Presiden Prabowo Subianto memiliki program unggulan, yakni Program 3 Juta Rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Saat program ini muncul, masyarakat kembali melihat program rumah subsidi serupa di era Presiden Joko Widodo yang dinamakan Program 1 Juta Rumah.
Dari program tersebut ditemukan terdapat beberapa rumah subsidi yang sudah terbangun, tetapi kondisinya terbengkalai. Rumah tersebut tidak dihuni, kosong, banyak ditumbuhi tanaman liar, dan beberapa bagian rumahnya mengalami kerusakan.
Meskipun jumlahnya tidak begitu banyak jika dibandingkan dengan rumah subsidi yang sudah digunakan dengan baik oleh masyarakat, temuan ini tetap menjadi sorotan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komisioner BP Tapera Haru Pudyo Nugroho buka-bukaan mengenai tantangan dalam pembangunan rumah subsidi. Ia menyebut masalah keterhunian unit masih menjadi perhatian utama BP Tapera karena rumah subsidi tersebut harus dipakai dan dihuni oleh pembelinya setelah selesai dibangun. Dengan begitu program rumah subsidi dapat tepat sasaran.
"Jadi, untuk memastikan itu (rumah subsidi tepat sasaran), pertama, ketepatan sasaran. Dan kedua, keterhunian karena sesuai sama peraturannya yang penting pembeli itu harus menghuni sendiri rumahnya sekurang-kurangnya lima tahun. Baru boleh dipindahtangankan karena mungkin bisa jadi warisan atau housing career itu, dia sudah punya penghasilan yang lebih bagus, jadi ingin tinggal di rumah yang lebih bagus, misalkan. Itu (bisa) setelah lima tahun," kata kata Heru seusai acara Konferensi Pers Pre-Event 'Rencana Pelaksanaan Akad Massal 25 ribu Unit Rumah Bersama RI-1', di Wisma Mandiri II, Jakarta Pusat, pada Jumat (26/9/2025).
Alasan adanya aturan rumah subsidi harus dihuni bukan semata menggugurkan kewajiban agar nanti 5 tahun bisa dipindahtangankan, melainkan menjadi salah satu cara merawat rumah tersebut. Rumah yang lama kosong dan tidak digunakan, kata Heru, dapat memicu penurunan kualitas dan kerusakan.
Berdasarkan hasil data monev (monitoring dan evaluasi) BP Tapera, tingkat keterhunian rumah subsidi dari tahun ke tahun semakin membaik. Pada Semester I tahun ini tingkat keterisiannya mencapai 92 persen atau 27.751 rumah dihuni dari 29.966 rumah yang dijadikan sampel.
"Tahun 2022, keterhuniannya dari hasil monev kita dari sampling 60 ribu rumah, itu masih 74 persen keterhuniannya. Di 2023 meningkat menjadi 92 persen. 2024 meningkat lagi ke 93 persen. Ini artinya bahwa compliance (pemenuhan), MBR dalam menerima atau memanfaatkan FLPP ini udah cukup tinggi. Dan kita terus pantau. Tahun ini target monev kita kalau nggak salah di 64 ribu di seluruh Indonesia," ungkap Heru.
Ada pun 7 persen atau 2.215 rumah yang tidak dihuni ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti pemiliknya menunda pindah ke rumah subsidi dan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan mereka pindah kota padahal sudah membeli rumah subsidi.
"Sebanyak 7% ini (tidak menempati) dikarenakan ada beberapa faktor, salah satu hasil monev kami misal baru pindah setelah masa kontrakan lamanya selesai, atau menunggu anak selesai sekolah, atau pindah kerja," ungkapnya.
Hal tersebut terjadi karena sebagian besar sekitar 75,1 persen segmentasi masyarakat yang mengambil manfaat rumah subsidi adalah buruh dan pekerja swasta. Di urutan kedua wiraswasta 12,92 persen, ada juga PNS sebanyak 7,03 persen, profesi lainnya 2,91 persen, dan terakhir TNI/Polri 1,87 persen.
"Kita terus upayakan pembelian terus meningkat. Dan kami komit untuk terus mengakselerasi. Kenapa? Karena peminatannya masih sangat tinggi untuk KPR FLPP ini. Untuk menjangkau dan kita terus dorong dari sisi supply, teman-teman pengembang bisa mengembangkan perumahan yang berkualitas," imbuhnya.
(aqi/das)