Berangkat sekolah bisa menjadi tantangan yang sangat berat, bahkan tak jarang membahayakan nyawa. Namun, anak-anak SD di pedalaman Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel) ini tetap memiliki semangat tinggi untuk menimba ilmu.
Salah satu yang menarik perhatian publik adalah kisah sepasang adik-kakak bernama Nursabbi (11) dan Yudding (12). Keduanya bersekolah di SD Inpres 5/81 Tapong, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Bone, Sulsel.
Kakak-beradik itu harus menempuh jarak 7 kilometer dari rumah mereka ke sekolah. Jarak sejauh itu ditempuh selama 4 jam dengan berjalan kaki sehingga mau tak mau adik kakak ini berangkat jam 3 subuh agar tidak terlambat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jangan bayangkan mereka berjalan di setapak yang mulus. Setiap hari, Yudding dan Nursabbi harus melewati hutan dan 6 sungai untuk berangkat sekolah. Keduanya rawan bertemu hewan buas di sepanjang jalan.
Untuk berjaga-jaga, Yudding dan Nursabbi pun membawa 'bekal' berupa parang. Setidaknya alat ini membantu mereka melindungi diri serangan hewan buas yang sewaktu-waktu bisa terjadi.
"Saya bawa parang karena takut sama ular sawah. Kalau bawa parang dapat ular sawah langsung ditebas saja," tutur Yudding.
Kendati jarak yang begitu jauh dan waktu tempuh yang panjang, Yudding dan Nursabbi tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan belajar di sekolah. Mereka sama seperti anak-anak lainnya yang juga memiliki cita-cita yang tinggi.
Mereka sadar, untuk mencapai cita-cita tersebut, mereka harus bersekolah. Khusus Yudding sendiri, dia ingin menjadi abdi negara, sementara adiknya, Nursabbi ingin menjadi guru karena senang mengajar.
"Saya bercita-cita mau jadi polisi. Bagus kulihat pakaiannya," ujar Yudding.
Perjuangan Anak SD di Pinrang
Perjalanan terjal menuju sekolah juga dialami oleh anak-anak di Pinrang. detikSulsel pernah menyoroti kisah mereka pada Maret lalu.
Para siswa SDN 150 di Kecamatan Lembang, Kabupaten Pinrang ini harus menempuh jarak 4 kilometer menuju sekolah. Perjalanan mereka memakan waktu 2 jam dan kondisi ini sudah berlangsung selama 7 tahun sejak kelas jarak jauh di tempat tinggal mereka ditutup.
Dulunya ada kelas jarak jauh di Dusun Buttu Batu, Desa Kariango, Kecamatan Lembang, Kabupaten Pinrang. Namun karena ditutup, para siswa yang biasa belajar di sana pun harus bersekolah di sekolah induk.
Rombongan belajar asal Dusun Buttu Batu ini pun tidak sedikit. Total ada 47 orang. Jalan yang mereka lalui menuju sekolah induk berupa hutan. Jika hujan deras, terpaksa anak-anak ini tidak berangkat sekolah karena medan yang sulit dan terlalu berbahaya untuk dilintasi.
"Saat hujan deras datang, anak-anak ini tidak bisa ke sekolah karena jalur tanah yang dilalui licin dan terjal," ujar anggota Ikatan Mahasiswa Letta (Ipmal) Agung.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Pinrang pun berencana untuk kembali mengaktifkan kelas jarak jauh SDN 150 tersebut. Renovasi ditargetkan selesai pada awal Agustus mendatang.
"Iya, Pak Sekdis (Dikbud) sudah berkunjung ke lokasi sekolah tersebut dan melapor ke Pak Bupati kemarin. Segera kita renovasi dan aktifkan kembali," jelas Sekda Pinrang Andi Budaya pada Selasa (14/6).
Jembatan Reyot Intai Nyawa Siswa SD di Toraja Utara
![]() |
Sementara itu, pada Maret lalu di Toraja Utara juga pernah ramai kisah siswa SD berangkat sekolah dengan bertaruh nyawa. Tepatnya di Kecamatan Balusu, Kabupaten Toraja Utara.
Siswa SDN 6 Balusu harus menerobos arus sungai yang deras demi bisa berangkat sekolah. Ada jembatan yang melintang di atas sungai tersebut, tetapi sudah sangat reyot dan berbahaya untuk dilewati.
"Menyeberang sungai karena jembatan rusak, takut lewat di atas, kalau banjir tidak ke sekolah," ungkap Agnes Siapadandi, salah satu siswa SDN 6 Balusu.
Beruntung jembatan ini kemudian diperbaiki secara swadaya oleh masyarakat dan TNI. Sebab, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Toraja Utara tidak menganggarkan perbaikan jembatan tersebut tahun ini. Sementara dari pihak Kecamatan Balusu, sudah ada perencanaan perbaikan tetapi belum ada dana.
(des/hmw)