8 Cerita Rakyat Sulawesi Selatan Beserta Pesan Moralnya

8 Cerita Rakyat Sulawesi Selatan Beserta Pesan Moralnya

Al Khoriah Etiek Nugraha - detikSulsel
Minggu, 17 Apr 2022 06:55 WIB
Cerita rakyat Sulawesi Selatan
Cerita rakyat Sulawesi Selatan, Nenek Pakande. Foto: (YouTube Dongeng Kita)
Makassar -

Cerita rakyat Sulawesi Selatan (Sulsel) cukup banyak dan menarik untuk disimak. Cerita rakyat dari Sulawesi Selatan juga menjadi ciri khas khusus dalam budaya dan sejarah.

Di Sulawesi Selatan cerita rakyat diciptakan bertujuan dalam berbagai hal. Beberapa di antaranya bertujuan untuk penanaman nilai moral dan budaya, serta pembentukan karakter bagi generasi pewaris.

"Cerita Rakyat dibuat atau diciptakan bertujuan dalam berbagai hal, antara lain untuk merekam kisah atau hikayat atau peristiwa penting di masyarakat yang pernah terjadi, penanaman nilai-nilai moral dan budaya, pembentukan karakter bagi generasi pewaris, hingga pengetahuan budi pekerti kepada masyarakat," kata Budayawan Universitas Hasanuddin, Dr Firman Saleh S.S.,S.Pd.,M.Hum kepada detikSulsel, Sabtu (16/4/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Firman mengungkapkan tokoh atau karakter dalam sebuah cerita rakyat diciptakan bukan tanpa alasan. Melainkan dengan tujuan sebagai contoh dalam penanaman nilai-nilai dalam cerita.

"Tokoh sebagai sumber yang disorot menjadi gambaran atas tujuan cerita rakyat dibuat guna menjadi idola sekaligus contoh dalam penanaman nilai-nilai, karakter serta budi pekerti yang digambarkan dalam cerita," tambahnya.

ADVERTISEMENT

Berikut 8 cerita rakyat Sulawesi Selatan beserta pesan moral yang terkandung di dalamnya yang dirangkum detikSulsel:

1. I Laurang Manusia Udang

Legenda I Laurang Manusia Udang merupakan salah satu cerita rakyat Sulawesi Selatan yang cukup populer. Melansir scribd.com, cerita ini mengisahkan I Laurang, yang konon lahir dengan kondisi seperti udang. Hal itu berawal dari ibunya sangat ingin punya anak, meskipun anaknya mirip udang.

Semasa kecilnya, ibunya suka sekali menceritakan tentang raja yang memiliki tujuh orang puteri kepada I Laurang. Hal ini membuat I Laurang berkeinginan untuk menikah dengan salah seorang putri raja tersebut. Ia pun meminta orang tuanya untuk melamar salah seorang putri raja itu untuknya.

Kedua orang tuanya dengan rasa malu dan resah mencoba melamar putri raja sesuai keinginan dari I Laurang. Namun, dari enam dari ketujuh putri raja menolak lamaran dari I Laurang karena bentuk fisiknya. Hanya si bungsu yang bersedia untuk dipersunting oleh I laurang.

I Laurang pun sangat bahagia mendapat kabar itu. Ia pun keluar dari cangkang kulit udang yang selama ini membungkus dirinya. Ternyata, I Laurang memiliki paras yang sangat tampan dan gagah. Dia pun menikah dengan putri ke tujuh dari raja. Keenam putri yang menolaknya pun menyesal dan merasa iri kepada si bungsu.

Saat I Laurang diutus untuk pergi berdagang, ia harus meninggalkan istrinya. Namun, I Laurang mengetahui niat jahat para saudara istrinya. Dia pun mewanti-wanti istrinya dan memberikan sebuah telur dan pinang untuk selalu dibawa. Saat para saudaranya melakukan aksi jahatnya dengan membuatnya terlempar ke laut, si bungsu tetap bisa selamat karena kedua benda yang diberikan I Laurang.

Singkat cerita I Laurang dan si Bungsu bertemu di lautan. Mereka pulang ke istana dengan selamat. Saat Raja mengetahui kejahatan keenam putrinya, Ia pun mengangkat si bungsu sebagai penggantinya. Sementara keenam putri lainnya menjadi pelayan istana.

Banyak pesan moral yang terkandung dari cerita rakyat Sulawesi Selatan, I Laurang Manusia Udang. Salah satunya adalah tidak menghakimi orang lain berdasarkan penampilan fisiknya.

2. La Dana dan Kerbaunya

La Dana dan Kerbaunya merupakan cerita rakyat Sulawesi Selatan yang berasal dari Tana Toraja. Melansir p4tktkplb.kemdikbud.go.id, cerita ini mengisahkan tentang seorang anak petani dari Toraja yang terkenal akan kecerdikannya bernama La Dana.

Kadang kala kecerdikan itu ia gunakan untuk memperdaya orang. Sehingga kecerdikan itu kemudian menjadi kelicikan.

Pada suatu hari La Dana bersama temannya diundang untuk menghadiri pesta kematian. Sudah menjadi kebiasaan di Tana Toraja bahwa setiap tamu akan mendapat daging kerbau. La Dana diberi bagian kaki belakang dari kerbau. Sedangkan kawannya menerima hampir seluruh bagian kerbau itu kecuali bagian kaki belakang.

Lalu La Dana mengusulkan pada temannya untuk menggabungkan daging-daging bagian itu dan menukarkannya dengan seekor kerbau hidup. Alasannya, mereka dapat memelihara hewan itu sampai gemuk sebelum disembelih. Mereka beruntung karena usulan tersebut diterima oleh tuan rumah.

Singkat cerita, kerbau hidup itu dipelihara oleh teman La Dana. La Dana pun mengakali temannya dengan mengganggu nya setiap saat bertanya kapan kerbau itu akan disembelih. Temannya pun kesal dan menyuruh La dana mengambil kerbau tersebut. Alhasil, La Dana mendapatkan kerbau hidup nan gemuk dari temannya tersebut.

Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita rakyat Sulawesi Selatan, La Dana dan Kerbaunya adalah tujuan akan tercapai dengan menggunakan akal dan pikiran, tapi jangan sampai merugikan orang lain.

3. Cerita Rakyat Sulawesi Selatan La Upe dan Ibu Tiri

La Upe dan Ibu Tiri adalah cerita rakyat Sulawesi Selatan yang mengisahkan kehidupan anak yang disiksa oleh ibu sambungnya. Melansir dongeng.kamikamu.co.id, cerita ini mengisahkan seorang anak bernama La Upe yang telah ditinggal wafat oleh ibunya. Ayahnya menikahi seorang wanita lain bernama I Ruga yang setiap harinya hanya memarahi dan memukul La Upe.

Kesengsaraannya tak lama akan berakhir setelah menyelamatkan satu ikan ajaib yang memberinya mantera. Mantera itu bisa diucapkan oleh La Upe untuk mengharapkan sesuatu yang dia inginkan.

Hal itu terbukti ketika La Upe pulang tanpa membawa ikan satu pun. Ketika I Ruga memarahinya lagi La Upe mencoba mantera yang diajarkan ikan dan menyebutkan kalau dia ingin ibunya menjadi lengket seperti perekat. Benar saja, saat I Ruga membuka pintu, tangan dan tubuh I Ruga menempel dengan pintu.

Saat ayah La Upe pulang, Ia kaget mendapati istrinya menempel di pintu. Setelah mendengar cerita kejadiannya, ayah La Upe pun menasehati istrinya dan meminta La Upe memaafkan ibu tirinya. Mereka pun akhirnya hidup rukun.

Banyak pesan moral yang terkandung pada cerita rakyat Sulawesi Selatan, La Upe dan Ibu Tiri. Salah satunya, menyusahkan orang tak ada gunanya. Jauh lebih baik bila memberi kemudahan pada sesama. Dengan demikian hidup akan dimudahkan oleh Tuhan.

4. Nenek Pakande

Cerita rakyat Sulawesi Selatan Nenek Pakande adalah legenda yang dipercayai oleh masyarakat Soppeng. Melansir Histori.id, diceritakan dahulu pernah ada suatu desa yang tenteram, namun datang seorang nenek yang sebenarnya adalah seorang siluman pemakan bayi dan anak-anak.

Seringkali anak-anak warga desa tersebut hilang tak tahu kemana. Para warga curiga jika itu adalah ulah dari Nenek Pakande. Para warga juga lantas membuat rencana untuk mengusir Nenek Pakande yang dipimpin oleh pemuda yang bernama La Beddu. Para warga menakut-nakuti nenek Pakande dengan kedatangan raksasa besar.

Setelah disusun dengan matang, penjebakan Nenek Pakande itu ternyata berhasil. Nenek Pakande pun lari meninggalkan kampong. Tapi dia meninggalkan pesan akan mengawasi anak-anak kecil dari kejauhan. Legenda inilah yang melatarbelakangi kenapa anak kecil dilarang keluar pada waktu maghrib atau malam hari.

Cerita rakyat Sulawesi Selatan Nenek Pakande ini memiliki banyak pesan moral yang dapat dipetik. Diantaranya yakinlah bahwa kebaikan akan menang. Serta setiap tindakan kejahatan akan terungkap dan mendapatkan hukuman.

5. Putri Tandampalik

Cerita rakyat Sulawesi Selatan Putri Tandampalik berasal dari tanah Luwu. Melansir dari kebudayaan.kemendikbud.go.id cerita ini mengisahkan Putri Tandampalik yang merupakan putri dari Datu Luwu.

Datang sebuah lamaran dari Raja Bone yang meminta Putri Tandampalik. Menurut adat, orang Luwu tidak boleh menerima pinangan dari orang lain di luar sukunya. Akan tetapi, untuk menghindari peperangan, Datu Luwu menerima pinangan tersebut dan melanggar adat tersebut. Hal ini untuk menghindari peperangan yang menyengsarakan rakyatnya.

Penerimaan lamaran itu justru membuat Putri mengalami penyakit kulit yang berbau. Karena penyakitnya ini, Putri Tandampalik pun diasingkan karena penyakitnya bersama pengikut setianya. Datu Luwu terpaksa mengasingkan putri karena tidak ingin penyakit tersebut menular ke warga. Sebelum pergi, Datu Luwu memberikan sebilah keris kepada putri kesayangannya itu.

Putri Tandampalik dan pengawalnya menetap di sebuah pulau yang subur dan berhawa sejuk yang diberi nama Wajo. Mereka berusaha dan bekerja membangun kehidupan di pemukiman baru tersebut.

Suatu hari, Putri Tandampalik melihat seekor kerbau berwarna putih. Ketika ingin mengusirnya diusir, ternyata Kerbau itu jinak. Kemudian Putri membiarkan kerbau tersebut menjilati permukaan tubuhnya yang ternyata membuat penyakit kulitnya pulih. Kulitnya menjadi bersih dan halus kembali.

Pada suatu hari, putra mahkota Kerajaan Bone pergi berburu bersama Anre Paguru Pakkannyareng Panglima Kerajaan Bone dan beberapa pengawalnya. Ia kemudian terpisah dari rombongan. Saat berusaha mencari rombongannya, putra mahkota mendapati seorang puteri yang cantik jelita. Tak lain adalah Putri Tandampalik. Ia pun jatuh cinta dan meminang sang putri dengan mengirim utusan.

Namun, pinangan itu tidak segera dijawab. Putri Tandampalik hanya menyerahkan keris pusaka pemberian Datu Luwu dan berpesan agar keris itu dibawa ke Kerajaan Luwu. Jika keris itu diterima dengan baik oleh Datu Luwu maka ia akan menerima pinangan putra mahkota.

Datu Luwu akhirnya menerima pinangan tersebut. Pesta pernikahan Putri Tandampalik dengan Putra Mahkota Kerajaan Bone akhirnya digelar di Wajo.

Cerita rakyat Sulawesi Selatan Putri Tandampalik kaya akan pesan moral. Salah satu pesan moral yang tersirat adalah ikhlas menerima cobaan dan ujian dari Tuhan, karena cobaan tersebut tidak akan melebihi kesanggupan kita.

6. Cerita Rakyat Sulawesi Selatan Sawerigading dan We Tenriabeng

Kisah Sawerigading dan We Tenriabeng merupakan cerita rakyat Sulawesi Selatan yang cukup popular hingga nasional. Melansir Poskata.com, cerita ini mengisahkan tentang Sawerigading yang jatuh cinta dengan saudaranya sendiri We Tenriabeng.

Dikisahkan pada zaman dahulu kala, di daerah Luwu, hiduplah seorang Batara Lattu' yang mempunyai dua istri. Salah satu istrinya manusia biasa, dan istri lainnya berasal dari bangsa jin.

Dari pernikahannya tersebut, Batara Lattu' dianugerahi sepasang anak kembar emas. Anak laki-lakinya diberi nama Sawerigading dan yang perempuan diberi nama We Tenriabeng. Konon, menurut ramalan, mereka berdua akan jatuh cinta. Sehingga, untuk mencegah hal itu maka dua saudara itu dibesarkan secara terpisah.

Saat dewasa, hal yang ditakutkan itu justru benar-benar terjadi. Sawerigading tiba-tiba bertemu dengan We Tenriabeng dan mereka jatuh cinta. Sawerigading pun ingin menikahi adik kembarnya itu.

Namun, kedua orang tuanya tidak menyetujui hal itu. We Tenriabeng akhirnya menawarkan solusi kepada kakaknya, yaitu menikahi sepupunya, We Cudai, yang memiliki paras dan perawakan mirip dengan dirinya. Saran itu juga disetujui oleh orang tua mereka.

Sebagai bekal, Tenriabeng memberi Sawerigading selembar rambutnya, serta gelang dan cincin emas yang biasa dipakainya. Ketiga benda itu diberikan untuk dicocokkan kepada We Cudai sebagai bukti kemiripannya dengan We Tenriabeng.

Sawerigading akhirnya menerima tawaran untuk mencari We Cudai di China, tepatnya di sebuah wilayah yang sekarang adalah Tanete Riattang, Kabupaten Bone, Sulsel. Sesampainya di China cinta Sawerigading bersambut. Sawerigading terpikat melihat Cudai yang memang mirip Tenriabeng. We Cudai pun jatuh hati melihat lelaki gagah yang masih sepupunya itu. Pernikahan pun terjadi dan dari pernikahan tersebut lahir La Galigo.

Ada beberapa pesan moral yang bisa diperoleh dari cerita rakyat Sulawesi Selatan Sawerigading dan We Tenriabeng. Pertama, perlunya menjaga silaturahmi dengan saudara sendiri agar terhindar dari salah paham. Kedua, jangan pernah menyerah dan putus asa.

7. Legenda Si Penakluk Rajawali

Si Penakluk Rajawali adalah salah satu cerita rakyat Sulawesi Selatan yang cukup dikenal di Indonesia. Melansir dari dongengceritarakyat.com, cerita ini mengisahkan tentang menceritakan kisah tentang seorang penakluk rajawali, seorang putri raja dan juga seekor rajawali.

Kisah diawali dari keresahan seorang raja yang harus mengorbankan satu putri kesayangannya kepada rajawali raksasa. Karena itu, ia pun mengadakan sayembara barang siapa yang bisa menaklukkan rajawali tersebut akan dinikahkan dengan putrinya yang cantik.

