Pernahkah detikers mendengarkan cerita dongeng yang dibacakan oleh orang tua atau bahkan guru di pendidikan usia dini? Itu adalah salah satu contoh prosa yang diperkenalkan kepada kita sejak dini.
Dongeng merupakan salah satu dari banyaknya jenis prosa yang ada. Contoh lainnya, yakni karya novel, cerita pendek (cerpen), dan lain sebagainya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), prosa berarti karangan bebas (tidak terikat oleh kaidah yang terdapat dalam puisi). Sementara itu, dilansir dari Jurnal Universitas Muhammadiyah Jember yang berjudul "Prosa Indonesia", prosa adalah karangan bebas yang tidak terikat pada bentuk, irama, dan sajak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana narative (narrative discource). Sehingga istilah prosa, fiksi, teks naratif, atau pun wacana naratif berarti cerita rekaan (cerkan).
Contoh Prosa
Agar lebih mudah memahaminya, berikut ini 5 contoh prosa berbagai jenis, mulai dari cerpen hingga dongeng. Simak yuk!
1. Cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan oleh Umar Kayam
Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.
"Bulan itu ungu, Marno."
"Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu?"
"Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?"
"Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?"
"Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!"
"Kuning keemasan!"
"Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata."
Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.
"Marno, Sayang."
"Ya, Jane."
"Bagaimana Alaska sekarang?"
"Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke sana."
"Maksudku hawanya pada saat ini."
"Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?"
"Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju. Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili."
"Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es krim panili."
"Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu... Eh, maukah kau membikinkan aku segelas... ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini... Uuuuuup..."
Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.
Dari dapur, "Bekas suamiku, kautahu... Marno, Darling."
"Ya, ada apa dengan dia?"
"Aku merasa dia ada di Alaska sekarang."
Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.
"Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska."
"Tapi Minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas. Atau mungkin di Arkansas."
"Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska."
"Oh."
"Mungkin juga dia tidak di mana-mana."
Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.
"Marno, Manisku."
"Ya, Jane."
"Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?"
"Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja."
"Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul."
"Kenapa?"
"Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau."
"Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin."
Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.
"Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?"
Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.
"Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak."
"Kau anak yang manis, Marno."
Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.
"Marno."
"Ya, Jane."
"Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?"
"Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali."
"Oh."
Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangya itu.
Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.
"Eh, kau tahu, Marno?"
"Apa?"
"Empire State Building sudah dijual."
"Ya, aku membaca hal itu di New York Times."
"Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?"
"Tidak. Bisakah kau?"
"Bisa, bisa."
"Bagaimana?"
"Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah..."
Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.
"Oh, kalau saja..."
"Kalau saja apa, Kekasihku?"
"Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana."
"Lantas?"
"Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit."
"Kau anak desa yang sentimental!"
"Biar!"
Marno terkejut karena kata "biar" itu terdengar keras sekali keluarnya.
"Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu."
"Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf."
Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.
"Jet keparat!"
Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.
"Aku merasa segar sedikit."
Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi: deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea...
"Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?"
"He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?"
"Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea..."
"Marno."
"Ya."
"Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?"
"Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya."
"Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?"
"Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali."
"Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan."
Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?
"Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!"
"Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar."
"Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar."
"Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar."
"Aku membosankan jadinya."
Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.
"Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?"
Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.
"Marno, kemarilah, duduk."
"Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ."
"Kemarilah, duduk."
"Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana."
"Kunang-kunang?"
"Ya."
"Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat."
"Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah."
"Begitu kecil?"
"Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?"
"Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal."
"Ya, pohon-hari-natal."
Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.
"Marno, waktu kau masih kecil... Marno, kau mendengarkan aku, kan?"
"Ya."
"Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?"
"Mainan kekasih?"
"Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?"
"Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang."
"Itu bukan mainan, itu piaraan."
"Piaraan bukankah untuk mainan juga?"
"Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom."
"Siapa dia?"
"Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku."
"Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie."
"Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang."
Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno yang masih bersandar di jendela.
