- Contoh Studi Kasus PPG 2025 1. Permasalahan Siswa Ribut dalam Kelas - Pengalaman Nyata Guru 2. Menghadapi Siswa Hiperaktif di Kelas - Pengalaman Nyata Guru 3. Menghadapi Siswa Pendiam di Kelas - Pengalaman Mengajar di SMA 4. Menghadapi Siswa SMP yang Malas Mengerjakan Tugas - Refleksi Pengalaman Mengajar 5. Mengatasi Kurangnya Motivasi Belajar pada Siswa SMP - Pengalaman Mengajar 6. Menghadapi Siswa yang Melanggar Aturan Sekolah - Sebuah Pembelajaran tentang Pendekatan Humanis 7. Menghadapi Siswa yang Berbahasa Kasar: Refleksi Guru Bahasa Inggris SMP 8. Menghadapi Siswa SD yang Kesulitan Beradaptasi: Refleksi Guru Kelas
Studi kasus merupakan salah satu tahapan penting dalam proses Pendidikan Profesi Guru (PPG) 2025. Dalam tugas ini, para guru diminta untuk menuliskan pengalaman nyata yang pernah mereka hadapi selama mengajar di kelas.
Penulisan studi kasus umumnya dibatasi maksimal 500 kata. Melalui tugas ini, guru dapat menunjukkan kemampuannya dalam mengidentifikasi, menangani, dan merefleksikan permasalahan yang terjadi di kelas.
Untuk membantu dalam menyusun tugas ini, detikSulsel menyiapkan sejumlah contoh studi kasus PPG 2025 yang telah disesuaikan dengan batas 500 kata. Kasus-kasus ini mencakup jenjang SD, SMP, hingga SMA, yang bisa menjadi referensi bagi guru dari berbagai jenjang pendidikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yuk, simak!
Contoh Studi Kasus PPG 2025
Berikut ini beberapa contoh studi kasus PPG terbaru:
1. Permasalahan Siswa Ribut dalam Kelas - Pengalaman Nyata Guru
Sebagai guru, saya pernah menghadapi situasi sulit ketika mengajar di kelas VIII pada awal semester ganjil. Salah satu tantangan utama saat itu adalah suasana kelas yang sering tidak kondusif akibat beberapa siswa yang ribut selama proses pembelajaran. Mereka sering berbicara sendiri, bercanda berlebihan, bahkan kadang tidak memperhatikan materi yang saya sampaikan. Hal ini tentu mengganggu konsentrasi siswa lain dan menghambat pencapaian tujuan pembelajaran.
Awalnya, saya mencoba menegur secara langsung siswa yang membuat kegaduhan. Namun, pendekatan ini hanya efektif sementara. Ketika saya kembali fokus menjelaskan materi, suasana kelas kembali gaduh. Saya menyadari bahwa pendekatan saya kurang menyentuh akar permasalahan. Maka saya mencoba mencari solusi yang lebih tepat.
Langkah pertama yang saya lakukan adalah mengamati dan mencatat pola perilaku siswa selama beberapa pertemuan. Saya menemukan bahwa sebagian siswa yang ribut merasa bosan karena metode pembelajaran yang terlalu satu arah dan kurang melibatkan mereka secara aktif. Dari sini, saya menyusun strategi dengan mengubah pendekatan pembelajaran menjadi lebih interaktif, misalnya dengan diskusi kelompok, kuis, dan permainan edukatif yang sesuai dengan materi.
Selain itu, saya juga mengadakan dialog personal dengan siswa-siswa yang sering ribut, bukan untuk menghukum, tetapi untuk mendengarkan alasan mereka dan membangun kedekatan emosional. Hasilnya, mereka merasa lebih dihargai dan mulai menunjukkan perubahan sikap.
Setelah beberapa minggu menerapkan pendekatan ini, saya melihat perubahan signifikan dalam kelas. Siswa menjadi lebih antusias mengikuti pelajaran, suasana kelas lebih kondusif, dan mereka mulai menunjukkan tanggung jawab atas perilakunya. Bahkan, beberapa siswa yang dulu sering ribut kini menjadi lebih aktif dalam diskusi dan membantu menjaga ketertiban kelas.
