Krisis air bersih melanda dua desa di Kabupaten Halmahera Barat (Halbar), Maluku Utara. Warga mengaku kondisi ini sudah terjadi turun temurun sebelum Republik Indonesia (RI) merdeka.
"Torang (kami) di Desa Dere dan Todahe ini dari dulu sebelum Indonesia merdeka sudah kesulitan air bersih, jadi sudah lama sekali," ujar warga Desa Dere, Melfin Kaumur (32) kepada detikcom, Senin (14/8/2023).
Melfin mengatakan, selain Desa Dere, kondisi serupa juga dialami warga di Desa Todahe di Kecamatan Sahu, Halmahera Barat. Warga pun kini hanya bisa mengandalkan air hujan sebagai stok untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Torang (kami) hanya andalkan air hujan, makanya setiap rumah itu bikin bak penampungan air hujan. Kalau yang tidak ada bak ambil di tetangga," ungkap Melfin.
Dua desa ini terdiri dari 2 RT dengan jumlah penduduk masing-masing 300 jiwa. Melfin menyebut ada sumber air yang terletak di bibir pantai tapi warga mesti menuruni jalur yang terjal dengan jarak kurang lebih 2 kilometer.
"Ada 3 sumur di sini, tapi itu letaknya di pantai. Sedangkan torang (kami) punya desa ini kan posisinya di atas pegunungan, jadi kalau mau ambil air harus turun gunung di pantai. Lumayan (jaraknya) sekitar 1-2 kilometer. Jadi setengah mati karena tebing toh, jadi turun gunung begitu," ujarnya.
Kendati begitu, air dari sumur itu tak bisa dikonsumsi karena rasanya payau akibat lokasinya berada di dekat pantai. Warga hanya memanfaatkan air dari sumur itu untuk mandi, mencuci pakaian, serta peralatan dapur.
Satu-satunya cara warga untuk mendapatkan air bersih selain menunggu hujan ialah membeli. Air bersih dibeli dengan harga yang bervariatif sesuai dengan banyaknya pesanan.
"Kalau musim kemarau begini, warga terpaksa beli di oto (mobil) tangki, harganya Rp 170.000, itu jumlahnya 1.600 liter. Jadi nanti siapa yang mau (air) tinggal pesan, nanti dorang (mereka) antar," ujarnya.
Bantuan Penyulingan Air Terbatas
Melfin mengatakan sebelumnya sudah ada bantuan penyulingan air dari Kementerian Desa yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Sumber airnya dari sumur yang berada di tepi pantai. Namun air tersebut hanya untuk diminum saja sehingga terbatas.
"Dorang (mereka) jual air itu satu galon Rp 6.000, tapi itu untuk minum saja. Kalau kebutuhan sehari-hari pakai air hujan," ujarnya.
Sementara, saat ini suplay air bersih dari PDAM hanya sampai di Desa Taruba. Jarak antara Desa Taruba dengan Desa Dere dan Todahe sekitar 2 kilometer.
"(Jarak dari Desa Taruba ke Dere dan Todahe) sekitar 2 kilometer. Padahal sudah cukup dekat itu kalau PDAM mau kasih sambung pipa ke sini," imbuh Melfin.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Kades Frustrasi Cari Solusi
Kepala Desa Dere, Albert Dehe mengatakan kondisi krisis air bersih di wilayahnya sudah lama terjadi. Dia pun mengaku frustrasi mencari solusi dalam menghadirkan air bersih di desanya.
"Saya frustrasi urus masalah air ini. Karena kondisi ini mulai dari saya lahir," keluhnya saat dikonfirmasi detikcom, pada Senin (14/8).
Menurutnya, masalah ini sudah berulangkali disampaikan dalam forum resmi hingga mendatangi langsung pemerintah daerah. Hanya saja hingga kini masih belum ada tindak lanjut.
"Sudah berulang kali kami dorong, mulai lewat musrembang sampai antar proposal ke pemda. Bahkan sampai di tingkat pemerintah provinsi juga, cuma sampai hari ini belum ada jawaban," ungkapnya.
Selama ini, kata dia, warganya hanya memanfaatkan air hujan dengan menampungnya ke bak penampungan di setiap rumah. Namun stok air itu hanya bisa bertahan sekitar satu bulan.
"Ukuran bak penampung ini rata-rata lebarnya 3 x 3 meter dengan tinggi 1 setengah meter. Ukuran bak itu (debit air) bertahan paling lama 1 bulan lebih," ucap Albert.
Sementara di musim kemarau ini, warga mau tidak mau membeli air di PDAM dengan rincian 3.000 liter seharga Rp 400.000-Rp 450.000. Rerata warga hanya sanggup membeli di kisaran 1.000 liter seharga Rp 150.000-Rp 175.000.
"Satu tangki yang 3.000 liter itu Rp 400.000 sampai Rp 450.000, tapi rata-rata warga beli di kisaran 1.000 liter seharga 150.000 sampai 175.000. Kalau sumur itu salobar (payau) jadi tara (tidak) bisa pakai minum, memasak, kecuali cuci pakaian saja," terangnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Senada, Kades Todahe Samuel Bunga mengatakan, sampai saat ini belum ada kejelasan dari PDAM Jailolo. Warga terpaksa bertahan dengan air hujan atau membeli langsung di PDAM.
"Warga saya masih mengandalkan air hujan. Tadi saya juga baru pulang beli air di PDAM. Satu mobil tangki 4.000 liter harganya Rp 400.000. Itu untuk konsumsi pribadi karena air di rumah sudah habis," terangnya.
Sementara kata Samuel, mayoritas warganya hanya bekerja sebagai petani. Hal ini sudah disampaikan ke pihak PDAM untuk segera mencari solusi, karena warga sudah lama mengeluh.
"Kami juga sudah susah-susah cari solusinya bagaimana supaya torang (kami) pe air bisa datang di torang (kami) pe desa ini, masyarakat juga mengeluh," tuturnya.
"Warga saya dominasi petani semua. Tadi (kemarin) juga saya sudah bertemu dengan Kepala PDAM Jailolo, katanya nanti Rabu baru disampaikan ke Dinas PUPR," tambahnya.