Di tengah upaya pemerintah mengatasi backlog dengan mempercepat penyediaan rumah, ternyata masih ada masalah lain yang tidak kunjung selesai juga yakni keberadaan rumah tidak layak huni. Baru-baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data kondisi rumah warga di Jawa Barat periode 2023. Berdasarkan data tersebut, 45,83% rumah warga Jawa Barat masuk dalam kategori tak layak huni. Lantas, dampak apa saja yang akan mengintai penghuninya?
Menurut Pengamat Perkotaan Yayat Supriatna, kondisi rumah yang tidak layak atau lingkungan yang tidak sehat tentu berdampak buruk bagi penghuninya secara sadar atau tidak sadar.
"Rumah yang dibuat non standar. Itu kan rumah pada fungsi ekonomi, temporary. Bukan rumah untuk bikin sejahtera," kata Yayat saat dihubungi detikProperti, Kamis (1/8/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menyebutkan beberapa dampak yang terjadi bisa berupa menurunnya kualitas hidup penghuninya, terganggunya kualitas kesehatan, bisa memicu stress, ketenangan dan kenyamanan. Lalu jika tinggal di rumah padat penduduk, ada pula risiko kebakaran. Menggunakan material bangunan yang tidak berkualitas dan tidak kokoh juga dapat membahayakan keselamatan penghuninya.
"Kedua nanti nyamuk, jentik, penularan penyakit. Kalau udah kena masalah lingkungannya sudah termasuk tidak layak huni. Contoh ada endemik paru-paru dan penyakit menular lainnya. Jadi rumah yang sehat ini, sehat untuk penghuninya, sehat untuk lingkungan," jelasnya.
Penyebab Masih Ditemukan Rumah Tak Layak Huni
Yayat mengatakan penyebab banyaknya masyarakat yang masih tinggal di rumah tak layak huni adalah masalah ekonomi dan sosial.
"Rumah itu cerminan ekonomi. (sebagai contoh) rumah-rumah di pedesaan itu kan bagaimana kemampuan dan pengetahuan mereka. Bagaimana bentuk bantuan dan fasilitas yang diberikan," paparnya.
Lalu masalah ketersediaan lahan menurutnya juga mempengaruhi. Di Indonesia masih ditemui banyak lingkungan padat penduduk, terutama di dalam jalan-jalan sempit atau gang. Lahan yang sempit biasanya harga tanahnya tidak begitu mahal sehingga menjadi incaran. Selain itu, Indonesia juga masih tertarik dengan model rumah tapak daripada vertikal seperti apartemen atau rusun.
"Kita rumahnya karena rumah horizontal. Kita memaksimalkan kebutuhan ruangnya itu. Misalnya nanti bisa 2 lantai, mungkin itu nanti sangat tergantung pada kemampuan ekonomi masyarakatnya," ujarnya.
Alasan lainnya, masih terkait dengan masalah ekonomi. Masih banyak orang yang memilih mengontrak. Sementara itu, kontrakan di Indonesia yang cukup murah biasanya ukurannya kecil dengan 1 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Kemudian, satu rumah bisa ditinggali lebih dari 3 orang. Dari luas dengan jumlah keterisiannya saja sudah tidak memenuhi kriteria rumah layak.
"Iya ekonomi dan sosialnya. Atau kawasan-kawasan itu seperti di zona-zona padat industri, seperti di Cikarang atau kawasan-kawasan yang cukup padat, itu kan sebenarnya bukan rumah-rumah untuk pribadi, tetapi untuk usaha seperti kontrakan, kos-kosan," bebernya.
"Orang-orang yang mengontrak kan nggak punya pilihan. Kalau orang ngontrakan kan tergantung yang punya kontrakan," tambahnya.
(aqi/dna)