Beragam Tradisi Cap Go Meh di Indonesia, Mulai dari Jappa Jokka hingga Tatung

Beragam Tradisi Cap Go Meh di Indonesia, Mulai dari Jappa Jokka hingga Tatung

Nur Ainun - detikSulsel
Minggu, 05 Feb 2023 16:11 WIB
cap go meh blitar
Perayaan Cap Go Meh (Foto: Fima Purwanti)
Makassar -

Tradisi Cap Go Meh sangat identik dengan tarian naga/singa atau lebih populer dengan sebutan atraksi barongsai. Di berbagai daerah di Indonesia, Cap Go Meh dilakukan dengan berbagai macam cara dengan keunikannya masing-masing.

Perayaan Cap Go Meh mengacu pada penanggalan dalam kalender China. Mengutip Jurnal Network For Astronomi School Education yang berjudul "Lontong Cap Go Meh a Celebration at The Night of Full Moon", festival Cap Go Meh ini dirayakan pada bulan purnama pertama setelah tahun baru Imlek.

Dalam dialek Hokkian, kata Cap Go Meh berasal dari kata 'Cap Go' yang memiliki arti 'ke lima belas' dan 'Meh' yang berarti 'malam'. Secara harfiah, perayaan Cap Go Meh berarti 'malam ke lima belas', artinya perayaan ini dilakukan berselang 15 hari sejak Tahun Baru Imlek.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti diketahui, Tahun Baru Imlek 2023 jatuh pada 22 Januari. Dengan demikian, malam ke lima belas atau perayaan Cap Go Meh akan jatuh pada 5 Februari.

Tradisi Cap Go Meh di Berbagai Daerah di Indonesia

ADVERTISEMENT

Bagi masyarakat Tionghoa, perayaan Cap Go Meh ini menjadi salah salah satu momen yang dinantikan dan sangat berkesan. Dalam perayaannya, ada berbagai macam tradisi yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia.

Berikut ini tradisi Cap Go Meh yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia yang telah dirangkum detikSulsel dari berbagai sumber:

1. Tradisi Jappa Jokka Cap Go Meh di Makassar

Tradisi perayaan Cap Go Meh di Indonesia.Tradisi perayaan Cap Go Meh di Indonesia. Foto: Istimewa

Salah satu tradisi yang cukup unik dalam rangka merayakan Cap Go Meh bisa ditemui di Makassar. Tradisi ini dikenal dengan sebutan Jappa Jokka Cap Go Meh.

Jappa Jokka Cap Go Meh diambil dari bahasa Makassar 'Jappa' dan bahasa Bugis 'Jokka' yang artinya jalan-jalan. Dulunya, tradisi ini lebih dikenal dengan nama Pasar Malam Cap Go Meh.

Tradisi Jappa Jokka ini pertama kali dilakukan pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kini, tradisi ini menjadi agenda rutin Pemerintah Kota Makassar sebagai ajang mempromosikan budaya kepada wisatawan lokal dan mancanegara.

Dalam perayaannya, ada berbagai macam rangkaian kegiatan yang dilaksanakan, mulai dari pertunjukan barongsai, parade budaya, hingga sajian kuliner khas Tionghoa.

2. Tradisi Ziarah ke Pulau Kemaro di Palembang

Ramai pengunjung rayakan Cap Go Meh di Pulau Kemaro Palembang. (Prima/detikSumut)Ramai pengunjung rayakan Cap Go Meh di Pulau Kemaro Palembang. (Foto: Prima Syahbana)

Masyarakat Tionghoa di Palembang merayakan Cap Go Meh dengan berziarah ke Pulau Kemaro. Mereka akan menyeberang ke pulau tersebut untuk memanjatkan doa di Klenteng Hok Tjing Rio.

Selain itu, di Pulau Kemaro ini pengunjung juga bisa menyaksikan berbagai pertunjukan seni khas Tionghoa, mulai dari Barongsai hingga pertunjukan wayang orang.

Di balik kemeriahan perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro, ternyata ada pula tersimpan cerita yang cukup menarik. Sejarah mencatat bahwa pulau ini pernah menjadi salah satu pos penjagaan Panglima Cheng Ho.

Ada juga legenda yang dipercaya masyarakat tentang kisah cinta putri Palembang dan pangeran dari Negeri China yang berakhir tragedi. Bahkan, makam sang putri Palembang dan pangeran dari Negeri China ini masih bisa ditemui saat berkunjung ke Pulau Kemaro.

3. Tradisi Kirab Budaya Ruwat Bumi di Salatiga

Warga keturunan Tionghoa menggelar acara kirab budaya dan ruwat bumi di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta. Minggu (21/10/2018). Kirab berlangsung meriah.Tradisi Kirab Budaya Ruwat Bumi (Foto: Rifkianto Nugroho)

Tradisi perayaan Cap Go Meh selanjutnya yang tak kalah menarik yaitu Kirab Budaya Ruwat Bumi yang dilakukan oleh masyarakat Kota Salatiga. Pelaksanaan tradisi tersebut dilakukan dengan membawa arak-arakan tandu yang berisi patung Dewa.

Kemeriahan Kirab Budaya Ruwat Bumi ini sekaligus menjadi simbol toleransi dan kebhinekaan. Dalam pelaksanaannya, tradisi ini tidak hanya diramaikan oleh masyarakat Tionghoa, tapi juga diikuti masyarakat dari berbagai lapisan dan latar belakang.

Saat perayaannya, ada beragam seni yang dipertontonkan untuk mengiringi kirab budaya tersebut. Beberapa contohnya seperti Barongsai, Liong, hingga Reog Ponorogo.

Selain di Salatiga, tradisi ini juga bisa ditemukan di beberapa daerah lainnya di Indonesia, terutama di Pulau Jawa.

4. Tradisi Arak-Arakan Sipasan di Padang

Tradisi perayaan Cap Go Meh di Indonesia.Tradisi perayaan Cap Go Meh di Indonesia. Foto: Istimewa

Di Pulau Sumatera, ada juga tradisi perayaan Cap Go Meh yang tidak kalah unik. Setiap peringatan Cap Go Meh, masyarakat Padang akan merayakannya dengan menggelar pawai kesenian atau dikenal dengan sebutan arak-arakan Sipasan.

Sipasan merupakan sebuah tenda yang bentuknya menyerupai kelabang. Tenda ini dipikul oleh orang dewasa, kemudian di atasnya akan duduk anak-anak yang mengenakan kostum-kostum pakaian dari berbagai daerah di Indonesia.

Tradisi ini menjadi daya tarik utama bagi masyarakat Padang ketika peringatan Cap Go Meh setiap tahunnya.

5. Tradisi Tatung di Singkawang

Foto-foto close up aksi ekstrem para Tatung di SingkawangAksi ekstrem para Tatung di Singkawang Foto: Fitraya Ramadhanny

Di Singkawang, ada tradisi yang cukup populer yang dilaksanakan dalam rangka perayaan Cap Go Meh yaitu pawai Tatung. Bagi masyarakat Singkawan, atraksi ini menjadi bagian yang paling dinanti-nantikan dalam perayaan Festival Cap Go Meh.

Tatung sendiri secara harfiah berasal dari dua kata. Kata 'Ta' yang berasal dari dialek Hakka, berarti 'tepuk' atau 'pukul', sedangkan 'Tung' berasal dari kata 'Thungkie' atau 'orangnya'.

Dalam bahasa Hakka, sebutan Tatung merujuk pada orang yang dirasuki roh dewa atau leluhur. Konon, roh dewa ini dipanggil dengan menggunakan mantra dan mudra tertentu untuk merasuki raga orang yang dituju.

Tradisi Tatung ini dinilai ekstrim karena dalam atraksinya, para Tatung (sebutan untuk orang melakukan atraksi) akan menusuk-nusukkan benda tajam ke badannya.

Para Tatung yang beratraksi diyakini dalam keadaan tidak sadarkan diri. Mereka dirasuki roh halus yang menunjukkan kesaktiannya yang kebal terhadap benda tajam.

Saat beratraksi, para Tatung ini mengenakan pakaian khas Tionghoa. Mereka mengitari jalan-jalan di Kota Singkawang dalam keadaan badan hingga pipi ditusuk benda-benda tajam.




(urw/hmw)

Hide Ads