Aparatur sipil negara (ASN) lingkup Pemprov Sulawesi Selatan (Sulsel) yang dinonjobkan di era Andi Sudirman Sulaiman (ASS) menjabat gubernur terus melakukan protes hingga menempuh jalur hukum. Mereka menilai mutasi dan demosi jabatan tersebut tidak sesuai prosedur.
Kuasa hukum para ASN dinonjobkan, Muhammad Amin mengaku akan mengkaji langkah hukum yang akan ditempuh terkait polemik tersebut. Dia menyebut pihaknya akan melayangkan gugatan pidana atau perdata nantinya.
"Saya akan mengkaji, dan kemungkinan langkah administrasi negara yang kita tempuh ini belum memenuhi syarat teknisnya, (sehingga) kemungkinan saya akan tempuh langkah pidana atau melakukan langkah perdata, perbuatan melawan hukum secara perdata karena sudah menimbulkan kerugian," ujar Amin kepada detikSulsel, Kamis (21/9/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Amin menyebut gugatan hukum itu dilayangkan akibat dampak kebijakan mutasi dan demosi yang dinilai merugikan para ASN. Menurutnya, kerugian itu berupa moril, materil, hingga dipandang sebelah mata oleh masyarakat sekitarnya.
"Kerugian moral orang, sudah dipecat, tidak ada SK, sudah dimaki-maki masyarakat. Itu tidak enak buat kita, immoril, perasaan. Ini bisa dikompres kerugian, tuntutannya dalam bentuk uang, materi," paparnya.
Dia menilai kebijakan mutasi, demosi, hingga nonjob di lingkup Pemprov Sulsel cacat prosedur. Sehingga, ASN yang melanjutkan tugas ASN sebelumnya dinilai tidak sah.
"Kedua saya akan melaporkan orang yang menjalankan jabatan sekarang ini tidak sah. Kenapa? Karena surat keputusan yang menunjuk mereka untuk menduduki jabatan itu sekarang, keputusan yang batal demi hukum, cacat prosedural," tegasnya.
Amin kemudian menyebut salah satunya adalah konsiderans penetapan yang rancu. Menurutnya, konsiderans tersebut tidak memuat klausul menimbang, memperhatikan, memutuskan dan menetapkan pemberian sanksi dan pengangkatan ASN.
"Kalau ditanya di mana cacat prosedural, di konsiderans di pertimbangan itu tidak dijelaskan. Saya kasih contoh, ada satu, ada tidak model begini, ini sangat keterlaluan, tidak boleh ada konsideran dibuat dengan model menimbang tapi tidak ada, (yang ada) dan seterusnya, mengingat dan seterusnya, memutuskan, menetapkan. Langsung saja mengangkat orang," ungkapnya.
Selain itu, dia juga menilai pernyataan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Sulsel yang mengatakan ASN didemosi akibat adanya penyederhanaan jabatan. Bagi Amin, perampingan birokrasi tidak jadi masalah, asal tidak merugikan orang lain.
"Merestrukturisasi itu, merampingkan kembali jabatan-jabatan agar efektivitas birokrasi bisa baik. Baik dari segi anggaran, artinya hemat karena jabatan yang dua jadi satu. Tapi tidak mengorbankan, tidak boleh korban satu orang ini hanya karena restrukturisasi, mengorbankan," tuturnya.
Sebab, menurut Amin, seharusnya BKD memprioritaskan ASN yang dimutasi untuk mengisi jabatan yang lain. Bukan malah menunjuk orang baru untuk menduduki jabatan tersebut.
"Kalau saya lihat pernyataannya dia (BKD) katakan karena sudah tidak ada jabatan, diisi semua. Loh, kenapa Anda isi? Harusnya prioritaskan dulu orang yang dimutasi, bukan orang promosi. Ini yang terjadi, angkat dulu baru jatuhkan," bebernya.
Dia pun turut mempertanyakan soal penilaian pimpinan yang disebut oleh BKD terkait kinerja ASN yang terkena sanksi. Padahal, ASN yang diberi sanksi itu justru berkinerja baik bahkan mendapatkan tambahan penghasilan pegawai (TPP).
"Kalau kita kaji dari kinerja buruk tidak begitu juga pemberian sanksinya. Hanya sekadar ditegur secara tertulis dan dibina. Tapi ini lagi-lagi kontradiktif, apa parameternya, tolok ukurnya bahwa kinerja ASN di Pemprov itu buruk. Padahal baru empat lima bulan lalu mereka dapat TPP," sebutnya.
Simak penjelasan BKD di halaman selanjutnya...
Penjelasan BKD Sulsel Soal ASN Nonjob
Kepala BKD Sulsel Sukarniaty Kondolele mengatakan kebijakan nonjob yang dilakukan di era ASS bukan tanpa dasar. Menurutnya, para ASN ditempatkan sesuai eselon yang masih tersedia akibat adanya penyederhanaan jabatan.
"Kan dia dinonjobkan. Setelah itu, mau dikasih naik kembali, tempatnya sudah tidak ada, eselon III. Yang ada itu cuma eselon IV. Iya begitu (mau direcovery). Sudah dinonjob tapi diangkat ke eselon IV, bukan eselon III," ujar Sukarniaty kepada detikSulsel, Selasa (19/9).
Sukarniaty mengatakan pertimbangan lain yang membuat ASN dinonjobkan ialah laporan pelanggaran. Dia menyebut pimpinan punya penilaian tersendiri terhadap aparaturnya.
"Karena bisa saja dinonjob karena ada laporan (pelanggaran) dan seterusnya. Itu juga jadi pertimbangan kenapa ada sebagian dinonjobkan dan seterusnya. Karena kan pimpinan punya penilaian tersendiri secara langsung. Karena saya juga sempat tanya, ada yang ada laporannya ke pimpinan," lanjut Sukarniaty.
Menurutnya, kemungkinan para ASN yang terkena kebijakan itu tidak memahami kondisi yang terjadi. Sehingga mereka menduga pemberian sanksi merupakan kecacatan prosedural.
"Mungkin kadang-kadang yang dianggap tidak sesuai mekanisme, karena adanya laporan langsung ke pimpinan. Bisa saja seperti itu," tuturnya.
Selain itu, Sukarniaty juga menyebut alasan lain mengapa ASN akhirnya dinonjobkan. Salah satunya adalah pertimbangan masa pensiun yang sudah dekat.
"Ada yang sudah mau pensiun, dinonjobkan. Memang belum waktunya pensiun. Tapi dilihat, karena mau pensiun jadi dinonjobkan," tandasnya.











































