Pulau Hashima Jepang dari kejauhan terlihat seperti pulau yang ramai dengan banyak bangunan berdiri di atasnya. Pulau ini sampai dijuluki 'pulau kapal perang' karena letaknya di tengah laut.
Ternyata pulau ini menyimpan sejarah kelam dan saat ini sudah tak berpenghuni. Hal tersisa dari pulau ini hanya bangunan-bangunan terbengkalai yang warnanya sudah memudar. Bahkan pulau ini sekarang dijuluki sebagai pulau berhantu.
Melihat ke belakang, bagaimana kehidupan di pulau Hashima pada masa kejayaannya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dilansir Architectural Digest India, kehidupan baru tercipta di Pulau Hashima pada 1980. Hal ini bermula dari temuan mereka adanya sumber batu bara di pulau tersebut. Singkat cerita, Mitsubishi dapat mengakuisisi tambang tersebut seharga 100.000 yen atau saat ini setara dengan Rp 10 juta (Kurs Rp 107). Perusahaan ini dibantu pengusaha Skotlandia, Thomas Blake Glover.
Pulau Hashima pada awalnya tidak sebesar seperti saat ini yang mencapai 6,3 hektare. Pihak Misubishi membuat perluasan secara artifisial dengan memakai pemecah gelombang beton untuk melindungi pulau tersebut.
Penduduk yang datang ke Pulau Hashima rata-rata adalah pria yang bekerja di tambang tersebut. Mereka mendapat kehidupan yang layak meskipun berada di tengah laut yang cuaca dan kondisi udaranya buruk.
Jumlah penduduk yang tinggal di Hashima pada masa kejayaannya mencapai 5.259 penduduk dan sempat menjadi pulau terpadat di dunia.
Bahkan pendapatan pekerja tambang pada saat itu lebih besar daripada para eksekutif di Tokyo. Rumah-rumah penduduk kebanyakan sudah dilengkapi dengan televisi satelit yang pada saat itu adalah barang mewah.
![]() |
Selain perumahan, di pulai ini juga muncul flat pertama di dunia yang dibangun dengan struktur beton bertulang. Flat ini terdiri dari 4 lantai dan dibangun pada 1916.
Di pulau ini segala fasilitas lengkap. Mulai dari rumah sakit, sekolah, tempat penitipan anak, beberapa tempat ibadah, bahkan sebuah gedung perjudian pun dibuat.
Hal paling menarik di antara bangunan di pulau tersebut adalah tangga besar berdiri dari perut bumi hingga ke lantai bangunan tertinggi di pulau tersebut. Tangga ini mendapat julukan 'tangga menuju neraka'.
Meskipun hidup di sana terlihat serba ada dan mewah, tetapi penduduknya harus hidup dengan cuaca di tengah laut yang lembap. Udara tersebut bercampur pula dengan asap dari aktivitas tambang. Di bawah pulau tersebut mereka harus hidup berdampingan dengan terowongan sepanjang kilometer tempat pertambangan. Banyak warga yang terkena masalah pernapasan selama tinggal di sana.
Sama seperti kota-kota pertambangan di lokasi lain, kehidupan di Kota Hashima berakhir saat Mitsubishi mengumumkan penutupan lokasi tambang. Seluruh penduduk dievakuasi, tidak boleh lagi menempati pulau tersebut mulai 20 April 1974.
Kemudian, Pulau Hashima diserahkan kepada pemerintah Jepang pada 2001 yakni ke pemerintah daerah kota Takashima dan pemerintah Nagasaki pada 2005.
Saat ini pulau Hashima menjadi pulau tak berpenghuni yang diakui sebagai salah satu situs warisan dunia oleh UNESCO. Namun, pemberian status ini sempat mendapat pertentangan dari Korea Selatan karena banyak pekerja asal Korea Selatan dan China dipaksa bekerja di sana.
(aqi/das)