"Marno, Sayang."
"Ya."
"Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?"
"Belum, Jane."
"Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya."
Marno tersenyum.
"Aku tidak tahu, Jane."
"Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?"
Marno tersenyum
"Aku tidak tahu, Jane. Sungguh."
Sekarang Jane ikut tersenyum.
"Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku."
"Apakah itu, Jane?"
"Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya..."
Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.
"Aku harap kausuka pilihanku."
Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.
"Kausuka dengan pilihanku ini?"
"Ini piyama yang cantik, Jane."
"Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama."
Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.
"Jane."
"Ya, Sayang."
"Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini."
"Oh? Kau banyak kerja?"
"Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ...."
"Kau merasa tidak enak badan?"
"Aku baik-baik saja. Aku .... eh, tak tahulah, Jane."
"Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi."
"Terima kasih, Jane."
"Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang."
"Oh".
Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.
"Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane."
"Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?"
"Tentu, Jane."
"Kapan, aku bisa mengharapkan itu?
"Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira."
"Kau tahu nomorku kan? Eldorado"
"Aku tahu, Jane."
Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.
Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.
2. Cerita Hikayat: Jaka Tarub
Suatu malam, Jaka Tarub yang sedang menjaga ladang pamannya merasa kehausan. Kemudian dia pun berniat mencari sungai untuk mencari minum. Ketika hendak mengambil air di sebuah sungai, dia melihat tujuh bidadari yang sedang mandi dan melepaskan selendang mereka.
Jaka Tarub yang terpesona pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengambil selendang. Ternyata, selendang yang ia ambil milik bidadari bungsu bernama Nawangwulan.
Saat para bidadari hendak naik kembali ke kayangan, Nawangwulan masih belum bisa menemukan selendangnya. Kemudian Jaka Tarub melihat Nawangwulan menangis dan menawarkan sang bidadari tinggal di rumahnya.
Dikarenakan mereka tinggal satu rumah dan sering bertemu, maka mereka pun jatuh cinta lalu menikah. Sayangnya, Jaka Tarub yang gemar berjudi itu jarang pulang dan membuat Nawangwulan sedih bahkan suaminya itu juga enggan mendengarkan nasihat dari istrinya.
Satu hari Nawangwulan sedang mencari barang dan dia tidak sengaja menemukan selendang yang disembunyikan Jaka Tarub. Kemudian Nawangwulan menyuruh seseorang untuk meminta Jaka Tarub pulang jika ingin bertemu dengannya.
Setelah menunggu cukup lama, Jaka Tarub tidak kunjung datang. Akhirnya Nawangwulan memutuskan kembali ke kayangan tanpa memberitahu suaminya. Ketika Jaka Tarub mengetahui bahwa istrinya telah pergi ia pun menyesal dan bersedih.
3. Roman: Pria Misterius dan Pelayan Kedai
Malam ini, seperti biasanya sang wanita pelayan kedai itu tetap curi-curi pandang pada seorang pria yang duduk di pojok kedai.
Sang pelayan ingin berkenalan dengan pria itu, tetapi sangat malu untuk berbincang langsung.
"Menyanyilah. Kuputarkan mesin karaoke. Semua pengunjung di kedai kecil ini pasti akan memperhatikanmu, termasuk dia," kata seorang rekannya.
Dia pun menyetujuinya dan segera mengambil mikrofon. Benar saja, semua pengunjung kedai memperhatikan sang wanita saat menyanyi.
Semua merasa terhibur, kecuali si pria misterius itu. Dia masih saja sibuk dengan laptop dan buku di atas mejanya.
Hari-hari berikutnya pun masih sama, sang pria tetap tidak memperhatikan si wanita bernyanyi secara merdu.
Hingga suatu hari, seorang teman pria itu datang. Si wanita memperhatikan keduanya. Ternyata, keduanya berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Sang wanita kini tahu kenapa si pria tidak memperhatikannya saat bernyanyi.
