Pemerintah mengungkapkan salah satu alasan tabungan perumahan (Tapera) diwajibkan bagi seluruh pekerja bergaji minimal UMR adalah untuk mengatasi backlog perumahan.
Backlog merupakan istilah yang sering disebut-sebut dalam sektor perumahan dan permukiman. Backlog rumah merupakan salah satu masalah yang harus segera diatasi karena terkait dengan kebutuhan papan atau tempat tinggal masyarakat.
Bagi masyarakat awam, istilah backlog mungkin terdengar asing. Nah, karena itu, melalui artikel ini, kita akan membahas mengenai backlog, mulai dari pengertian hingga upaya pemerintah dalam mengatasinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa itu Backlog Rumah?
Dilansir dari Kamus Istilah Pengembangan Wilayah yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), backlog rumah adalah kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah yang dibutuhkan rakyat. Singkatnya, backlog rumah berarti krisis kebutuhan akan kepemilikan rumah.
Ditilik dari sektor properti, backlog perumahan artinya kondisi kesenjangan antara total hunian terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat. Ini termasuk juga angka rumah yang tidak layak huni.
Hal ini mencakup unit-unit perumahan yang harus dibangun untuk mengatasi defisit perumahan yang telah terakumulasi selama beberapa waktu. Backlog perumahan bisa terdiri dari berbagai jenis perumahan, termasuk perumahan sosial, perumahan terjangkau, dan perumahan untuk berbagai tingkat pendapatan.
Backlog merupakan indikator dalam Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Angka backlog digunakan untuk mengukur kebutuhan rumah yang dihitung dengan angka persentase rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri dan yang menempati bukan rumah sendiri, tetapi memiliki rumah di tempat lain.
Angka Backlog Rumah Indonesia Saat Ini
Pada tahun 2023, angka backlog perumahan di Indonesia mencapai 12,7 juta. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 1,7 juta dari tahun sebelumnya.
Pada tahun 2022, dengan angka backlog perumahan sebesar 11 juta yang sebanyak 93% berasal dari Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Selain itu, sebanyak 60% dari angka tersebut didominasi oleh MBR yang bekerja pada sektor informal.
Angka backlog ini bisa terus bertumbuh karena kebutuhan akan kepemilikan rumah per tahunnya itu sekitar 600 ribu hingga 800 ribu. Angka itu bertumbuh salah satunya karena faktor bertumbuhnya keluarga baru yang membutuhkan tempat tinggal.
Adapun, Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Herry Trisaputra Zuna menyampaikan ada 9,9 juta rumah tangga yang belum mempunyai rumah berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Lalu, terdapat 26 juta rumah tidak layak huni, sehingga jumlah rumah yang perlu diselesaikan sekitar 36 juta. Hal itu disampaikan dalam konferensi pers Program Tapera di Kantor Staf Presiden, Jakarta Pusat pada Jumat (31/5/2024) lalu.
Upaya Pemerintah Atasi Backlog Rumah
Strategi pemerintah untuk mengatasi backlog perumahan adalah dengan memberikan bantuan pembiayaan perumahan.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR,Herry Trisaputra Zuna menyebutkan pada 2023 pemerintah sudah menyalurkan Rp 26,3 triliun dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk 229.000 unit rumah. Rp 895 miliar untuk penyaluran 220.000 unit subsidi bantuan uang muka dan Rp 52 miliar untuk pembayaran 13.993 unit bantuan administrasi dan Rp 1,09 triliun dana peserta Tapera (tabungan perumahan rakyat) untuk penyaluran 7.020 unit pembiayaan Tapera.
Untuk tahun 2024, pemerintah mengalokasikan dana bantuan pembiayaan FLPP sebanyak Rp 13,72 triliun untuk 166.000 unit rumah, Rp 0,68 triliun untuk 166.000 unit subsidi bantuan uang muka (SBUM) dan dana peserta Tapera untuk pembiayaan Tapera sebesar Rp 0,83 triliun untuk 7.251 unit rumah.
"Jumlah ini lebih rendah dari 2023, namun sesuai dengan rapat internal 27 Oktober 2023 pemerintah berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan dana FLPP di 2024 untuk menjadi 220.000 unit. Kami optimis dan tetap mendorong serta diiringi semangat kerja sama di antara para stakeholder program pembiayaan perumahan agar seluruh target program tahun 2024 dapat tercapai," tuturnya dalam Webinar Property Outlook 2024 yang dilakukan secara daring, Selasa (27/2/2024) lalu.
Herry menuturkan, untuk mengatasi backlog rumah perlu dilihat dari sisi suplai dan demand-nya juga. Ia mengatakan ada beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi angka backlog, salah satunya dengan penyediaan rumah susun dekat pusat kegiatan atau Transit Oriented Development (TOD).
"Beberapa upaya yang sedang dan akan dilakukan dari sisi suplai antara lain pelembagaan rumah hijau untuk menjawab pendanaan terbatas atas penyediaan rumah yang terjangkau dan berwawasan lingkungan, pelembagaan kerja sama pemerintah dan badan usaha atau KPBU rumah susun terutama yang dekat dengan pusat kegiatan atau Transit Oriented Development (TOD)," paparnya.
Tak hanya itu, pemerintah juga memanfaatkan tanah milik BMN (barang milik negara) dan BMD (barang milik daerah) serta bekerja sama dengan bank tanah untuk kesediaan rumah tapak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) serta rumah vertikal yang dibangun di atas tanah BMN dengan sertifikat kepemilikan berupa sertifikat kepemilikan bangunan gedung (SKBG).
"Sedangkan dari sisi demand antara lain reformasi subsidi yang lebih tepat sasaran dan efisien, perluasan peningkatan intensitas pembiayaan hijau perumahan bagi MBR melalui Indonesia Green Affordable Housing Program (IGAHP), pengembangan skema pembiayaan dan kemudahan bantuan pembiayaan perumahan melalui dana abadi perumahan, skema sewa beli, KPR bertahap atau staircasing ownership, dan KPR bertenor panjang hingga 35 tahun, perluasan penyediaan hunian yang terjangkau melalui ekosistem rumah sewa dengan memanfaatkan pelaku pasar, dan tentunya perluasan KPR FLPP dan KPR Tapera (tabungan perumahan rakyat) yang dikelola oleh BP Tapera," lanjutnya.
(abr/zlf)