Industri hotel di Jakarta sedang mengalami penurunan okupansi. Hal ini membuat hotel mengalami pengurangan pendapatan, bahkan berpotensi tutup permanen. Bahkan sudah banyak gedung hotel di Jakarta yang dijual di market place.
Menurut Pengamat Properti Ferry Salanto, kondisi industri perhotelan, khususnya di Jakarta, tengah menghadapi tantangan berat. Tingkat hunian hotel tetap mengalami penurunan yang cukup signifikan meski di tengah momen yang seharusnya mendongkrak okupansi, seperti musim liburan dan konser.
"Rata-rata, penurunan omzet hotel mencapai sekitar 30 persen dibandingkan tahun lalu. Salah satu penyebab utamanya adalah efisiensi anggaran pemerintah," ujar Ferry saat dihubungi detikProperti, Kamis (30/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan efisiensi anggaran pemerintah berdampak langsung terhadap penurunan permintaan atas layanan hotel. Hal tersebut terutama dari segmen kegiatan pemerintahan dan korporat.
Selain itu, permintaan akan hotel juga menurun karena daya beli masyarakat yang melemah. Lalu, wisatawan domestik dan mancanegara pun tengah berkurang.
"Situasi ini memaksa banyak hotel untuk melakukan efisiensi operasional, salah satunya melalui pengurangan karyawan secara bertahap, baik pekerja harian lepas maupun kontrak," katanya.
Ferry menambahkan tanpa strategi pemulihan yang tepat, industri perhotelan berisiko mengalami penurunan yang lebih dalam, bahkan ada potensi hotel tutup permanen.
Untuk bisa bertahan, ia menjelaskan langkah efisiensi yang umum dilakukan mencakup pengurangan hari kerja karyawan dengan sistem rotasi. Gaji karyawan disesuaikan berdasarkan jumlah hari kerja efektif.
"Ini tentu membawa dampak lanjutan, seperti penurunan pendapatan daerah, potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, dan gangguan pada ekosistem ekonomi lainnya, termasuk UMKM, petani, perajin, hingga sektor transportasi dan pariwisata," katanya.
Upaya pertama yang dilakukan adalah dari sisi pengeluaran terbesar, yakni biaya sumber daya manusia (SDM). Hotel-hotel melakukan pengurangan tenaga kerja. Pekerja harian lepas yang langsung diberhentikan atau dilakukan penjadwalan ulang, sehingga mereka hanya bekerja setengah bulan dengan gaji yang juga disesuaikan.
"Meski langkah ini memberikan ruang bertahan sementara, tekanan tetap tinggi terutama bagi hotel-hotel yang pembiayaannya bergantung pada pinjaman bank," tuturnya.
Berbeda dari masa pandemi COVID-19, kali ini tidak ada kebijakan restrukturisasi kredit atau insentif dari pemerintah. Oleh karena itu, ia menyatakan banyak pemilik hotel menghadapi kesulitan keuangan yang serius.
Dalam kondisi ini, Ferry menyebut kolaborasi antara pemilik hotel, pemerintah, dan lembaga keuangan sangat dibutuhkan. Negosiasi terbuka dan laporan keuangan yang transparan dapat menjadi landasan untuk mencari solusi bersama, misalnya melalui restrukturisasi kredit, keringanan bunga, atau skema investasi baru.
Ia pun menyebutkan beberapa strategi bertahan yang telah diupayakan oleh sejumlah hotel selain efisiensi biaya energi dan SDM. Pemilik hotel mencari sumber pendapatan baru, seperti menyasar segmentasi wedding, MICE (meetings, incentives, conventions, and exhibitions) skala kecil, atau layanan co-working.
Lalu, pemilik meningkatkan efisiensi layanan melalui sistem kerja bergilir. Mereka mengadopsi teknologi digital, seperti sistem check-in mandiri dan otomatisasi layanan tamu. Terakhir, meningkatkan kualitas layanan agar tetap kompetitif meski dengan keterbatasan SDM.
Menurutnya, pemilik hotel perlu mengambil langkah inovatif untuk bertahan dan beradaptasi terhadap perubahan lanskap bisnis. Mengingat kini bisnis sangat dipengaruhi oleh kebutuhan generasi baru. Generasi ini mengutamakan efisiensi, pengalaman digital, dan fleksibilitas.
Oleh karena itu, pengelola hotel harus memahami apa yang dicari oleh pasar saat ini. Ferry mencontohkan pemilik bisa mempertimbangkan perlu tidaknya ruang pertemuan besar atau justru lebih menyukai ruang serba guna yang lebih kecil dan multifungsi.
"Walaupun tantangan besar sedang dihadapi, semangat dan kreativitas tetap harus dijaga. Perubahan adalah keniscayaan. Dengan pendekatan yang adaptif, inovatif, dan kolaboratif, industri perhotelan masih memiliki peluang untuk bangkit dan kembali tumbuh," ucap Ferry.
Sebelumnya diberitakan, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Daerah Khusus Jakarta (PHRI DK Jakarta) khawatir akan kondisi industri hotel dan restoran di Jakarta. Sebab, pada triwulan pertama 2025 tercatat adanya tren penurunan.
Berdasarkan hasil survei Badan Pimpinan Daerah (BPD) PHRI DK Jakarta pada April 2025 terhadap anggotanya, tercatat 96,7 persen hotel melaporkan terjadinya penurunan tingkat hunian. Dari hasil survei oleh BPD PHRI DK Jakarta, sebanyak 66,7 persen responden menyebutkan penurunan tertinggi berasal dari segmen pasar pemerintahan.
"Ini karena adanya pengetatan anggaran, sebagaimana kita tahu hotel-hotel itu memang salah satu sumber penting mulai dari hunian kamar, (ruang) meeting, juga restoran itu berasal dari pemerintah," kata Ketua BPD PHRI DK Jakarta, Sutrisno Iwantono dalam konferensi pers online, Senin (26/5/2025).
Lalu, kontribusi wisatawan mancanegara terhadap kunjungan ke Jakarta masih tergolong sangat kecil. Menurut data Badan Pusat Statistik tercatat dari 2019-2023, rata-rata persentase kunjungan turis asing hanya mencapai 1,98 persen per tahun, masih kalah dengan wisatawan domestik.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(dhw/das)