Merasa jatuh cinta, sang wanita pun mempelajari bahasa isyarat itu selama beberapa minggu. Dia membeli beberapa buku dan menonton video berisi pelajaran bahasa isyarat.
Akhirnya, suatu malam, dia kembali bernyanyi untuk pengunjung kedai. Namun, rekan si pelayan sengaja membuat lampu padam. Hanya ada dua lampu sorot yang menyorot pria misterius itu dan si wanita.
Sorot cahaya lampu membuat perhatian pria misterius itu teralihkan. Kini, pandangannya tidak hanya tertuju pada laptop yang berada di atas meja, tetapi juga pada sang wanita.
Sang wanita kini tidak hanya bernyanyi, tetapi juga menerjemahkan setiap liriknya ke dalam bahasa isyarat. Jari-jarinya mulai menari untuk memberi tahu si pria soal perasaannya.
"Dirimu buatku selalu penasaran. Terkadang menjauh, terkadang buatku tersipu malu manisnya ucapanmu, membuatku tak menentu, ku tak tahu harus bagaimana. Sungguh kau buatku bertanya-tanya dengan teka-teki teka-tekimu..."
Begitulah senandung yang dinyanyikan si wanita sambil menggerakkan jari jemarinya. Pria misterius itu lalu tersenyum, lalu mengundang si wanita ke mejanya.
Begitulah kisah cinta pria misterius dan si pelayan kedai dimulai.
4. Fabel: Kisah Gajah dan Semut
Gajah dikenal sebagai binatang yang besar. Suatu hari, kawanan gajah yang besar datang ke hutan untuk mencari makan.
Kehadiran gajah ini mengganggu kawanan semut yang tinggal di sana. Banyak rumah semut hancur karena diinjak gajah yang mencari makan.
"Pergilah dari sini, gajah! Ini daerah tempat kami tinggal," kata salah satu semut.
Mendengar ucapan itu, gajah hanya tertawa. Ia tak peduli dan menganggap semut adalah binatang kecil yang tidak berbahaya.
Kawanan semut merasa kesal dan berencana untuk mengusir gajah-gajah itu dari hutan tempat mereka tinggal. Keesokan harinya, semut-semut mencoba bicara pada kawanan gajah dan meminta mereka meninggalkan hutan.
Gajah menolak untuk meninggalkan hutan dan hal ini membuat kawanan semut semakin marah. Semut-semut itu pun menyerang kawasan gajah dengan menggigit kulit dan masuk ke dalam telinga hingga gajah-gajah terjatuh.
Kawanan gajah akhirnya menyerah dan meninggalkan hutan. Mereka sadar bahwa semut-semut itu tidak bisa diremehkan hanya karena memiliki badan kecil.
5. Dongeng: Putri Salju
Suatu waktu di pertengahan musim dingin, ketika kepingan salju jatuh dari langit, seorang ratu yang cantik duduk sambil menjahit di pinggir jendela berwarna hitam. Tiba-tiba, jarinya tertusuk dengan jarum jahit dan tiga tetes darahnya jatuh ke salju. Merah di atas putih tampak begitu cantik, lalu sang ratu berpikir, "Kalau saja aku kelak, aku ingin dirinya memiliki kulit seputih salju, bibirnya semerah darah dan rambutnya sehitam bingkai jendela ini".
Tak lama kemudian, sang ratu hamil dan memiliki seorang anak perempuan. Ajaibnya, sang putri kecil memiliki ciri-ciri yang mirip dengan apa yang sang ratu inginkan, yakni memiliki kulit seputih salju, bibir semerah darah, dan rambut hitam seperti kayu hitam. Lantas, sang ratu memberinya nama Putri Salju.
Waktu terus berjalan dan Putri Salju tumbuh menjadi gadis yang cantik dan baik hati. Tidak hanya Raja dan Ratu saja yang menyayanginya, tetapi juga dengan seisi penghuni istana dan para rakyat. Bahkan, kecantikan Putri Salju juga amat dikenal ke kerajaan lain.
