Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) mengusulkan skema sewa-beli rumah subsidi atau dikenal pula dengan Rent-to-Own (RTO) kepada Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) pada Agustus lalu. Lantas, bagaimana progresnya saat ini?
Menurut Komisioner BP Tapera Heru Pudyo Nugroho pembahasan mengenai RTO masih berjalan hingga saat ini. Salah satu bahasannya adalah mengenai likuiditas.
Hal ini disampaikan setelah acara penandatanganan Perjanjian Kerja Sama Penyaluran FLPP Tahun 2026 dengan 43 Bank Penyalur dan Perjanjian Kerja Sama antara Asosiasi Perumahan dengan BP Tapera.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Rent to Own itu masih ongoing, masih intens dengan teman-teman dari asosiasi juga yang sudah commit sebenarnya. Namun, untuk mengaktualisasikan itu kita masih hitung kembali. Terutama dari sisi dukungan likuditasnya untuk skema Rent-to-Own," kata Heru di Kantor BP Tapera, Menara Mandiri 2, Jakarta Selatan, Selasa (23/12/2025).
Rent-to-Own memiliki jangka waktu tertentu, kata Heru, seperti 2 atau 3 tahun, kemudian beralih menjadi KPR. Peralihan ini bisa dilakukan setelah adanya kesepakatan dan penilaian kemampuan dari calon debiturnya.
Sebelumnya diberitakan, Junaidi menyebutkan saat ini ada lebih dari 86 juta pekerja informal tidak dapat memenuhi persyaratan perbankan akibat ketidakstabilan penghasilan dan minimnya akses data keuangan. Skema Rent-to-Own diharapkan bisa menjadi jalan keluar dari hal tersebut.
"Skema Rent-to-Own adalah terobosan inklusif agar pedagang kecil, pekerja lepas, dan masyarakat berpenghasilan rendah informal tetap memiliki kesempatan memiliki rumah. Mereka akan menyewa terlebih dahulu, sekaligus menabung, sebelum beralih ke kepemilikan penuh," ungkap Junaidi dalam keterangan tertulis, seperti yang dikutip detikcom, Kamis (28/8/2025).
Ketiga golongan yang bisa memakai skema rent to own adalah MBR yang tidak mendapatkan kuota FLPP, masyarakat yang pendapatannya tidak tetap dan tidak memiliki slip gaji, serta yang SLIK OJK-nya bermasalah atau belum diputihkan.
"Ada tiga isu, kuota (FLPP), non-fix income, terus banyaknya ter-reject," ungkap Junaidi.
Ditemui di waktu yang sama, Heru mengatakan skema rent to own bisa menjadi solusi bagi MBR yang tidak memiliki pendapat tetap dan terhalang SLIK OJK. Dengan skema tersebut, mereka dapat membuktikan kepada perbankan bahwa mampu untuk mengangsur.
"Ketika dia comply (rajin) taat membayar sewa bulanannya, kemudian bank akan bisa menjustifikasi, oh berarti dia eligible (memenuhi syarat) untuk kemudian shifting dari sewa menjadi kepemilikan, lanjut ke KPR. Ini salah satu terobosan juga untuk membantu bank mengakses capability, profiling bankability dari calon debitor MBR khususnya yang non-fixed income," terang Heru.
Heru menyatakan skema Rent-to-Own ini lebih murah. Pemerintah dan pengembang sudah melakukan penghitungan, ternyata biayanya jauh lebih murah daripada besar angsuran FLPP. Namun, hitungan ini masih perkiraan awal, bukan final.
"20 persen lebih murah mungkin," ujar Heru.
Junaidi menambahkan biaya sewanya bisa menyentuh Rp 1,1 juta per bulan. Hitungan ini didasarkan pada simulasi penyewa terikat kontrak huni selama 2 tahun.
"Lebih murah. (Satu juta per bulan?) Iya, kalau FLPP itu kurang lebih Rp 1,3 juta. Kalau 15 tahun itu kurang lebih Rp 1,1 juta, dua tahun tapi ya. Karena kita kan berharap dia bisa berkelanjutan ke KPR," jelasnya.
(aqi/aqi)











































