Pj Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Bahtiar Baharuddin mengungkap Sulsel dalam kebangkrutan imbas defisit keuangan Rp 1,5 triliun pascakepemimpinan Andi Sudirman Sulaiman (ASS). Belakangan, pihak ASS menilai perkara defisit merupakan hal yang biasa.
Mantan Staf Khusus (Stafsus) era Gubernur ASS, Irwan ST mengatakan istilah kebangkrutan terlalu berlebihan. Menurutnya narasi bangkrut dalam pemerintahan daerah hampir tidak pernah digunakan.
"Kondisi defisit itu hal yang biasa. Cuma menurut saya, beliau (Bahtiar) entah sengaja atau tidak, menggunakan diksi yang terlalu mendramatisir," jelas Irwan kepada detikSulsel, Senin (16/10/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Irwan kemudian membandingkan situasi pengelolaan keuangan antara pemerintah dengan badan hukum atau perusahaan. Menurutnya, kondisi bangkrut hanya pas digunakan saat perusahaan tidak mampu membayar utang.
"Situasi bangkrut itu seperti ini, kalau sebuah badan hukum mengalami utang pada tahun berjalan. Akumulasi antara uang yang dia miliki ditambah dengan asetnya tidak mampu membayar utang itu, barulah kemudian disebut bangkrut," ucapnya.
Sementara pengelolaan keuangan pemerintah disebut lebih kompleks. Salah satunya ada hitungan proyeksi penerimaan dari pendapatan asli daerah (PAD) untuk mengimbangi pengeluaran dalam postur APBD.
"Nah, di pemerintah daerah itu tidak bisa ada kejadian bangkrut. Karena ada mekanisme pengelolaan keuangan daerah," sambung Irwan.
Irwan pun menyinggung tudingan warisan utang di era ASS meski diakui Bahtiar tidak pernah menyebut nama secara langsung. Hanya saja, dia heran karena permasalahan ini dianggap menjadi kesalahan sepenuhnya kepala daerah terdahulu.
"Makanya saya heran, sekarang Pak Pj banyak mengarahkan tudingan ke mantan Gubernur. Saya ngga tahu apakah beliau pernah menyebut langsung," ucapnya.
Dia menjelaskan adanya defisit turut dipicu adanya utang dana bagi hasil (DBH). Menurutnya, DBH ini bisa dibayarkan secara bertahap ke kabupaten/kota berdasarkan kebijakan kepala daerah.
"Sekarang yang kita sebut sebagai utang itu adalah ada kewajiban kepada daerah dalam bentuk dana bagi hasil. DBH ini setiap tahun selalu jadi tunggakan, istilah pemerintahnya keuangannya itu kewajiban yang ditahan dan itu biasa dilakukan oleh pemerintah pusat juga," kata Irwan.
Saat kepemimpinan ASS, Irwan menganggap DBH dibayar bertahap dengan mempertimbangkan kondisi keuangan. Namun dia memastikan utang itu pasti akan diselesaikan dengan asumsi akan dibayarkan di tiap tahun penganggaran APBD.
"Karena selalu ada garansi bahwa pemerintah daerah itu pasti pada tahun berikutnya pasti ada uangnya. Dan karena itulah mestinya di 2024 perencanaannya ada alokasi anggaran untuk menyelesaikan itu," imbuhnya.
Irwan menilai persoalan ini hanya perbedaan perspektif saja. Menurutnya, kebijakan kepala daerah saat ini dianggap hendak menyelesaikan tunggakan utang dalam satu tahun anggaran.
Dengan demikian dalam APBD terkesan pengeluaran lebih besar dibanding pendapatan. Beda halnya di era ASS yang anggaran pembayaran utang dialokasikan di tiap tahun di APBD.
"Jadi ini masalah perspektif. Jadi kalau disebut meninggalkan utang sih, kalau menurut saya tidak ada juga. Memang itu kewajiban yang bisa diatur oleh siapapun kepala daerahnya. Cuman karena kepala daerah ini (Bahtiar) pengen membayar semua, ya itu kebijakan beliau," terang Bahtiar.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.