Beda Usulan Serikat Buruh-Pengusaha Untuk UMP Sulsel 2025

Nur Hidayat Said - detikSulsel
Selasa, 22 Okt 2024 07:00 WIB
Foto: Ilustrasi upah minimum. (Muhammad Ridho)
Makassar -

Pembahasan besaran upah minimum provinsi Sulawesi Selatan (UMP Sulsel) 2025 mulai bergulir. Rencana penetapan UMP diprediksi berjalan alot lantaran serikat buruh maupun pengusaha masing-masing memiliki dasar formulasi perhitungan yang mengacu dari regulasi yang berbeda.

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Sulsel Basri Abbas mengaku, pihaknya sudah mengusulkan besaran kenaikan UMP 2025 dalam rapat bersama Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit pada Selasa (15/10). Rapat itu melibatkan unsur pengusaha, pemerintah dan pekerja atau buruh.

"Berdasarkan rapat kemarin dari LKS Tripartit, UMP, kan, berdasarkan edaran. Nah, kita berharap kenaikan UMP itu minimal 10%," ungkap Basri kepada detikSulsel, Jumat (18/10/2024).


Berdasarkan dari persentase usulan serikat buruh tersebut, maka UMP Sulsel 2025 naik menjadi Rp 3.777.727. Artinya, ada kenaikan sebesar Rp 343.429 dari UMP Sulsel 2024 yang ditetapkan Rp 3.434.298.

Basri menjelaskan, usulan itu mempertimbangkan kondisi ekonomi yang dinilai belum sepenuhnya pulih pascapandemi COVID-19. Dia juga menyinggung kenaikan UMP perlu memperhatikan standar kebutuhan hidup layak (KHL).

"Pertama, kondisi pandemi COVID-19 sudah berlalu. Kedua, daya beli buruh selama ini menurun karena semua kebutuhan pokok, bukan rahasia umum lagi, sudah naik. Ini tentu memengaruhi KHL buruh," tuturnya.

"Dengan KHL yang tinggi, maka kenaikan UMP minimal 10% itu adalah rasional. Ditambah dengan struktur skala upah agar daya beli buruh dapat kembali normal," sambung Basri.

Pihaknya mengakui kerap ada perbedaan antara serikat buruh dengan pengusaha dalam menetapkan besaran UMP. Pasalnya, regulasi yang dijadikan acuan antara kedua belah pihak juga juga berbeda.

Serikat buruh kukuh berpatokan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015. Dalam aturan itu, kata Basri, besaran UMP ditetapkan berdasarkan standar KHL atau kebutuhan hidup layak.

"Kalau serikat buruh dari dulu berpatokan pada yang belum dicabut itu PP 78 Tahun 2015. KHL itu, kan, diatur PP 78. Kita tetap ngotot karena tidak ada juga pencabutan," tuturnya.

Sementara pengusaha mengacu pada regulasi baru, yakni PP Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. Aturan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) itu mengatur formulasi UMP berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

"Tapi, di (Undang-undang) Cipta Kerja ini, diciptakan formulasi yang hitungannya paling tinggi 3% (kenaikan UMP). Itu yang kita tolak selama ini," jelas Basri.

Atas kondisi tersebut, Basri juga menuntut Pemprov Sulsel untuk mewajibkan perusahaan menerapkan struktur dan skala upah. Sistem ini diklaim bisa memberikan jaminan perlindungan dengan masa kerja lebih dari satu tahun.

"Dengan struktur skala upah, berarti pekerja yang masa kerjanya di atas satu tahun bisa mendapatkan upah lebih tinggi daripada UMP. Selama ini, kan, karena tidak ditetapkan oleh gubernur, banyak perusahaan tidak mau jalankan," imbuhnya.

Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulsel menilai tuntutan serikat buruh yang ingin UMP 2025 naik 10% merupakan hal yang wajar. Namun dia juga berharap agar pekerja memahami kondisi pengusaha.

"Harapan dan tuntutan teman-teman serikat pekerja untuk minimal kenaikan 10 persen wajar karena kebutuhan yang tinggi dan daya beli yang rendah saat ini," kata Ketua Apindo Sulsel Suhardi saat dihubungi wartawan, Minggu (20/10).

Simak selengkapnya di halaman berikutnya...




(sar/hsr)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork