Head of Office Leasing Advisory Jones Lang LaSalle (JLL) Indonesia, Angela Wibawa mengatakan gedung bersertifikasi ESG memang menjadi pertimbangan bagi sebagian tenant. Bahkan, pernah ada tenant yang harus pindah gedung untuk memenuhi kriteria tersebut.
Gedung Tersertifikasi
"Kalau kita lihat ke gedung yang tidak di-support oleh green initiative, kemungkinan kita punya sertifikasi itu lebih rendah. Dan itu (sertifikasi ESG) sangat membantu untuk pihak tenant-tenant tersebut," ujar Angela pada media briefing yang dihadiri detikcom, Senin (13/5/2024).
Gedung tersertifikasi ESG tentunya membuat tenant sebagai perusahaan mencapai well-certified. Maka, gedung hijau menjadi kunci untuk menjangkau tenant yang menaruh perhatian pada sertifikasi dan isu keberlanjutan seperti perusahaan multinasional.
Sementara itu, Head of Property & Asset Management JLL Indonesia, Naomi Patadungan menjelaskan bagaimana JLL Indonesia mendukung operasional gedung agar mendapat bersertifikasi ESG. Hal yang diterapkan untuk menunjang kegiatan sustainable lebih pada hal yang langsung dirasakan terhadap tenant.
Hemat Biaya dan Energi
Pertama, dilakukan energy saving program melalui asset enhancement untuk memperbaiki performa sistem AC pada gedung. Dengan performa lebih baik, energi yang digunakan untuk memutar sistem menjadi lebih rendah dan menghemat biaya-biaya energi.
"Kami juga menggunakan recycled water. Jadi kami menggunakan air yang bisa digunakan kembali untuk kehidupan di dalam gedung," kata Naomi.
Air daur ulang berasal dari konsumsi dalam gedung yang kemudian digunakan untuk penyiraman air di toilet, tanaman, hingga air cooling tower. Dengan demikian, penggunaan air dan listrik menjadi lebih rendah.
Hal ini akan memengaruhi biaya operasional atau service charge menjadi lebih baik, sehingga membuat harga rental secara keseluruhannya menjadi lebih baik juga. Naomi menyebut itulah yang sebenarnya diharapkan tenant, maka mereka bisa menurunkan biaya kehidupan di dalam gedung.
Memudahkan Penghuni
Selain itu, JLL Indonesia memasang EV (electric vehicle) charger pada bangunan dengan bekerja sama dengan PLN, terutama di area CBD. Naomi menilai banyak orang sekarang sudah beralih menggunakan public transportation atau menggunakan EV car di kawasan CBD.
"Dengan menggunakan EV car, kita menyediakan namanya EV charging. Ini sangat membantu tenant untuk lebih memilih gedung kita. Karena kebutuhan mereka dapat terpenuhi oleh fasilitas yang ada di dalam gedung," paparnya.
Selanjutnya, gedung juga diusahakan mendapat akses yang mudah menuju transportasi umum. Akses keluar gedung menuju MRT, sehingga tidak perlu berjalan mengitari gedung dan tidak perlu menggunakan mobil.
Gedung hijau menjadi salah satu permintaan tenant international untuk menghasilkan emission atau jejak karbon yang lebih rendah. Naomi mengungkapkan pemilik gedung grade A umumnya sudah menunjukkan minat untuk mendapat sertifikasi ESG.
Di sisi lain, sudah ada pengembang gedung-gedung non-CBD yang sudah mulai ada yang menerapkan inisiatif atas kesadaran mereka sendiri. Namun, proses peralihan gedung tentunya membutuhkan waktu karena harus memasang meteran air dan listrik yang juga membutuhkan investasi tambahan.
Kemudian, Head of Research JLL Indonesia Yunus Karim menambahkan gedung grade A yang dikelola oleh JLL kurang lebih sebesar 46% atau kurang lebih 1,7 juta meter persegi menjalankan inisiatif hijau.
(dhw/dna)