Pada suatu hari, sang Ratu meninggal dunia. Putri Salju amat sedih karena kehilangan sosok ibu. Namun tidak lama, sang Raja menikah kembali dengan wanita cantik dan menjadi pengganti Ratu. Sayangnya, Ratu yang baru alias ibu tiri dari Putri Salju ini sangatlah jahat. Dirinya adalah seorang penyihir yang memang berkeinginan untuk menguasai kerajaan.
Setelah Ibu Tiri ini datang, dirinya menjadi wanita tercantik di seluruh negeri. Tak banyak yang tahu, Ibu Tiri ini memiliki sebuah cermin yang dapat berbicara. Setiap pagi, dirinya akan selalu memandangi cermin ajaib dan berkata "Cermin, cermin, di dinding. Siapa di negeri ini paling cantik?"
Cermin tersebut akan selalu berkata: "Anda, ratu saya, yang paling cantik di seluruh negeri ini".
Sekarang ini, Putri Salju sudah berusia tujuh tahun dan tumbuh dengan sangat cantik. Bahkan kecantikannya pun mampu mengalahkan sang Ratu. Suatu hari, Sang Ratu bertanya pada cermin, "Cermin, cermin, di dinding. Siapa wanita yang paling cantik di seluruh negeri ini?"
Cermin ajaib tersebut menjawab, "Anda, ratu saya... Namun, Putri Salju masih seribu kali lebih cantik dari Anda..."
Mendengar jawaban tersebut, sontak Sang Ratu menjadi amat marah dan sejak saat itu, dirinya begitu membenci Putri Salju. Saking cemburu dan iri hati, Sang Ratu ingin membunuh Putri Salju dengan memanggil seorang pemburu.
"Bawalah Putih Salju ke hutan ke tempat terpencil, dan bunuhnya dia sampai mati. Sebagai bukti bahwa dia sudah mati, bawakan jantung dan hatinya kembali padaku"
Pemburu segera melaksanakan titah tersebut dan membuat rencana untuk mengajak Putri Salju ke hutan. Ketika sang pemburu hendak membunuh Putri Salju, dirinya mulai menangis, dan memohon supaya pemburu itu tidak membunuhnya. Bahkan dirinya juga berjanji untuk melarikan diri ke hutan dan tidak pernah kembali.
Pemburu merasa kasihan padanya dan mengizinkan Putri Salju untuk pergi. Tepat pada saat itu, seekor babi hutan muda melintas. Pemburu langsung membunuh babi hutan dan membawakan jantung dan hati hewan tersebut kepada Sang Ratu.
Saat ini, Putri Salju tengah sendirian di hutan besar. Dia sangat takut, dan mulai berlari. Hingga akhirnya, saat matahari hampir terbenam, ia datang ke sebuah rumah kecil. Rumah ini milik tujuh kurcaci.
Para kurcaci tersebut tengah bekerja di tambang sehingga tidak ada di rumah. Putri Salju masuk dan menemukan segala sesuatu lebih kecil, tapi rapi dan teratur. Ada meja kecil dengan tujuh piring kecil, tujuh sendok kecil, tujuh pisau kecil dan garpu, tujuh cangkir kecil, dan di dinding ada tujuh tempat tidur kecil, semua yang baru saja dibuat.
Putri Salju begitu lapar dan haus, sehingga dirinya memakan sedikit sayuran dan roti yang ada di piring-piring kecil milik ketujuh kurcaci. Setelah merasa kenyang, dirinya merasakan kantuk dan ingin tidur. Berhubung tempat tidur para kurcaci tersebut sangat kecil, sehingga Putri Salju pun menyusunnya jadi satu dan dapat ditempati dengan nyaman.
Ketika malam tiba, tujuh kurcaci pulang dari kerja. Mereka menyalakan tujuh lilin dan melihat bahwa seseorang telah berada di rumah mereka. Mereka begitu kaget karena ada seorang putri yang amat cantik tengah tidur di dipan mereka.
"Demi Tuhan! Demi Tuhan!", mereka berteriak. "Dia begitu cantik", mereka tidak membangunkannya, tetapi membiarkannya tetap tidur di kasur.
Ketika Putri Salju terbangun, mereka menanyakan siapa dia dan bagaimana caranya telah menemukan jalan ke rumah mereka. Putri Salju pun bercerita banyak hal, mulai dari bagaimana ibu tirinya yang telah mencoba membunuhnya, bagaimana pemburu membiarkannya hidup, bagaimana ia kabur dan akhirnya datang ke rumah mereka.
Para kurcaci merasa kasihan dan mengizinkan sang Putri Salju untuk tinggal bersama mereka. Dengan satu syarat, yakni mengurus rumah dan memasakan mereka makanan. Sang Putri merasa senang dengan syarat tersebut dan langsung menyetujuinya.
Di kerajaan, Sang Ratu lagi-lagi menuju ke cermin ajaibnya dan bertanya, "Cermin, cermin, di dinding. Siapa di negeri ini paling cantik?"
Cermin ajaib itu menjawab, "Anda, ratu saya, memang cantik. Namun, Putri Salju yang tengah berada di atas gunung jauh lebih cantik dari Anda..."
Sang Ratu tentu saja terkejut dan marah kepada pemburu karena dirinya ditipu mentah-mentah. Hal itulah yang menyebabkannya merencanakan untuk membunuh Putri Salju dengan tangannya sendiri. Akhirnya, Sang Ratu pun menyamar sebagai seorang wanita penjual tua dan pergi ke rumah kurcaci itu untuk menjual apel.
Ketika sudah sampai di depan pintu rumah kurcaci, Sang Ratu yang tengah menyamar menjadi penyihir mulai mengetuk pintu, "Buka. Bukalah. Aku wanita tua dengan penjual barang-barang bagus untuk dijual. "
Putri Salju mendengar perkataan tersebut langsung mengintip keluar jendela, "Apa yang Anda miliki?"
"Beberapa butir apel, Nak. Sangat manis rasanya. Cobalah"
Ketika Putri Salju menggigit apel tersebut, tapi tidak sampai habis, Putri Salju sudah jatuh ke tanah dan mati. Ratu tentu saja merasa senang dan pulang.
Sekembalinya di istana, dirinya bertanya pada cermin ajaib, "Cermin, cermin, di dinding. Siapa di negeri ini yang paling cantik?"
Cermin ajaib itu pun menjawab, "Anda, ratu saya, yang paling cantik di negeri ini..."
Malam hari tiba, para kurcaci pulang dari tambang. Putri Salju tergeletak di lantai, dan dia sudah mati. Mereka kebingungan dan tidak bisa menghidupkannya kembali. Akhirnya, mereka membaringkannya di atas kasur yang telah disusun sedemikian rupa. Ketujuk kurcaci duduk disampingnya dan menangis selama tiga hari.
Putri Salju benar-benar tidak terlihat seperti orang mati. Lantas, para kurcaci pun membuat peti kaca yang untuk Putri Salju dan meletakkan di dalamnya sehingga mereka bisa dilihat dengan mudah. Putri Salju berbaring di peti mati waktu yang sangat lama, dan dia tidak membusuk, hanya terlihat seolah-olah sedang tidur.
Suatu hari seorang pangeran muda datang ke rumah kurcaci dan ingin tempat bermalam. Ketika dia masuk ke ruang tamu mereka dan melihat-Putri Salju terbaring di peti mati kaca. Begitu cantik ditambah dengan adanya tujuh lilin kecil yang meneranginya.
