Banjir dan longsor yang menewaskan 13 orang di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel), diduga terjadi karena pembukaan lahan untuk aktivitas tambang emas di kawasan Gunung Latimojong. Aktivitas itu mengakibatkan kondisi lahan semakin kritis karena daerah tutupan hutan semakin menurun.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel Muhammad Al Amien mengatakan, penurunan tutupan hutan berimbas pada daya dukung dan daya tampung air ikut menurun. Berdasarkan hasil kajiannya, kondisi ini sudah terjadi sejak tiga tahun terakhir.
"Makanya setiap wilayah itu dilanda intensitas hujan tinggi terjadi banjir dan longsor, kemudian daerah Wajo dan Sidrap juga terkena dampaknya," ungkap Al Amien kepada detikSulsel, Minggu (5/5/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Al Amien melanjutkan, penurunan tutupan hutan ini karena masifnya pembukaan lahan. Dia mengungkapkan 70% pembukaan lahan dikarenakan aktivitas tambang emas, sementara 30% pembukaan lahan untuk perkebunan masyarakat sekitar.
"Tiga tahun terakhir kami catat kegiatan pertambangan baik ilegal maupun non-legal yang dilakukan di Kabupaten Luwu secara massif, dan pertambangan itu adalah pertambangan emas yah, (sedangkan) 30% itu pembukaan lahan perkebunan masyarakat," bebernya.
Menurut Al Amien, aktivitas tambang emas ini mengeruk tebing dan dinding sungai, sehingga menyebabkan luapan air sungai semakin deras ketika musim hujan. Dia pun mendesak pemerintah segera dilakukan pemulihan tutupan lahan di kawasan Gunung Latimojong.
"Kemudian hentikan secara total kegiatan tambang emas ilegal di bantaran sungai, karena ada banyak titik tambang ilegal yang tidak sama sekali tersentuh oleh penegakan hukum," tegas Al Amien.
Dia mendorong Pemkab Luwu dan Pemprov Sulsel mengevaluasi dan mengkaji kembali analisis dampak lingkungan dari aktivitas tambang tersebut. Al Amien mengingatkan potensi bencana susulan yang bisa mengancam nyawa masyarakat.
"Pemprov maupun Pemda Luwu wajib membuat peta daerah rawan bencana yang detail dan terperinci, kemudian mensosialisasikannya secara luas, ini agar masyarakat bisa waspada dan memitigasi dirinya secara mandiri, sehingga tidak menimbulkan korban jiwa," jelasnya.
Belakangan, Pj Gubernur Sulsel Bahtiar Baharuddin menanggapi aktivitas tambang yang dianggap turut menjadi pemicu banjir dan longsor di Luwu. Bahtiar mengatakan, pertambangan yang beroperasi di Sulsel sudah ada aturannya dan perusahaan mesti menerapkan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
"Tambang kan ada prosedurnya sehingga mendapatkan izin. Nah bagaimana TJSL-nya, pasti ada kewajibannya. Jadi itu ada aturannya sendiri dari kementerian," kata Bahtiar kepada wartawan di Rumah Jabatan Gubernur Sulsel, Rabu (8/5).
Namun Bahtiar menegaskan hal ini akan menjadi atensi tanpa menuding satu pihak tertentu. Menurut dia, tanggung jawab menjaga lingkungan merupakan program yang harus menjadi kebijakan bersama untuk dilakukan.
"Nah, soal kawasan itu ada perusahaan, kebun-kebun warga, lahan pertanian warga, ini harus kita komunikasikan. Karena paling luas justru tempat hidupnya warga," terangnya.
Bahtiar turut menyinggung kondisi lahan semakin kritis turut memicu banjir dan longsor. Daerah tutupan hutan semakin menurun karena kurangnya pohon, padahal kondisi geologis sejumlah wilayah Sulsel didominasi pegunungan.
"Sejak tahun lalu saya sudah bilang, saya sudah lihat Sulsel ini mungkin 2/3 keadaannya alamnya, lahannya kritis dan bahkan sangat kritis," beber Bahtiar.
Bahtiar juga menyebut, masalah lahan kosong yang kekurangan pohon ini memang sudah menjadi atensi sejak awal menjabat Pj Gubernur Sulsel. Menurut dia, perlu upaya keras untuk mengembalikan pohon menjadi penyangga bencana banjir dan longsor.
"Khusus daerah Tator sebagian, Enrekang, apalagi Luwu itu kan hampir gunung-gunungnya gak ada batunya. Ketika tidak ada pohon yang mengikat tanah, datang hujan, sudah langsung terburai tanah itu," sambungnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
Kebijakan Tanggap Darurat Lingkungan
Bahtiar menggaungkan perlunya kebijakan tanggap darurat lingkungan sebagai bagian program pencegahan bencana. Dia mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi leading sector untuk merealisasikan kebijakan tersebut.
"Kami mohon ada perhatian secara khusus dari Kementerian Lingkungan Hidup, kita sama-sama, ada namanya program tanggap darurat lingkungan," tegas Bahtiar.
Bahtiar mengatakan, ide ini muncul atas keresahan penanggulangan bencana kerap berfokus pada penanganan pascabencana. Padahal kata dia, pencegahan perlu diutamakan yang penerapannya lewat program menjaga lingkungan.
"Dalam penanganan banjir dan longsor seperti ini, yang tidak pernah kita dengar itu ada tanggap darurat penanganan lingkungan. Yang ada itu infrastrukturnya saja, jiwa, harta bendanya, fasum atau fasilitas pemerintah," tuturnya.
Dia melanjutkan, masalah utama bencana alam banjir dan longsor terletak pada berkurangnya daerah serapan di wilayah pegunungan. Situasi turut dipicu karena alih fungsi hutan dan lahan.
"Ini yang sedang kita dorong ada namanya tanggap darurat lingkungan yang secara serius dengan sumber daya besar. Tidak bisa lagi kita ala kadarnya. Lahan yang tidak dijahit dengan pohon ini, menunggu waktu saja terjadi lagi kembali (banjir dan longsor)," tegasnya.
Bahtiar juga mendorong agar KLHK membuat daerah aliran sungai buatan di sekitar kawasan pengunungan di Sulsel. Hal ini dilakukan agar air yang meluap dapat tertampung dan meminimalisir dampak bencana terhadap warga sekitar.
"Ini yang harus didiskusikan kawan-kawan Kementerian Lingkungan dan ini. Karena sebagian itu kan daerah hutan, tanah negara, segala macam. Jadi seluruh kawasan Latimojong ini, mau di lembah, alur sungainya harus dibikinkan sodetan. Termasuk di Bawakaraeng. Itu yang harus kita kerjakan," pungkas Bahtiar.
Simak Video "Video: Walhi Sampaikan 17 Isu Lingkungan untuk Gubernur Jabar"
[Gambas:Video 20detik]
(sar/sar)