Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali menegaskan tujuan dari kebijakan penghentian sementara pengeluaran izin pembangunan rumah atau perumahan se-Jawa Barat. Ia mengatakan kebijakan tersebut berlaku untuk langkah mitigasi terutama pada wilayah yang berpotensi menimbulkan bencana.
"Kan kalimatnya kan sudah jelas bahwa di situ yang memiliki potensi menimbulkan bencana baik banjir maupun longsor. Kan kepala daerah, kepala DPMPTSP di setiap kabupaten kan ada bidang tata ruangnya, dia sudah harus bisa menghitung," kata pria yang kerap disapa KDM, seperti dilansir dari detikJabar, pada Kamis (18/12/2025).
Ia melihat sudah banyak kejadian perumahan-perumahan kebanjiran, seperti yang terjadi di Bandung dan Bekasi. Menurutnya penyebabnya tidak jauh-jauh dari masalah alih fungsi lahan sawah, rawa, hingga daerah resapan air.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang berikutnya juga kita tahu yang di Bekasi ini sekarang yang banjir-banjir siapa, perumahan. Kemudian sekarang di daerah Bandung. Bandung juga sama kan, sawah, rawa. Itu yang terjadi," ujarnya.
Ia juga mencontohkan kasus di Arjasari, Kabupaten Bandung, sebagai dampak dari kesalahan tata ruang di masa lalu.
"Contoh kasus yang desa kemarin, Arjasari. Itu sebenarnya kan sebelumnya sudah belah tanahnya dan sudah diingatkan. Di sampingnya, di Arjasari ini banjir perumahan," sebutnya.
Melihat dari sana, Dedi memilih untuk mengeluarkan kebijakan melalui Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor: 180/HUB.03.08.02/DISPERKIM tentang Penghentian Sementara Penerbitan Izin Perumahan di Wilayah Provinsi Jawa Barat yang diterbitkan pada 13 Desember 2025. Sebab, proses perubahan regulasi membutuhkan waktu lama, sementara ancaman bencana datang tanpa menunggu aturan selesai.
Lewat penghentian sementara izin perumahan, pemerintah mengambil langkah jeda untuk menata ulang. Pihaknya telah bergerak melakukan evaluasi tata ruang.
"Ini kan tata ruang dulu salah membuatnya. Karena salah membuatnya maka tata ruangnya dievaluasi. Hari ini pleno tata ruang. Tahun depan kabupaten dan kota akan mengubah tata ruang. Tetapi kalau menunggu perdanya dibuat, perlu waktu lama, setahun minimal. Tetapi banjir kan tidak melihat waktunya kapan," ujarnya.
"Maka saya melakukan langkah. Sudah setop dulu, kita mikir dulu deh jeda sebentar, kemudian kita rumuskan dan kita petakan gitu. Saya ingin dua-duanya tercapai. Masyarakat punya rumah, kemudian lingkungan memiliki harmoni," lanjutnya.
Semuanya bukan keputusan sepihak, kata Dedi, ia telah meminta bidang tata ruang untuk berkoordinasi dan melakukan pemetaan secara menyeluruh sebagai bagian dari mitigasi bencana. Pihaknya juga sudah menyiapkan rencana jangka panjang, yakni mendorong pembangunan perumahan vertikal, terutama di wilayah dengan keterbatasan lahan.
"Harus segera di pikirkan rumahnya vertikal. Nggak ada pilihan. Semua ya, bukan hanya Bandung, Bogor, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, semua daerah yang areal tanahnya sudah habis harus memikirkan rumah vertikal," tegasnya.
"Kalau nggak, habis. Nanti kalau habis semua, rawa habis semua, sawah habis semua, kemudian daerah bukit habis semua, daerah aliran sungai habis semua, mohon maaf ya, nanti suatu saat ada siklus bencana yang terjadi," tambahnya.
Artikel ini sudah tayang di detikJabar.
(aqi/aqi)










