Pangeran langsung jatuh cinta dan meminta para kurcaci untuk menjual peti mati beserta Putri Mati yang ada di dalamnya itu kepada dirinya, tetapi para kurcaci tidak mau. Kemudian Pangeran meminta untuk memberikan kepadanya secara cuma-cuma dan akan menghormatinya sebagai hal yang paling dihargai di bumi. Para kurcaci pun merasa kasihan kepada Pangeran dan memberikan peti mati berisi Putri Salju itu.
Pangeran membawa peti mati ke istananya dengan dipanggul oleh beberapa pengawalnya. Tiba-tiba, salah satu pengawal tersandung batu sehingga peti mati pun goyang. Hal itulah yang membuat tubuh Putri Salju ikut goyang dan tersedak. Akhirnya, semua orang termasuk Pangeran menurunkan peti mati dan melihat apa yang tengah terjadi. Potongan apel beracun bekas gigitan Putri Salju langsung terlepas keluar dari tenggorokannya, dan Putri Salju hidup kembali.
Dia bangun dan berjalan menemui pangeran, yang berada di samping dirinya dengan sukacita. Akhirnya, mereka pun melangsungkan pernikahan di istana milik Pangeran dan turut serta mengundang Sang Ratu beserta ketujuh kurcaci.
Pagi itu, Sang Ratu lagi-lagi melangkah di depan cermin dan berkata, "Cermin, cermin, di dinding. Siapa wanita paling cantik di negeri ini? Cermin menjawab, "Anda, ratu saya, memang cantik. Namun, Putri Salju yang telah menjadi ratu muda seribu kali lebih cantik dari Anda..."
Sang Ratu merasa marah dan cemburu lagi. Akhirnya, dirinya pun memutuskan untuk datang ke pernikahan Putri Salju untuk balas dendam. Sayangnya, kereta kuda yang ditumpanginya jatuh terperosok ke jurang dan tewas seketika. Sementara cermin ajaibnya turut pecah karena pemiliknya pun telah tiada.
Ciri-ciri Prosa
Masih dari Jurnal Universitas Muhammadiyah Jember, "Prosa Indonesia", berikut ini ciri-ciri prosa antara lain:
- Bersifat fiksi/rekaan.
- Menyerupai kenyataan.
- Bentuk karangan biasanya narasi.
- Memiliki tokoh, peristiwa, latar, alur, dan pesan/ajaran.
- Memiliki fungsi menghibur, kejiwaan, dan menyampaikan nilai-nilai kebenaran.
Jenis-jenis Prosa
Secara umum, prosa terbagi menjadi 2, yakni prosa modern dan prosa lama. Berikut contoh dan jenis-jenis prosa selengkapnya:
Prosa Modern
- Cerita Pendek/Cerpen
Cerpen adalah cerita berbentuk prosa yang pendek. Sesuai dengan namanya, cerita pendek dapat diartikan sebagai cerita berbentuk prosa yang pendek. Ukuran pendek di sini bersifat relatif.
Menurut Edgar Allan Poe, ukuran pendek di sini adalah selesai dibaca dalam sekali duduk, yakni kira-kira kurang dari satu jam. Adapun Jakob Sumardjo dan Saini K.M menilai ukuran pendek ini lebih didasarkan pada keterbatasan pengembangan unsur-unsurnya.
Cerpen memiliki efek tunggal dan tidak kompleks. Dilihat dari segi panjangnya, cukup bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short story), berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (middleshort story), dan ada cerpen yang panjang (long short story) biasanya terdiri atas puluhan ribu kata. - Novelet
Novelet merupakan cerita yang panjangnya lebih panjang dari cerpen, tetapi lebih pendek dari novel. Di dalam khasanah prosa, ada cerita yang yang panjangnya lebih panjang dari cerpen, tetapi lebih pendek dari novel. Jadi, panjangnya antara novel dan cerpen. - Novel
Novel adalah cerita berbentuk prosa yang menyajikan permasalahan-permasalahan secara kompleks, dengan penggarapan unsur-unsurnya secara lebih luas dan rinci. Novel adalah bentuk prosa baru yang melukiskan sebagian kehidupan pelaku utamanya yang terpenting, paling menarik, dan yang mengandung konflik. - Cerita Anak
Cerita anak adalah cerita yang mencakup rentang umur pembaca beragam, mulai rentang 3-5 tahun, 6-9 tahun, dan 10-12 tahun (bahkan 13 dan 14) tahun. Adapun bentuknya bermacam-macam, baik serial, cerita bergambar, maupun cerpen.
Tema cerita anak juga beragam, mulai dari persahabatan, lingkungan, kemandirian anak, dan lain-lain. Sifatnya juga beragam. - Novel Remaja (chicklit dan teenlit)
Novel remaja adalah novel yang ditulis untuk segmen pembaca remaja. Oleh karena yang ditujunya remaja, maka isi dan penyajiannya pun disesuaikan dengan dunia remaja.
Dari segi isinya, novel remaja biasanya berkisah tentang percintaan, persahabatan, permusuhan, atau petualangan. Bahasanya adalah bahasa khas remaja yang mengacu pada bahasa gaul: bahasa khas remaja kota. - Roman
Roman adalah bentuk prosa baru yang mengisahkan kehidupan pelaku utamanya dengan segala suka dukanya. Dalam roman, pelaku utamanya sering diceritakan mulai dari masa kanak-kanak sampai dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia.
Roman mengungkap adat atau aspek kehidupan suatu masyarakat secara mendetail dan menyeluruh, alur bercabang-cabang, banyak digresi (pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut.
Prosa Lama
- Dongeng: cerita yang sepenuhmya merupakan hasil imajinasi atau khayalan pengarang yang diceritakan seluruhnya belum pernah terjadi.
- Fabel: cerita rekaan tentang binatang dan dilakukan atau para pelakunya binatang yang diperlakukan seperti manusia. Contoh: Cerita Si Kancil yang Cerdik, Kera Menipu Harimau, dan lain-lain.
- Hikayat: cerita sejarah, maupun cerita roman fiktif, yang dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekedar untuk meramaikan pesta. Contoh: Hikayat Hang Tuah, Hikayat Seribu Satu Malam, dan lain-lain.
- Legenda: dongeng tentang suatu kejadian alam, asal-usul suatu tempat, benda, atau kejadian di suatu tempat atau daerah. Contoh: Malin Kundang, Asal Mula Candi Prambanan, dan lain-lain.
- Mite: cerita yang mengandung dan berlatar belakang sejarah atau hal yang sudah dipercayai orang banyak bahwa cerita tersebut pernah terjadi dan mengandung hal-hal gaib dan kesaktian luar biasa. Contoh: Nyi Roro Kidul.
- Cerita Penggeli Hati: sering pula diistilahkan dengan cerita noodle head karena terdapat dalam hampir semua budaya rakyat. Cerita-cerita ini mengandung unsur komedi (kelucuan), omong kosong, kemustahilan, ketololan dan kedunguan, tapi biasanya mengandung unsur kritik terhadap perilaku manusia/mayarakat. Contohnya adalah Cerita Si Kabayan, Lebai Malang, dan lain-lain.
- Cerita Perumpamaan: dongeng yang mengandung kiasan atau ibarat yang berisi nasihat dan bersifat mendidik. Sebagai contoh, orang pelit akan dinasihati dengan cerita seorang Haji Bakhil.
- Kisah: karya sastra lama yang berisi cerita tentang perjalanan atau pelayaran seseorang dari satu tempat ke tempat lain. Contoh: Kisah Perjalanan Abdullah ke Negeri Kelantan, Kisah Abullah ke Jeddah, dan lain-lain.
Nah, itulah 5 contoh prosa berbagai jenis, mulai dari cerpen hingga dongeng. Semoga bermanfaat ya, detikers!
(edr/urw)