Lawang Sewu merupakan salah satu bangunan bersejarah yang ikonik di Semarang, Jawa Tengah. Gedung yang terkenal memiliki banyak pintu ini ternyata menyimpan kisah kelam.
Dikutip dari siaran resmi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Lawang Sewu dibangun sekitar 1900-an pada masa kolonial Belanda. Bangunannya berdiri di atas lahan seluas 18.232 meter persegi.
Tempat tersebut awalnya adalah kantor administrasi kereta api Belanda yang bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Bangunan ini berlokasi di Jalan Pemuda No. 160, Sekayu, Semarang, Jawa Tengah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah masa kolonial Belanda, Lawang Sewu diambil alih oleh Jepang. Kantor tersebut lalu dialihfungsikan menjadi markas tentara dan kantor transportasi bernama Riyuku Sokyoku pada 1942.
Bangunan ini menjadi saksi bisu pertempuran antara Angkatan Pemuda Kereta Api (AMKA) dan tentara Jepang. Pertempuran itu akibat tewasnya dr. Kariadi, yakni dokter paling andal kala itu.
Lawang Sewu menjadi markas tentara Jepang, sedangkan AMKA di Wilhelminaplein atau Kawasan Taman Tugu Muda yang berseberangan dengan Lawang Sewu. Pertempuran itu berlangsung selama lima hari pada 15-19 Oktober 1945.
Pemuda AMKA sebenarnya sudah dinilai kalah dari segi jumlah dan senjata. Prajurit Jepang berjumlah sekitar 500.000 orang dengan senjata bayonetnya, sementara pemuda AMKA hanya berjumlah 2.000 dengan senjata bambu runcing.
Arsitektur Bangunan Lawang Sewu
Selain menyimpan kisah kelam, Lawang Sewu mempunyai arsitektur yang menarik. Dari namanya saja sudah menggambarkan gedung itu mempunyai banyak pintu.
Menurut istilah orang Jawa, 'lawang' berarti pintu, dan 'sewu' bermakna seribu atau menjadi kata yang mewakili angka paling banyak di zaman dahulu. Dengan begitu, 'Lawang Sewu' berarti seribu pintu.
Padahal, jumlah asli pintu di Lawang Sewu sebanyak 928 pintu. Gedung itu kurang 72 pintu saja untuk benar-benar disebut sewu.
Jumlah pintu itu sebenarnya mencerminkan kasta yang tinggi dan citra orang Belanda. Lalu, sirkulasi udara pun menjadi bagus karena banyaknya pintu.
Di samping itu, Lawang Sewu terdiri dari lima bangunan dan dirancang oleh arsitek yang berbeda-beda. Awalnya, gedung dirancang oleh arsitek asal Belanda, Ir. P. de Rieu. Gedung C adalah bangunan yang pertama kali dibuat dan difungsikan sebagai kantor percetakan karcis kereta api pada 1900.
Kemudian, pembangunan dilanjutkan oleh Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag setelah Ir. P. de Rieu meninggal dunia. Keduanya membangun gedung A sebagai kantor utama NIS sejak Februari 1904 hingga Juli 1907.
Lawang Sewu pun diperluas dengan adanya gedung B, D, dan E seiring berkembangnya kantor kereta api Belanda. Gedung B masih dibangun oleh Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag. Sementara itu, gedung D dan E dirancang oleh Thomas Karsten yang merupakan arsitek termuda dan terakhir Lawang Sewu.
Bangunan tersebut dibuat menggunakan batu bata keramik berwarna oranye. Batu bata merupakan simbol kekayaan, kemakmuran, dan kasta tertinggi. Material tersebut tergolong langka dan mahal pada saat itu.
Sekarang Lawang Sewu menjadi museum setelah dilakukan berbagai pemugaran dan renovasi. Museum ini menampilkan koleksi benda yang berhubungan dengan kereta api, seperti seragam masinis, alat komunikasi, lemari karcis, hingga mesin cetak tanggal untuk karcis kereta.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(dhw/das)