Kotak Kosong dan Demokrasi Sulsel yang Terpasung

Opini

Kotak Kosong dan Demokrasi Sulsel yang Terpasung

Ibnu Hadjar - detikSulsel
Senin, 12 Agu 2024 19:53 WIB
Akademisi UIN Alauddin Makassar Ibnu Hadjar. Dokumen Istimewa
Foto: Akademisi UIN Alauddin Makassar Ibnu Hadjar. Dokumen Istimewa
Makassar -

Sulawesi Selatan, sebuah provinsi dengan dinamika politik yang kerap menjadi sorotan nasional, kini berada di persimpangan jalan dalam proses demokrasi. Ancaman kekuasaan yang terpusat pada segelintir elit mendorong calon tertentu berhadapan dengan kotak kosong, mengancam kesehatan demokrasi yang seharusnya mengedepankan kompetisi dan partisipasi publik.

Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa pada Pilkada 2018, meskipun partisipasi pemilih secara nasional meningkat lebih dari 70%, beberapa daerah, termasuk Sulawesi Selatan, terpengaruh oleh minimnya pilihan kandidat. Ketika hanya ada calon tunggal, kekecewaan menyelimuti pemilih yang merasa pilihannya terbatas, berujung pada apatisme atau protes melalui kotak kosong.

Fenomena kotak kosong yang memenangkan Pilkada Makassar 2018 dengan sekitar 53% suara menjadi bukti nyata bahwa masyarakat resisten terhadap kandidat yang dianggap tidak mencerminkan aspirasi mereka. Kejadian ini menunjukkan ketidakpuasan pemilih terhadap pilihan politik yang tersedia dan memperingatkan akan bahaya demokrasi yang tersandera oleh elitisme.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jika Koko Vs Tunggal dan Tanda-tanda Sulsel Menuju Kematian Demokrasi

Kondisi di mana kotak kosong berhadapan dengan calon tunggal dapat ditelaah melalui teori legitimasi politik. Legitimasi pemerintahan terpilih menurun ketika pemilih merasa tidak ada alternatif pilihan yang representatif.

Kemenangan kotak kosong dalam Pilkada Makassar 2018 mencerminkan ketidakpuasan mendalam terhadap proses politik yang tidak menawarkan pilihan sesuai kehendak rakyat. Ini mengindikasikan bahwa demokrasi di daerah tersebut perlu reformasi agar lebih inklusif dan representatif.

ADVERTISEMENT

Jika skenario koko vs tunggal kembali terjadi di Sulsel, ini bisa menjadi tanda bahwa demokrasi mengalami defisit, di mana masyarakat merasa suara mereka tidak dihargai atau diwakili dengan baik.

Partai Dibajak dan Tenggelamnya Kader Internal

Ketika partai politik memilih mendukung kandidat dari luar partai daripada kader sendiri, ini bisa dilihat sebagai tanda pengaruh oligarki. Partai yang dibajak oleh kepentingan tertentu cenderung lebih mementingkan keuntungan jangka pendek daripada kepentingan jangka panjang yang lebih inklusif.

Fenomena ini sering terjadi di politik Indonesia, di mana partai memilih tokoh populer atau kandidat dengan dukungan finansial kuat yang bukan kader partai. Ini mencerminkan adanya dominasi oligarki dalam proses pencalonan yang berpotensi merusak integritas dan independensi partai.

Untuk mengatasi masalah ini, partai politik perlu memperkuat struktur internal dan proses kaderisasi serta menegakkan prinsip demokrasi internal agar lebih responsif terhadap aspirasi anggotanya dan masyarakat luas.

Secara keseluruhan, situasi politik di Sulsel membutuhkan perbaikan sistemik untuk memastikan demokrasi berjalan sehat dan inklusif. Reformasi diperlukan untuk meningkatkan transparansi, memperkuat partai politik, dan membuka lebih banyak ruang partisipasi bagi masyarakat. Dengan demikian, demokrasi di Sulsel dapat terhindar dari ancaman oligarki dan menuju ke arah pemerintahan yang lebih representatif dan akuntabel.

Perlunya Calon Tandingan

Dalam teori demokrasi liberal, kompetisi dalam pemilihan merupakan elemen vital yang menjamin akuntabilitas dan responsivitas pemerintahan. Kehadiran calon tandingan dalam Pilgub Sulsel sangatlah penting untuk menciptakan dinamika politik yang sehat, memicu debat publik, dan menawarkan kebijakan yang lebih baik. Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi contoh di mana persaingan ketat antar calon gubernur menghasilkan partisipasi pemilih tinggi, mencapai sekitar 77%. Ini menunjukkan calon tandingan memotivasi masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses politik.

Dengan adanya calon tandingan, pemilih di Sulsel berkesempatan untuk menilai dan membandingkan visi, misi, serta program kerja dari para kandidat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas pemerintahan yang terpilih.

Menakar Peluang ASS-Fatma Vs Danny-Azhar

Peluang pasangan calon seperti ASS-Fatma dan Danny-Azhar dapat dievaluasi melalui lensa teori pemasaran politik, yang menekankan pentingnya citra, reputasi, dan strategi komunikasi. Popularitas dan elektabilitas mereka bergantung pada kemampuan berkomunikasi dengan pemilih dan bagaimana mereka memposisikan diri dalam isu-isu penting. Berdasarkan survei dari beberapa lembaga riset politik, pengenalan publik terhadap visi dan misi menjadi faktor utama yang mempengaruhi popularitas kandidat.

Pasangan calon harus cerdas memanfaatkan media sosial dan saluran komunikasi lainnya untuk menjangkau berbagai segmen masyarakat, khususnya generasi muda yang menjadi bagian signifikan dari demografi pemilih di Sulsel.

Besar harapan masyarakat Sulsel pertarungan politik Pilgub 2024 paket yang lengkap apakah head to head antara A Sudirman-Fatma vs Danny Azhar atau lebih dari dua kandidat itu jauh lebih fair, apik dan menarik arena tarungnya.

Sungguh kasihan partai-partai yang dibegal oleh nafsu kuasa yang tak terbendung, menghalalkan segala cara sehingga partai politik dibuat tak berkutik olehnya. Pada hal partai besar, sebut saja Golkar memiliki banyak kader yang potensial untuk didorong maju calon Gubernur Sulsel.

Namun Golkar pun takluk tak berdaya. Miris dan prihatin kita melihatnya demokrasi Sulsel. Ketika kotak kosong dipaksakan maka kemungkinan besar bermunculan perlawanan sosial dari kelompok rakyat yang teragitasi akibat ulah para elit yang menginginkan demokrasi mundur dan tidak sehat.

Ibnu Hadjar, Dosen Komunikasi Politik pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar, Doktor Sosiologi Universitas Negeri Makassar




(ata/ata)

Hide Ads