Pengalaman ini memberikan pelajaran berharga bagi saya bahwa masalah dalam pembelajaran tidak selalu bisa diselesaikan dengan cara otoritatif. Kadang, dibutuhkan pendekatan yang lebih manusiawi, empatik, dan kreatif. Saya juga belajar pentingnya melakukan refleksi terhadap metode mengajar saya, serta bahwa membangun hubungan positif dengan siswa bisa menjadi kunci keberhasilan dalam menciptakan lingkungan belajar yang efektif.
2. Menghadapi Siswa Hiperaktif di Kelas - Pengalaman Nyata Guru
Sebagai guru kelas IV SD, saya pernah menghadapi tantangan saat mengajar seorang siswa yang tergolong hiperaktif. Sebut saja namanya Raka. Ia sangat aktif, sering berjalan-jalan di kelas, berbicara terus-menerus, bahkan terkadang mengganggu temannya saat kegiatan belajar berlangsung. Kondisi ini membuat suasana kelas tidak kondusif dan mengganggu konsentrasi siswa lain.
Awalnya, saya merasa frustrasi karena teguran lisan yang saya berikan hampir setiap hari tidak membuahkan hasil. Bahkan, ketika saya mencoba memindahkan tempat duduknya ke depan agar lebih mudah diawasi, ia tetap menunjukkan perilaku yang sama. Saya menyadari bahwa pendekatan disiplin semata tidak cukup untuk menghadapi anak dengan kebutuhan khusus seperti Raka.
Saya kemudian mencari tahu lebih lanjut mengenai karakteristik anak hiperaktif melalui membaca literatur dan berdiskusi dengan guru BK di sekolah. Saya mulai memahami bahwa Raka sebenarnya bukan anak nakal, tetapi ia memiliki kebutuhan khusus dalam cara belajar dan berperilaku. Dari situ, saya mencoba mengubah pendekatan saya secara menyeluruh.
Pertama, saya mulai memberi tugas-tugas kecil yang bersifat aktif dan melibatkan gerak, seperti membagikan lembar kerja atau menjadi pemimpin kelompok diskusi. Aktivitas ini membuat energi Raka tersalurkan secara positif. Kedua, saya menggunakan sistem reward sederhana untuk perilaku baik, seperti stiker atau pujian di depan kelas ketika ia berhasil menyelesaikan tugas tanpa mengganggu.
Saya juga menjalin komunikasi yang lebih dekat dengan orang tuanya, agar bisa mengetahui rutinitasnya di rumah dan menyamakan strategi pendampingan. Di waktu senggang, saya sesekali mengajak Raka berbicara secara personal, agar ia merasa diperhatikan dan diterima.
Lambat laun, perubahan mulai terlihat. Meskipun ia masih aktif, Raka menjadi lebih terkontrol. Ia mulai tahu kapan harus diam dan kapan boleh aktif. Ia juga tampak lebih percaya diri karena tidak lagi sering dimarahi. Suasana kelas pun menjadi jauh lebih kondusif, dan teman-temannya mulai lebih bisa menerima keberadaan Raka.
Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa setiap anak memiliki kebutuhan dan karakter yang berbeda. Guru harus peka, sabar, dan terus belajar agar bisa memberikan pendekatan yang tepat. Menghadapi anak hiperaktif bukan hanya soal mendisiplinkan, tetapi bagaimana kita membantu mereka menemukan cara terbaik untuk belajar dan mengekspresikan diri secara positif.
3. Menghadapi Siswa Pendiam di Kelas - Pengalaman Mengajar di SMA
Sebagai guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA negeri, saya pernah menghadapi tantangan saat membimbing seorang siswa kelas X, sebut saja namanya Reyhan. Sejak awal semester, Reyhan tampak sangat tertutup. Ia selalu duduk di pojok belakang, jarang terlibat dalam diskusi kelas, bahkan tidak pernah bertanya ataupun mengungkapkan pendapatnya ketika diberi kesempatan.
Awalnya saya berpikir mungkin Reyhan belum beradaptasi dengan lingkungan sekolah baru. Namun setelah beberapa bulan, sikapnya tetap sama. Ia hanya berbicara seperlunya, tampak tidak percaya diri, dan sering menghindari kontak mata saat diajak bicara. Hal ini tentu menjadi tantangan, apalagi pelajaran Bahasa Indonesia menuntut siswa untuk aktif berdiskusi, mengemukakan pendapat, serta berlatih berbicara di depan umum.
Saya mulai melakukan observasi dan menggali informasi dari wali kelas serta guru BK. Dari hasil diskusi, diketahui bahwa Reyhan berasal dari keluarga sederhana dan pernah mengalami perundungan saat di jenjang SMP. Hal tersebut memengaruhi kepercayaan dirinya, membuatnya menarik diri dari lingkungan sosial.
Untuk mengatasi hal ini, saya mengambil beberapa langkah. Pertama, saya coba membangun kepercayaan Reyhan secara personal. Saya ajak dia berdiskusi ringan di luar jam pelajaran, bukan soal pelajaran, melainkan tentang hal-hal yang ia sukai. Ternyata Reyhan menyukai musik instrumental dan suka menulis lirik lagu.
Mengetahui hal ini, saya mulai melibatkan Reyhan secara tidak langsung dalam pembelajaran. Misalnya, ketika membahas puisi atau cerpen, saya izinkan dia memilih karya sendiri dan menyampaikan hasilnya melalui tulisan, bukan lisan. Untuk tugas presentasi kelompok, saya beri peran yang sesuai seperti menjadi penata materi atau visual, agar dia tetap terlibat namun tidak merasa terpaksa tampil di depan umum.
Perlahan-lahan Reyhan menunjukkan perubahan. Ia mulai aktif mengumpulkan tugas tepat waktu, mengobrol dengan beberapa teman, dan sesekali bertanya saat pelajaran berlangsung. Di akhir semester, ia bahkan memberanikan diri membaca puisi ciptaannya saat ada kegiatan kelas. Meskipun suaranya pelan, seluruh kelas memberi tepuk tangan - momen yang sangat emosional dan membahagiakan bagi saya sebagai gurunya.
Pengalaman ini memberikan pelajaran penting bahwa setiap siswa memiliki cara tumbuh yang berbeda. Peran guru bukan hanya mentransfer ilmu, tapi juga menjadi jembatan agar siswa merasa aman untuk berkembang. Kesabaran, empati, dan pendekatan yang disesuaikan dengan karakter siswa sangat dibutuhkan untuk menggali potensi mereka yang tersembunyi.
4. Menghadapi Siswa SMP yang Malas Mengerjakan Tugas - Refleksi Pengalaman Mengajar
Saat mengajar di kelas VIII SMP, saya menghadapi tantangan dengan salah satu siswa, sebut saja namanya Dika. Ia dikenal cukup cerdas saat berdiskusi, namun hampir selalu terlambat atau bahkan tidak mengumpulkan tugas yang diberikan. Padahal, materi yang ia kuasai cukup baik saat ulangan lisan. Hal ini tentu menjadi perhatian saya sebagai guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, karena penilaian tidak hanya berdasarkan ujian, tetapi juga keaktifan dan tanggung jawab siswa.
Awalnya, saya menegur Dika di depan kelas ketika ia kembali tidak mengumpulkan tugas. Namun responsnya datar, bahkan makin enggan terlibat dalam kegiatan belajar. Saya menyadari pendekatan ini kurang tepat, sehingga saya coba lakukan cara lain. Saya memanggilnya secara pribadi untuk berdiskusi. Dari perbincangan tersebut, saya mengetahui bahwa Dika tinggal bersama neneknya karena orang tuanya bekerja di luar kota. Di rumah, ia tidak memiliki orang dewasa yang rutin mengingatkan atau membimbingnya mengatur waktu belajar.
Setelah memahami latar belakangnya, saya mulai melakukan pendekatan yang lebih suportif. Saya ajak Dika membuat jadwal pribadi untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, dan saya beri keleluasaan untuk mengerjakan tugas dalam bentuk yang sesuai dengan minatnya. Misalnya, ketika siswa lain menulis esai biasa, Dika saya izinkan membuat cerita pendek atau komik pendek dengan alur yang relevan dengan tema.
Saya juga rutin memberikan apresiasi kecil setiap kali ia berhasil mengumpulkan tugas, bahkan jika itu hanya satu halaman. Ternyata, dukungan seperti ini membuat Dika perlahan berubah. Ia mulai lebih termotivasi, beberapa kali bahkan mengumpulkan tugas lebih awal. Ia merasa dihargai, bukan dihakimi.
Dalam beberapa bulan, perubahan sikapnya terlihat signifikan. Ia mulai mengerjakan tugas dengan lebih teratur dan tidak lagi menghindari diskusi kelas. Bahkan, teman-temannya mulai terinspirasi karena melihat ia bisa berubah.
Pengalaman ini menjadi pelajaran berharga bagi saya: malas bukan selalu berarti bodoh atau tidak peduli. Ada banyak faktor yang mempengaruhi perilaku belajar siswa, terutama pada usia SMP yang masih mencari jati diri. Sebagai guru, kita perlu lebih peka dan sabar, mencari akar masalahnya, dan memberikan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan siswa.
Perubahan tidak terjadi dalam semalam, tapi dengan kesabaran, pendekatan personal, dan penghargaan kecil, siswa yang awalnya pasif dan tidak bertanggung jawab bisa berubah menjadi lebih disiplin dan percaya diri.
5. Mengatasi Kurangnya Motivasi Belajar pada Siswa SMP - Pengalaman Mengajar
Dalam pengalaman saya mengajar di kelas VII SMP, saya pernah menghadapi permasalahan dengan sekelompok siswa yang terlihat kurang memiliki motivasi belajar. Mereka sering mengabaikan penjelasan guru, tidak mengerjakan tugas, dan jarang bertanya ketika tidak paham. Prestasi akademik mereka cenderung rendah dan tidak menunjukkan perbaikan meskipun sudah diingatkan berulang kali.
Masalah ini membuat saya bertanya-tanya: Apakah metode saya kurang menarik? Apakah mereka memiliki hambatan dari luar sekolah? Untuk mencari jawabannya, saya mulai melakukan observasi dan pendekatan secara personal. Saya mencoba berdialog dengan beberapa siswa, termasuk melalui kegiatan tidak formal seperti saat jam istirahat atau kelas prakarya. Ternyata, beberapa dari mereka merasa pelajaran di sekolah tidak relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Ada juga yang kurang mendapat dukungan belajar dari rumah.
Setelah memahami akar masalahnya, saya mulai melakukan beberapa perubahan pendekatan dalam pembelajaran. Saya mencoba mengaitkan materi pelajaran dengan hal-hal yang dekat dengan kehidupan mereka, seperti tren media sosial, hobi, atau cita-cita mereka. Misalnya, saat membahas teks prosedur, saya minta siswa membuat video tutorial singkat sesuai minat mereka, seperti memasak mie goreng atau membuat kerajinan tangan.
Saya juga mulai menerapkan metode pembelajaran kooperatif dan memberikan lebih banyak kesempatan kepada siswa untuk aktif berdiskusi. Tujuannya agar mereka merasa dihargai dan lebih terlibat dalam proses belajar. Selain itu, saya memberikan penghargaan kecil seperti "bintang semangat" atau "catatan positif" yang ditulis di buku tugas mereka.
Hasilnya tidak instan, namun perlahan-lahan siswa mulai menunjukkan perubahan. Mereka menjadi lebih antusias saat diberi tugas yang sesuai minat. Beberapa yang dulunya pasif mulai berani menyampaikan pendapat di kelas. Nilai mereka juga mengalami peningkatan, terutama dalam aspek keaktifan dan keterampilan proses.
Pengalaman ini memberikan pelajaran penting bahwa kurangnya motivasi belajar bukan sekadar masalah siswa yang malas, tetapi bisa berasal dari kurangnya relevansi, minimnya penghargaan, atau metode pembelajaran yang kurang variatif. Sebagai guru, saya belajar untuk lebih fleksibel dan kreatif dalam mengajar, serta berempati terhadap kondisi siswa secara menyeluruh.
6. Menghadapi Siswa yang Melanggar Aturan Sekolah - Sebuah Pembelajaran tentang Pendekatan Humanis
Sebagai guru SMP, saya pernah menghadapi seorang siswa bernama A yang beberapa kali melanggar aturan sekolah. Ia sering datang terlambat, mengenakan atribut yang tidak sesuai peraturan, dan pernah kedapatan membolos dari salah satu mata pelajaran. Kejadian ini tentu saja menjadi perhatian, bukan hanya karena pelanggarannya, tapi juga karena ia berpengaruh terhadap teman-temannya.
Awalnya, saya menegur secara langsung dan melaporkannya kepada wali kelas serta guru BK. Namun, pendekatan disiplin formal semata tidak cukup efektif. Siswa A tetap menunjukkan perilaku yang sama dalam beberapa minggu berikutnya. Saya mulai menyadari bahwa perlu pendekatan lain yang lebih menyentuh aspek emosional dan sosialnya.
Saya pun memutuskan untuk berbicara secara pribadi dengan A di luar jam pelajaran. Saya menghindari nada menghakimi dan lebih memilih mendengarkan. Dari perbincangan tersebut, saya mengetahui bahwa A merasa kurang diperhatikan di rumah karena orang tuanya sibuk bekerja. Ia mengaku sering merasa kesepian dan mengaku tidak tahu harus menyalurkan energinya ke mana.
Setelah memahami latar belakangnya, saya dan guru BK mengajaknya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler teater sekolah. Kami pikir ini bisa menjadi ruang aman bagi A untuk mengekspresikan diri secara positif. Saya juga memberinya tanggung jawab kecil di kelas, seperti menjadi ketua kelompok diskusi, agar ia merasa dipercaya dan dibutuhkan.
Perubahan tidak terjadi seketika, tetapi dalam dua bulan, A mulai menunjukkan sikap lebih positif. Ia lebih disiplin, aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, dan pelanggaran yang sebelumnya dilakukan perlahan-lahan tidak terulang. Ia bahkan mulai menyemangati teman-temannya agar tidak melanggar aturan sekolah.
Pengalaman ini memberi pelajaran penting bagi saya bahwa siswa yang melanggar aturan belum tentu "anak nakal", melainkan mungkin sedang berjuang dengan masalah pribadi yang belum terungkap. Pendekatan manusiawi, empatik, dan solutif sering kali lebih efektif dibanding sekadar hukuman administratif.
Saya belajar bahwa sebagai guru, tugas kita bukan hanya mendidik secara akademik, tapi juga memahami dinamika psikologis siswa. Dengan pendekatan yang tepat, pelanggaran bisa menjadi titik balik tumbuhnya kesadaran dan perubahan positif pada diri siswa.
7. Menghadapi Siswa yang Berbahasa Kasar: Refleksi Guru Bahasa Inggris SMP
Sebagai guru Bahasa Inggris di jenjang SMP, saya pernah menghadapi siswa kelas IX yang sering menggunakan bahasa kasar, baik kepada teman maupun saat menanggapi instruksi guru. Misalnya, ketika saya membagikan tugas speaking, ia merespons dengan komentar sinis dan kata-kata tidak pantas seperti, "Ngapain sih ribet amat, Miss!" atau "Temen gue ini nyebelin banget!" disampaikan dengan nada tinggi di depan kelas.
Awalnya, saya mencoba menegurnya secara langsung di dalam kelas agar menjadi peringatan bagi siswa lain. Namun, teguran itu justru membuatnya semakin defensif dan tidak kooperatif. Ia malah bersikap lebih tertutup dan sering menolak berpartisipasi dalam kegiatan belajar.
Melihat hal ini, saya menyadari bahwa penanganannya tidak cukup hanya dengan teguran. Saya kemudian mengatur waktu untuk berbicara empat mata dengannya di luar jam pelajaran. Saya memulai dengan pendekatan empatik-menanyakan kabarnya dan membiarkan ia merasa didengar terlebih dahulu. Setelah suasana lebih tenang, saya menjelaskan dampak dari ucapan-ucapan kasarnya terhadap suasana kelas dan perasaan teman-temannya.
Dari perbincangan tersebut, saya mengetahui bahwa siswa tersebut sering merasa tertekan di rumah dan mengekspresikan kekesalannya di sekolah. Bahasa kasar menjadi bentuk pertahanan dirinya agar terlihat kuat di hadapan teman-temannya. Saya pun berkoordinasi dengan wali kelas dan guru BK untuk menindaklanjuti secara lebih menyeluruh.
