Uang panai dan mahar dalam tradisi meminang wanita Bugis-Makassar sudah sering membuat heboh karena nilainya fantastis dan mencapai miliaran rupiah. Budayawan Bugis-Makassar dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Burhan Kadir menilai hal itu wajar sebagai bentuk penghargaan kepada wanita Bugis-Makassar yang akan dipinang seorang pria.
Baru-baru ini pada Kamis (26/5) lalu, seorang pria asal Kabupaten Bone Dical Arfandi melamar calon istrinya Andi Besse Qurrata Ayyun di wilayah Pattene, Kabupaten Maros. Dical yang masih mahasiswa memberikan calon istrinya itu uang panai dan mahar berupa uang tunai Rp 300 juta, beberapa petak sawah, satu setel emas, showroom mobil beserta isinya, hingga biaya kuliah setelah menikah.
"Nilai uang panai adalah bentuk penghargaan kepada pihak perempuan, sekaligus menunjukkan wajah keluarga sang laki berada pada level sosial seperti apa. Nilai fantastis saya kira sangat wajar karena memang berasal dari keluarga bangsawan, pejabat atau orang kaya," kata Burhan kepada detikSulsel, Selasa (31/5/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Burhan menjelaskan, sebenarnya uang panai berbeda dengan mahar, walaupun diberikan atau disampaikan pemberiannya dalam waktu yang sama, yakni ketika prosesi lamaran. Uang panai adalah uang yang wajib diserahkan pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang hendak dinikahi di luar mas kawin atau mahar. Jumlah uang panai yang diberikan biasanya disesuaikan dengan status sosial calon mempelai perempuan.
"Jumlah besar dari uang panai karena biasanya status sosial perempuan, apakah karena bangsawan, pejabat, orang kaya, atau karena memiliki pendidikan tinggi," jelasnya.
Menurut Burhan, uang panai dan mahar dengan nilai yang tinggi belakangan banyak disalahpahami oleh masyarakat suku Bugis-Makassar. Banyak dari mereka yang menuntut agar laki-laki memberikan uang panai dan mahar yang tinggi tanpa melihat status sosial. Padahal kata dia, panai yang tinggi untuk menjaga nilai secara status sosial.
"Yang salah dengan kacamata saat ini, dilihat oleh semua orang dan semua orang ingin seperti itu, padahal latar belakang secara sosial itu tidak sama. Nilai fantastis itu adalah menjaga nilai secara status sosial budaya mereka," paparnya.
"Yang banyak terjadi sekarang ini banyak yang latah dengan nilai uang panai tanpa melihat status sosial budaya mereka sebagai pihak perempuan. Apakah berada pada status bangsawan, pejabat, orang kaya, ulama dan berpendidikan tinggi," lanjutnya.
Sementara dalam kasus Dical, pemberian uang panai dan mahar fantastis kepada Ayyun adalah bentuk penghargaan kepada keluarga Ayyun, dimana orang tua Ayyun merupakan guru orang tua Dical di Tarekat Khalwatiyah Samman. Mahar fantastis yang diberikan kepada Ayyun merupakan inisiatif dari keluarga Dical.
"Pas kita datang mappettuada (melamar) kemarin tidak ada dia minta, dia serahkan semua kepada pihak laki-laki seikhlasnya saja," ujar ayah Dical, Suradi kepada detikSulsel, Selasa (31/5).
"Jadi uang Rp 300 juta itu keikhlasan saya. Dia memang guruku, dan salah satu keturunan bangsawan untuk Tarekat Khalwatiah Samman," pungkasnya.
(nvl/nvl)