.webp)
Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) adalah konsumen sasaran rumah subsidi. Mereka membutuhkan rumah dengan harga terjangkau dan cara pembayaran yang mudah. Menanggapi permasalahan ini, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) mengusulkan terbentuknya Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) untuk membantu MBR mendapatkan rumah di bawah Rp 100 juta di pedesaan.
Ketua Umum DPP APERSI, Junaidi Abdillah mendorong terbentuknya BP3 yang dinilai dapat mempermudah penyaluran KPR bagi masyarakat MBR. Dengan demikian program 3 juta rumah dapat berjalan dan mempercepat penurunan angka backlog di Indonesia.
"Rencana APERSI kenapa mendorong BP3 harus berjalan, salah satunya pembiayaan. Pembiayaan ini macam-macam, ada dana pemerintah, dana investasi dari luar juga bisa kalau masuk ke Tapera. Banyak macam jenisnya. Visinya memperkuat penyaluran KPR untuk semua masyarakat khususnya masyarakat MBR," kata Junaidi di Kantor DPP APERSI, Jakarta pada Kamis (19/7/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melansir dari situs BPK, Jumat (19/7/2024), perihal pembentukan BP3 telah tertuang pada PERPRES No. 9 Tahun 2021 yang menyebutkan pendanaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dan fungsi BP3 bersumber dari APBN, Dana Konversi Hunian Berimbang, hasil pengelolaan aset dan pelaksanaan kerja sama pengelolaan, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari sisi APERSI, mereka membuat sebuah skema dengan melibatkan koperasi untuk kawasan pedesaan dan kelurahan. Mereka menilai di pedesaan banyak ditemukan MBR yang terkendala untuk membeli rumah karena pengajuan KPR-nya kerap ditolak bank.
"Di Indonesia ini kan pekerjaanya incomenya non-bankable. Kayak pedagang keliling itu non-bankable karena administrasi dan perizinan, nah ini kan tidak terakomodir perbankan. Konsep ini juga mengacu pada koperasi. Koperasi ini sebagai avalis atau penjamin untuk para masyarakat yang ini (non-bankable)," jelasnya.
Koperasi nantinya hanya bertindak sebagai penjamin. Sementara pembiayaan pembelian rumah dibantu oleh BP3 dengan skema yang ada.
Alasan koperasi diikutsertakan dalam skema ini adalah organisasi ini mempunyai sistem keanggotaan. Mereka bisa menilai kredibilitas anggota yang ingin mengajukan cicilan pembelian rumah. Jika menurut mereka salah satu anggota dapat menyelesaikan cicilan rumah tersebut, penjaminnya adalah koperasi. Setelah mendapat pengakuan dari koperasi, anggota tersebut akan diarahkan oleh BP3 seputar pembiayaan.
"Karena kalau dia non-bankable, maka pemberi dananya akan ragu-ragu. Tapi ketika koperasi bisa menjamin, pembiayaan akan bekerja," ujar Junaidi.
Ketika nanti BP3 dan koperasi dapat bekerja beriringan di tingkat pedesaan, maka program 3 juta rumah dapat berjalan dan pengembang mendapatkan database backlog di Indonesia yang konkret. Pembangunan pun akan merata dari desa ke perkotaan dan manfaat lainnya adalah harga rumah di pedesaan bisa didapat di bawah Rp 100 juta.
"Kan ada masyarakat yang menjadi tanggung jawab pemerintah dengan rumah sosial. Nah di atas rumah sosial dan MBR ini perlu diatasi karena BP3 ini bukan hanya menyasar MBR yang sarat pemerintah lagi. Kalau di desa ini bisa menyediakan rumah di bawah harga Rp 100 juta," tuturnya.
APERSI menargetkan apabila BP3 telah berjalan, mereka bisa membangun 1,8 juta unit rumah per tahunnya dengan dana awal sebesar Rp 80 triliun dari dana konversi atau dana penyertaan awal.
(aqi/zlf)
