana sifat emosi manusia yang kadang kala dapat naik dan turun.

Sementara sifat tanah ditunjukkan pada gerakan penari bergerak ke kiri dan ke kanan. Artinya angin dapat bergerak ke arah mana saya dan bisa saja membawa kesejukan atau pun bencana. Jadi, manusia bisa saja memilih langkahnya namun setiap langkah dapat membawa ke arah kebaikan atau keburukan.

Terakhir, sifat tanah ditunjukkan dengan gerakan penari saat kembali ke posisi awal dan duduk. Pesan yang disampaikan yaitu manusia yang berasal dari tanah akan kembali rebah ke tanah.

6. Renjang-renjang

Renjang-renjang merupakan gerakan menghadap ke kanan dan ke kiri secara bergantian saat hendak keluar dari panggung. Gerakan ini menjadi penutup dari tari Pakarena.

Gerak perlahan menghadap ke kanan dan ke kiri secara bergantian dimaksud sebagai sikap pamit. Pesan yang disampaikan yaitu segala sesuatu hendak dimulai dengan baik-baik dan diakhiri dengan baik-baik juga. Oleh karena itu, gerakan diakhiri dengan permohonan maaf.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya.




(alk/sar)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork