Jelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo permasalahan mengenai ketersediaan rumah masih tinggi. Angka backlog alias kurang pasok rumah masih tinggi. Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), terakhir pada 2023 jumlah ketimpangan ini mencapai 12,7 juta. Lantas, bagaimana jumlah backlog di akhir masa pemerintah Jokowi?
Sebagai informasi, dilansir dari Kamus Istilah Pengembangan Wilayah yang dikeluarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), backlog rumah adalah kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah yang dibutuhkan rakyat. Singkatnya, backlog rumah berarti krisis kebutuhan akan kepemilikan rumah.
Menurut Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR Iwan Suprijanto, berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) angka backlog di Indonesia menyentuh 9,9 juta. Namun, survei ini dilakukan dengan metode Purposive Random Sampling.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hasil Susenas 2023, backlog 9,9 juta. Tapi itu berdasarkan hasil Survei Purposive Random Sampling dengan keyakinan terbatas. Jadi backlog hanya sebagai indikasi, bukan riil," kata Iwan kepada detikProperti pada Rabu (11/9/2024).
Sementara itu, Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto mengatakan hingga saat ini, belum ada data terbaru mengenai jumlah backlog di Indonesia. Untuk saat ini masih berkiblat dengan data di 2023 yang menyatakan masih ada 12,7 juta rumah tangga yang belum memiliki rumah.
"Di 2023 itu 12,7 juta kembali. Sempat turun ke 9,9 juta awal 2022. (Data backlog 12,7 juta berlaku) sampai ada data baru," kata Joko kepada detikProperti.
Meskipun belum ada jumlah backlog terbaru, menurut Joko angka backlog selama pemerintahan Jokowi mengalami penurunan jika dibandingkan dengan jumlah backlog pada awal pemerintahannya di 2015 lalu, sekitar 13 juta-an.
"Survei dari BPN, 2010 itu 13,5 juta. Survei selanjutnya kan di 2020 itu 12,7 juta. Artinya kalau kita gunakan average (rata-rata) itu maka pada saat Jokowi masuk pun angkanya juga tidak lebih di angka 13 jutaan," ujarnya.
Menurutnya banyak kendala yang membuat angka backlog belum bisa turun drastis.
Pertama, dari penganggaran untuk pengadaan rumah tersebut. Joko menyebutkan untuk pembangunan rumah, pemerintah hanya mengalokasikan 0,6% anggaran APBN untuk perumahan.
Jokowi diketahui memiliki program pembangunan rumah bernama Program Sejuta Rumah. Menurut Kementerian PUPR, Program Sejuta Rumah merupakan program pemerintah untuk menyediakan hunian layak dan terjangkau untuk masyarakat di seluruh Indonesia.
Lewat program ini, Jokowi menyediakan satu juta rumah terjangkau per tahunnya untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Pengadaan rumah ini menggunakan skema FLPP dengan kuota yang menurutnya juga masih kecil. Pada Agustus 2024 lalu, kuotanya hanya 166.000, kemudian dinaikkan menjadi 200.000 kuota.
Pentingnya ada kuota FLPP ini untuk menjamin pengembang perumahan dapat melakukan serah terima properti dan mengamankan bisnis mereka dari kebangkrutan.
Kendala kedua adalah mengenai aturan. Menurutnya untuk menuntaskan angka backlog, lingkungan yang mendukung sangat dibutuhkan. Cara untuk menciptakan lingkungan yang baik untuk perkembangan properti di Indonesia adalah dengan kebijakan, misalnya adanya aturan mengenai kemudahan perizinan pembangunan dan insentif pajak.
Kendala ketiga adalah sektor properti tidak menjadi program stabilisasi nasional. Padahal menurut Joko properti merupakan salah satu sektor yang dapat mendongkrak perekonomian nasional.
"Dengan menjadi program stabilisasi nasional maka environment tadi seperti kebijakan, aturan bisa insya Allah akan ada relaksasi, simplifikasi dan sebagainya. Penganggaran pun sudah pasti disiapkan dengan lebih fokus," jelasnya.
Terakhir, dia menyoroti mengenai Kementerian Perumahan yang menurutnya penting untuk kelancaran penuntasan backlog. Saat ini Kementerian yang menangani perihal perumahan tergabung dalam Kementerian PUPR sehingga masalah perumahan yang kompleks tidak terselesaikan dengan optimal.
"Selama ini kan tidak ada yang bertanggung jawab secara kompleks. Padahal permasalahannya kan begitu kompleks," ungkapnya.
(aqi/aqi)