Sejumlah warga di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Sulawesi Utara (Sulut) melakukan aksi protes atas proyek Jembatan Goyo yang mangkrak selama 16 tahun. Warga yang protes juga memasang tulisan menjual ginjal untuk menuntaskan proyek pembangunan jembatan tersebut.
Aksi ini digelar di jembatan yang berada di Desa Ollot II menuju ke Dusun Goyo Kecamatan Bolangitang Barat pada Jumat (6/5/2022). Aksi ini sempat viral lewat foto yang tersebar di media sosial yang menampilkan foto yang bertuliskan, "Saya Mau Jual Ginjal untuk Pembangunan Jembatan Goyo".
Warga yang melakukan aksi protes juga memegang flyer bertuliskan, "Open Donasi Koin Untuk Pembangunan Jembatan Goyo". Postingan viral itu diunggah lewat akun bernama Alin Pangilama yang juga turut serta dalam aksi itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Soalnya jembatan som (belum) jadi. Soalnya so (sudah) 16 tahun mangkrak," ucap Alin yang dikonfirmasi detikcom, Senin (9/5).
Dia pun mempertanyakan alasan pemerintah setempat yang mengaku anggaran tidak cukup. Makanya sindiran atas aksi protes jual ginjal tersebut dilayangkan agar proyek kembali dilirik untuk dilanjutkan.
"Anggaran ndak cukup, jadi so ba (sudah) nekat bagitu (jual ginjal). Soalnya masyarakat kesulitan gara-gara ini. Jadi daripada nda jadi-jadi (jembatan) torang somo bajual ginjal (kita jual ginjal saja untuk bantu biaya pembangunan)," urai dia.
Menurutnya jembatan itu sangat dibutuhkan sebagai akses penghubung antara Ollot dan Goyo. Selama ini warga terpaksa melintasi sungai yang membahayakan warga ketika ingin menyeberang.
"Bayangkan jika ada orang yang lagi kena sial terus masuk ke dalam sungai lalu tenggelam dan meninggal, siapa yang bertanggung jawab," keluh dia.
Apalagi warga mengeluhkan penyeberangan dengan membayar biaya jasa Rp 3 ribu sekali melintas. Menurutnya ini akan memberatkan jika ada keperluan antar daerah yang mengharuskan bolak-balik untuk menyeberang.
"Bayangkan masyarakat berapa kali lewat dalam sebulan di tempat ini. Apalagi masyarakat Bolangitang dan sekitarnya ada juga yang berkebun di seberang sungai, maka bisa dipastikan biaya yang mereka keluarkan Rp 6 ribu per hari,"urai Alin.
Biaya penyeberangan akan naik hingga 3 kali lipat ketika sungai meluap. Selain terbebani biaya, warga juga bertaruh nyawa ketika menyeberang saat banjir.
"Belum lagi jika sungai sedang banjir dan air meluap bagaikan janji Pemda, biayanya jadi berlipat ganda Rp 10 ribu sekali lewat, dengan risiko yang cukup tinggi," ungkapnya.
Dia pun menyayangkan sikap Pemkab Bolmut yang terkesan mengabaikan proyek Jembatan Goyo tersebut. Apalagi mangkrak selama kurang lebih 16 tahun.
"Sangat disayangkan jika pemerintah terus mempertontonkan kegagalan di tengah masyarakat, dengan dalih nanti, nanti, nanti," keluh Alin.
Pemkab Bolaang Mongondow Utara Jawab yang Mau Jual Ginjal untuk Proyek Jembatan
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Rudini Sumitro Masuara mengaku, penyelesaian pembangunan Jembatan Goyo butuh biaya besar mencapai Rp 40 miliar. Anggaran itu sudah diajukan ke Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Sulawesi Utara agar bisa diakomodir lewat APBN.
"Sudah kita sudah buat proposal, cuman kan kemarin itu COVID, anggarannya dipangkas perencanaan sudah di BBPJN, tinggal penganggarannya," ucap Rudini.
Saat itu pihaknya juga mengusulkan agar pembangunannya model jembatan gantung. Namun BBPJN Sulut menyarankan agar dibuat jembatan permanen.
"Bukan tidak selesai, baru mau dibikin. Cuman anggarannya APBD tidak bisa, harus APBN. (Kebutuhan anggaran) besar Rp 40 miliar habis," kata Rudini.
Dia berdalih, pihaknya sudah mengajukan kembali proposal bantuan anggaran pembangunan jembatan tahun 2021. Hal ini dikatakan masih akan dikawal prosesnya agar bisa disetujui.
"Kita berupaya terus, kemarin juga 2021 kita (saya) dan pak wakil bupati ke balai. Kemarin juga kami sempat komunikasi juga. Bulan lalu kalau nggak salah kita buat lagi proposal. Perencanaan sudah selesai tinggal pelaksanaan fisik," pungkasnya.
(sar/nvl)