Kemudian lewatlah seorang pemuda yang melihat sang putri seperti pasrah menanti kematian. Pemuda tersebut memutuskan untuk menemani sang Putri dan akhirnya menaklukkan rajawali tersebut.

Sementara para warga yang bersembunyi di sekitar tempat itu baru muncul dan segera mencincang dan memotong-motong tubuh rajawali itu. Mereka ingin dikatakan sebagai pahlawan yang berhasil mengalahkan rajawali itu untuk mendapatkan hadiah yang dijanjikan.

Namun, pemuda sakti itu tidak meminta hadiah yang dijanjikan melainkan pamit meninggalkan sang Putri dan melanjutkan perjalanannya. Sebagai ucapan terima kasih, sang Putri memberikan selendangnya kepada pemuda itu.

Keesokan harinya, digelar pesta besar-besaran. Tidak ketinggalan pula berbagai seni pertunjukan dipertontonkan. Bahkan dalam pesta itu, raja juga mengadakan lomba sepak raga (bola kaki). Ternyata pemuda penakluk rajawali turut serta dalam perlombaan itu. Lengan pemuda itu dibalut dengan selendang yang diberikan oleh Putri.

Sang Raja sangat kagum kepada pemuda itu. Karena selain sakti pemuda itu juga mahir bermain sepak raga. Akhirnya, sang Raja pun menikahkan pemuda itu dengan putrinya yang selamat dari santapan rajawali.

Pesan moral dari cerita rakyat Sulawesi Selatan, Si Penakluk Rajawali adalah harus tulus dalam tolong menolong. Serta tidak mengharapkan imbalan dari hal yang tidak diperbuat.

8. Cerita Rakyat Sulawesi Selatan Kisah La Tongko-Tongko

Kisah La Tongko-Tongko berasal dari cerita rakyat Sulawesi Selatan. Melansir buku Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan, di kisahkan hidup seseorang anak yang sangat bodoh bernama La Tongko-Tongko.

Suatu hari, La Tongko-Tongko mengatakan kepada ibunya bahwa dia ingin menikah. Ibunya mengatakan untuk mencari gadis yang ingin menikah dengannya.

La Tongko-tongko pun pergi berjalan-jalan untuk mencari perempuan. Tidak lama kemudian La Tongko-tongko bertemu gadis pembawa kentang dan mengatakan kepada gadis tersebut bahwa Ia ingin menikahinya. Gadis tersebut pun melemparnya dengan kentang. Hal itu pun terulang saat La Tong-tongko ia menemui pembawa belanga.

Tak putus asa, La Tongko-tongko kemudian masuk ke sebuah sebuah tempat sepi penuh dengan semak-semak dan menemukan gadis. Dia kembali mengutarakan keinginannya untuk menikahi gadis itu. Tetapi tidak mendapat merespon karena ternyata gadis tersebut telah meninggal. Karena tidak merespon saat diajak menikah, La Tongko-tongko menganggap gadis itu setuju dan membawanya pulang. Ibunya pun kaget melihat mayat di rumahnya.

Ketika La Tongko-tongko bertanya kepada ibunya, bagaimana Ia mengetahui bahwa itu mayat. Sang ibu mengatakan hal itu diketahui dari bau mayat dari gadis itu.

Malam harinya, La Tongko-tongo tiba-tiba mencium bau busuk saat makan malam bersama ibunya. Ia pun mengatakan bahwa ibunya sudah mati dan ingin menguburnya. Padahal sang ibu hanya kentut. Ibunya pun lari keluar menjauhi La Tongko-tongko.

Kemudian tak lama La Tongko-tongko pun kentut. Setelah mencium bau busuk dari tubuhnya, Ia pun mengubur untuk tubuhnya sementara kepalanya tetap di atas tanah.

Pesan moral yang paling ditekankan pada cerita rakyat Sulawesi Selatan ini adalah berpikirlah sebelum bertindak dan tidak menelan mentah-mentah informasi yang diterima.




(asm/sar)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads