Warga di Sulawesi Utara (Sulut) menagih pembayaran ganti rugi lahan proyek pelebaran jalan menuju Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang, Minahasa Utara (Minut). Mereka protes lantaran Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulut tidak kunjung merealisasikan pembayaran sejak 2022 lalu.
"Kami sangat keberatan dengan keterlambatan pembayaran, karena sejak 22 Desember 2022 ada beberapa pihak yang menandatangani kuitansi, tapi belum mendapatkan pembayaran," kata warga Desa Tatelu Rondor, Sofia Telly Supit, ketika ditemui wartawan, Selasa (14/3/2023).
Telly mengatakan total bidang tanah yang terdampak proyek di Desa Tatelu Rondor itu sebanyak 117 bidang tanah. Namun, hanya 107 yang terdata di BPN dan baru 17 di antaranya yang diproses pembayarannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Total dengan yang belum terdata 117 bidang, tapi yang terdata 107, terbayar baru 17," ujarnya.
Padahal berkas untuk pembayaran ganti rugi sudah melalui proses validasi. Namun hingga kini belum ada kejelasan untuk pembayarannya.
"Ada pihak yang sudah lengkap berkas dan tidak ada tindak lanjut. Kemudian ada sekitar 10 bidang yang belum ada data dari pihak panitia. Jadi kami meminta birokrasi yang pro rakyat," tutur Sofia.
Dirinya pun meminta supaya tim appraisal kembali melakukan peninjauan kembali karena dinilai tidak sesuai. Pasalnya lahannya yang memiliki isi bangunan rumah hanya dibayar Rp 450 ribu tiap meter persegi.
"Saya meminta agar appraisal melakukan tinjauan kembali soal nilai yang harus dihitung dalam pelebaran jalan. Kalau yang ditentukan itu per meter 450 ribu. Kalau masalah tanah sudah fiks, tapi menjadi kendala di sini penilaian dari tim appraisal tidak sesuai," imbuhnya.
Sementara warga lainnya bernama Marsel Paat mengaku lahan miliknya yang terdampak proyek tersebut sudah selesai divalidasi. Namun hingga kini belum ada pembayaran.
Marsel menambahkan, sertifikat tanah miliknya bahkan sudah digadaikan ke pihak bank. Namun tim panitia pelaksana meminta lahan yang terkena dampak proyek tersebut harus disertai sertifikat asli sehingga mereka memilih menebus ke bank supaya sertifikat mereka bisa keluar.
"Katanya setelah validasi berkas, panitia bilang langsung dicairkan. Sehingga kami ambil untuk tebus sertifikat di bank. Oleh karena itu kami pinjam uang di rentenir untuk tebus sertifikat di bank. Tapi setelah itu tidak ada yang cair," ucap Marsel.
Dia mengaku pada saat itu meminjam uang tebusan sertifikat ke rentenir sebanyak Rp 30 juta. "Tujuan tebus sertifikat di bank, kasih masuk di panitia, supaya bisa validasi. Saya pinjam uang Rp 30 juta," imbuhnya.
Sementara Kepala Kanwil BPN Minut Jefry Supit mengaku masih ada 90 bidang lahan yang belum dibayar ganti ruginya. Namun dia berdalih pembayarannya tengah berproses.
"Kan ada kelengkapan berkas, setelah itu kami sampaikan ke Perkim. Tapi waktu itu baru 17 (bidang lahan yang dibayar), sisanya masih berproses," ucap Jefry.
Pihaknya sudah menyiapkan anggaran total Rp 5 miliar untuk pembayaran pembebasan lahan. "Total anggaran Rp 5 miliar," pungkasnya.
(sar/hsr)