Tidak pernah terbersit tumpukan sampah bisa setinggi gedung belasan lantai di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang di Bekasi. Meski begitu, warga sekitar sudah terbiasa dengan pemandangan itu. Bahkan, mereka pun berdamai dengan lalat dan bau menyengat.
Debu dan bau yang terbawa dari truk sampah hingga bau lalat yang berkerumun bukan lagi hal yang bikin warga risih. Itu sudah menjadi teman aktivitas sehari-hari mereka yang mayoritas bekerja sebagai pemulung. Justru karena sampah ini lah, mereka mendapatkan berkah. ini.
Pemukiman di Bantargebang adalah kawasan yang padat penduduk. Akses masuk terdekat ke area ini berjarak sekitar 500 meter dari gunung sampah. Jalan masuknya tidak bisa dilalui mobil, hanya bisa dengan motor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kehidupan warga Bantargebang bisa terlihat dari halaman rumahnya. Banyak rumah yang halamannya penuh dengan tumpukan karung dan sampah yang berceceran. Setiap sudut tumpukan karung ditemui banyak lalat terbang bergerombol. Belum lagi bau dari sampah.
![]() |
"Yah tergantung sih. Kalau masalah bau nggak malem, nggak siang, kalau yang baru dateng (sampah) yah bau. Kalau yang udah biasa, nggak bau," kata Sri kepada detikProperti pada Selasa (16/7/2024).
Rumah Sri berada paling dekat dengan gunung sampah Bantargeban. Di dalam rumahnya ini, Sri membuka toko kelontong dan tempat sortir sampah. Dia mengaku luas rumahnya saat ini 600 meter persegi yang dia beli pada 1999 dengan pinjaman bank Rp 200 juta. Uang itu, dia beli dari hasil menjadi pemulung sampah.
Berkebalikan dengan Sri, rumah warga lainnya yakni Riana justru berbentuk semi permanen dari tripleks, kayu balok, dan atap terpal yang mereka sebut gubuk. Di sekeliling rumahnya, banyak tumpukan karung sampah yang membuat tampilan rumah Riana kumuh. Hidup puluhan tahun di lingkungan seperti itu, membuat Riana kebal terhadap bau.
"Nggak terlalu bau, mungkin sudah terbiasa kali ya," imbuh Riana yang sudah tinggal di Bantar Gebang sejak 1989.
![]() |
Riana bercerita awal tinggal di Bantargebang karena orangtuanya adalah seorang pemulung yang pindah ke daerah ini. Tumbuh besar di sana hingga menikah, Riana akhirnya membeli lahan seluas 150 meter segi untuk rumahnya. Kini lahan tersebut secara tidak langsung sudah menjadi miliknya. Namun, Riana mengaku dia tidak sanggup mengurus balik nama sertifikat karena biaya yang besar.
Kondisi rumah Casimi juga tidak jauh berbeda dengan Riani. Sebab, keduanya tinggal berhadapan di Jalan Lingkar Bambu Desa Ciketing Timur RT 001/RW 05, Bantargebang, Ciketingudik, Bekasi. Casimi adalah pemulung yang setiap harinya menjual karung bekas senilai Rp 10.000. Dia tetap ingin bekerja agar tidak merepotkan anak-anaknya.
"Yang anak-anak kasian, pengen hidup (anak-anak) yang lebih enak," ujar Casimi.
Di luar kondisi rumah mereka dan pekerjaan mereka, ketiganya tidak ambil pusing asalkan setiap hari bisa mendapat pemasukan untuk makan. Sebab, menjadi pemulung kamu harus rajin dan cekatan mencari sampah berharga.
"Tergantung kita, yah lumayan untuk makan satu keluarga sehari, dua hari cukup. Kalau kita males-malesan yah nggak bisa," ungkap Sri.
Air Bersih
Kebutuhan air bersih sama pentingnya seperti kita membutuhkan makanan. Namun memang tidak semua tempat tersedia air bersih. Biasanya kawasan yang kotor dan tercemar sulit mendapatkan air bersih atau jumlahnya terbatas. Beruntungnya kondisi ini tidak dialami oleh warga sekitar Bantargebang. Mereka mengaku tetap mendapat air bersih meski tinggal dekat gunung sampah.
Menurut Ketua RT 001, Jamar rumah-rumah di sekitar Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang menggunakan air tanah yang bersih dan tidak terkontaminasi gunungan sampah yang hanya berjarak 500 meter dari mereka.
"Bersih karena ada artesis (air tanah), jet pump, sumur pump dari pemerintah. Gratis alhamdulillah," kata Jamar kepada detikProperti pada Selasa (17/7/2024).
Bahkan rumah-rumah semi permanen milik pemulung juga mendapat air bersih. Salah satu warga yang tinggal di rumah tersebut, Riana memperlihatkan kondisi air di rumahnya yang bening. Menurutnya selama dia tinggal di sana juga tidak pernah berbau.
"Kalau air bagus, putih, nggak ada bau-baunya. Bau-bau sampah nggak ada. Saya pake jet pump, Sanyo," ujar Riana.
Baca halaman selanjutnya
Juragan Kontrakan Dulang Cuan
Kontrakan di Bantargebang laris manis karena banyak warga luar kota berdatangan untuk memulung di sini. Jauh dari kampung halaman, mereka memerlukan tempat tinggal baru selama bekerja di sana. Pemulung yang biasanya berasal dari ekonomi rendah, tentu tidak bisa membeli tanah atau rumah di Jakarta.
Menurut Jamar harga tanah di Bantargebang bisa mencapai Rp 1,2 meter persegi saat ini. Maka dari itu, salah satu solusinya adalah tinggal di kontrakan meskipun sepetak daripada tidur di jalan.
Kontrakan yang tersedia di Bantargebang pun beragam, ada yang berbentuk rumah permanen dan ada pula yang gubuk.
Jamari sendiri mengelola usaha kontrakan 6 pintu di dekat rumahnya sejak 2017 yang berlokasi di RT 001/RW 05, Bantargebang, Ciketingudik, Bekasi. Pada awalnya kontrakan tersebut milik keluarganya, tetapi dia bisa membeli 5 diantaranya.
"Depan 4, samping 1, oh 6 (total kontrakan), depan 1, misah tapi," sebut Jamar kepada detikProperti pada Selasa (16/7/2024).
Dia menyebut kontrakannya tersebut adalah bangunan dengan konsep lama. Memiliki 3 sekat yakni bagian depan, tengah, dan kamar mandi. Per bulannya dikenakan Rp 500.000 sampai Rp 600.000 saja belum termasuk listrik.
Simak Video "Video: Viral Preman Minta THR ke Perusahaan di Bekasi, Ngaku Jagoan Cikiwul"
[Gambas:Video 20detik]
(aqi/aqi)