Dalam kelas, saya juga mulai menerapkan aturan berbahasa yang lebih tegas namun positif. Saya memberi contoh penggunaan bahasa sopan dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia. Misalnya, saya memberikan pujian bagi siswa yang menyampaikan pendapat dengan baik dan membenarkan kalimat yang kasar dengan versi yang lebih santun. Saya juga mengajak siswa membuat "class agreement" yang salah satu poinnya adalah penggunaan bahasa yang saling menghargai.
Beberapa minggu kemudian, saya mulai melihat perubahan. Siswa tersebut mulai menunjukkan usaha mengendalikan ucapannya. Meskipun masih kadang terpeleset, ia terlihat lebih sadar dan langsung meminta maaf ketika ditegur. Ia juga mulai aktif dalam kelas, terutama saat tugas-tugas yang melibatkan kerja kelompok.
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa siswa yang berbahasa kasar bukan semata-mata ingin membangkang. Terkadang, itu adalah cerminan dari tekanan atau luka emosional yang tidak terlihat. Sebagai guru, saya belajar pentingnya untuk tidak hanya fokus pada kesalahan, tetapi juga mencari akar permasalahan dan membimbing siswa secara manusiawi dan konsisten.
8. Menghadapi Siswa SD yang Kesulitan Beradaptasi: Refleksi Guru Kelas
Sebagai guru kelas IV SD, saya pernah menghadapi seorang siswa pindahan dari luar kota yang mengalami kesulitan beradaptasi di lingkungan sekolah baru. Selama dua minggu pertama, ia tampak pendiam, enggan bergaul dengan teman-temannya, dan sering menyendiri saat jam istirahat. Di kelas, ia hanya menjawab pertanyaan bila ditunjuk, itu pun dengan suara pelan dan pandangan tertunduk.
Situasi ini membuat saya khawatir. Saya khawatir ia akan semakin tertinggal baik secara akademik maupun sosial. Oleh karena itu, saya mulai mencari tahu lebih banyak melalui wali kelas sebelumnya dan berkoordinasi dengan orang tuanya. Ternyata, siswa tersebut belum pernah berpindah sekolah sebelumnya dan memiliki karakter introvert yang kuat. Ia merasa tidak nyaman dengan perubahan lingkungan dan pola pembelajaran yang berbeda dari sekolah lamanya.
Sebagai langkah awal, saya melakukan pendekatan secara personal. Setiap pagi, saya menyambutnya dengan sapaan ramah dan sedikit obrolan ringan. Di dalam kelas, saya secara sengaja menempatkannya di kelompok belajar yang terdiri dari siswa-siswa yang kooperatif dan suportif. Saya juga memberinya peran ringan dalam kegiatan kelas, seperti membagikan buku atau membantu merapikan alat tulis, untuk menumbuhkan rasa percaya diri.
Saya juga melibatkan teman-teman sekelas dalam membantunya beradaptasi. Saya meminta beberapa siswa untuk menjadi "teman pendamping" yang mengajaknya bermain saat istirahat dan membantunya saat ada kesulitan. Di sisi lain, saya menghindari memberikan tekanan atau tuntutan berlebihan yang bisa membuatnya semakin cemas.
Perlahan-lahan, saya mulai melihat perubahan. Ia mulai tersenyum saat disapa, lebih aktif dalam diskusi kelompok, dan sesekali mengangkat tangan saat ada pertanyaan. Dalam waktu kurang lebih satu bulan, ia sudah bisa berinteraksi lebih nyaman dan menunjukkan peningkatan dalam tugas-tugas sekolahnya.
Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa tidak semua anak bisa langsung menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Butuh pendekatan yang sabar, empati, dan dukungan dari lingkungan sekitarnya. Tugas guru bukan hanya mengajar, tetapi juga menciptakan ruang yang aman dan ramah agar setiap siswa bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya.
Nah, itulah beberapa contoh studi kasus PPG 2025 dengan batas maksimal 500 karakter. Semoga membantu!
(edr/alk)