Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi resmi menghentikan sementara pemberian izin pembangunan rumah se-Jawa Barat. Hal ini tidak hanya berdampak pada pengembang saja, termasuk konsumen.
Para pengembang mengaku sudah mulai terdampak dari kebijakan tersebut, misalnya proyek terhenti. Konsumen pun juga mulai was-was saat ingin membeli rumah.
Menurut CEO Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, kebijakan yang dikeluarkan Dedi Mulyadi ini dianggap kurang 'market friendly' di saat seperti ini. Menurutnya, kebijakan seharusnya tidak hanya ditujukan pada pengembang perumahan saja tetapi perlu pembasmian tuntas praktik korupsi dan pungli dari oknum di pemerintah daerah setempat. Hal-hal tersebut menurutnya juga membuat pengembang kesulitan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kebijakan evaluasi ini harusnya dibuat tidak menyeluruh seperti ini, ada baiknya pemda melihat wilayah-wilayah yang rawan bencana sebagai prioritas," katanya kepada detikProperti, Selasa (16/12/2025).
Menurutnya, pengembang saat ini sudah resah karena izin persetujuan bangunan gedung (PBG) akan terhambat, termasuk juga izin-izin yang sedang berlangsung. Ia khawatir adanya kebijakan ini juga bisa menghambat Program 3 Juta Rumah, apalagi pasar properti di Jawa Barat sangat besar. Walau demikian, adanya penghentian sementara pemberian izin pembangunan rumah tidak akan membuat harga rumah naik justru akan melambat.
"Masyarakat tidak terlalu pengaruh karena ini dampaknya langsung ke pengembang. Masyarakat kalau nggak ada rumah, mereka juga akan menunggu," tuturnya.
Sementara itu, Ahli Tata Kota dan Permukiman Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar menilai kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi merupakan hasil evaluasi dari kasus-kasus bencana sebelumnya seperti banjir dan tanah longsor. Evaluasi yang dilakukan bukan hanya dilakukan dalam cakupan perumahan, properti dan sejenisnya melainkan wilayah.
Apalagi penduduk Jawa bagian barat seperti Bogor, Bekasi, Depok ini cukup padat. Adanya kebijakan itu untuk mencegah pembangunan rumah di wilayah yang tidak seharusnya, seperti di bantaran sungai maupun di perbukitan.
"Ini masalahnya bukan lagi bisnis properti, bukan lagi bangun perumahan, isu yang ditangani KDM adalah isu kelestarian wilayah, bahkan kelestarian Indonesia karena di Jawa bagian barat ini terletak ibu kota negara, ada kawasan yang tumbuh paling cepat yaitu Jabodetabek," tuturnya kepada detikProperti.
Maka dari itu para pengembang properti perlu melakukan moratorium dan refleksi secara luas dalam skala wilayah. Selain itu, perlu juga evaluasi total penataan ruang.
Jehansyah menilai adanya kebijakan ini tidak berdampak signifikan pada pengembang. Sebab, pengusaha properti masih bisa mengembangkan bisnis properti yang tidak berbasis bangunan yang masif.
"Namanya bisnis properti itu tidak selalu mengandalkan unit-unit properti seperti rumah, kios, ruko, tapi bisnis properti yang ekologis misalnya agribisnis," ungkapnya.
Ia menyarankan, ke depan, pengembang sebaiknya membangun rusun sewa (rusunawa) yang lebih banyak karena bisa menampung banyak orang dan tidak membutuhkan lahan yang banyak. Hal ini juga harus dibarengi oleh pemerintah sebagai pemimpin agar proyek-proyek yang dibangun tidak menjadi mangkrak karena pembangunan didasarkan dengan keberlanjutan lingkungan, bukan hanya dari sisi bisnis properti saja.
"Membangun kota-kota secara kompak, high density, membangun perumahan secara kompak, compact housing. Ini kalau ada apartemen-apartemen mangkrak tugaskan saja BUMD untuk membeli murah lalu dikembangkan perumahan. Kalau bisa perkembangan kota-kota itu dibuat batasnya," tuturnya.
Sebagai informasi, perluasan kebijakan penghentian sementara penertiban izin perumahan ke seluruh wilayah Jawa Barat tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor: 180/HUB.03.08.02/DISPERKIM tentang Penghentian Sementara Penerbitan Izin Perumahan di Wilayah Provinsi Jawa Barat yang diterbitkan pada 13 Desember 2025.
Dalam surat edaran itu, Dedi menegaskan bahwa ancaman bencana hidrometeorologi tidak hanya terjadi di Bandung Raya, tetapi hampir merata di seluruh wilayah Jawa Barat. Potensi bencana seperti banjir bandang dan tanah longsor dinilai semakin tinggi akibat tekanan pembangunan dan perubahan fungsi lahan.
"Potensi bencana alam hidrometeorologi berupa banjir bandang dan tanah longsor bukan hanya terjadi di wilayah Bandung Raya, tetapi juga di seluruh wilayah Jawa Barat," tulis surat edaran tersebut sebagaimana dikutip detikJabar, Senin (15/12/2025).
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(abr/das)










































