Bali adalah salah satu destinasi wisata di Indonesia yang paling populer di kalangan turis baik lokal maupun mancanegara. Namun, kini Bali disebut-sebut overtourism atau terlalu banyak pengunjung. Lantas, apakah fenomena overtourism ini memiliki dampak pada sektor properti di Bali? Berikut penjelasannya.
Sebelumnya, media asing Channel News Asia menayangkan artikel opini yang mengulas tentang Bali saat ini yaitu 'Not quiet the Bali it used to be? This is what overtourism is doing to the island'. Dalam artikel tersebut menyoroti perubahan yang ada di Bali, seperti pembangunan yang merajalela tanpa tata kota yang baik, kemacetan, hingga kepadatan penduduk ditambah dengan pengunjung.
Walau demikian, Pengamat Perkotaan dan Transportasi, Yayat Supriyatna, mengatakan bahwa Bali belum termasuk dalam kategori overtourism, tapi memang ada beberapa titik favorit wisatawan yang bisa dikatakan demikian. Hal ini karena overtourism dilihat dari daya tampung dan kepadatan daerah tersebut, seperti Nusa Dua, Kuta, dan Sanur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bali itu belum masuk kategori overtourism. Overtourism itu yang harus kita lihat itu tergantung pada daya tampung tempat favorit itu, yang dikatakan memang sudah kelebihan. Nah, sekarang kalau misalnya dikatakan oleh dinas pariwisata bahwa terjadi penumpukan, memang harus diakui. Rata-rata turis Bali itu overtourismnya pada destinasi yang dianggap favorit, seperti di Kuta, Nusa Dua, dan Sanur," ucap Yayat Supriyatna kepada detikProperti, Kamis (9/5/2024).
Adanya overtourism pada beberapa wilayah di Bali ternyata memiliki dampak pada berbagai sektor, salah satunya yaitu sektor properti. Berikut ini dampak overtourism di Bali terhadap sektor properti.
1. Komersialisasi Ruang
Yayat mengatakan bahwa sekarang di Bali telah terjadi komersialisasi ruang. Artinya, ruang-ruang hijau di Bali banyak yang telah dijual untuk kepentingan turis, seperti banyaknya pembangunan penginapan, hotel, dan juga villa. Hal ini sebenarnya harus seimbang dengan daya dukung lingkungan, kalau tidak, alam di bali semakin lama akan semakin tergerus dan hilang
"Jadi sekarang ini yang terjadi komersialisasi ruang. Hampir semua ruang di Bali itu dikomoditaskan untuk kepentingan turis yang sebetulnya harus seimbang dengan daya dukung lingkungan. Karena orang udah ngeliat sawahnya mulai hilang, landscape Balinya udah makin berkurang, penuh dengan tempat-tempat bisnis yang baru. Kemudian pelaku usahanya pun udah bukan orang Indonesia lagi," ungkapnya.
2. Pertumbuhan Penginapan di Bali
Menurut Yayat, dampak dari overtourism ini juga termasuk merusak aspek tata ruang. Banyaknya pembangunan hotel, cottage, dan tempat penginapan baru di Bali bisa mengubah lanskap kota Bali secara drastis. Dari sisi properti, kawasan yang padat turis seperti ini akan membuat permintaan akan penginapan seperti hotel dan vila semakin tinggi. Akan tetapi jika izin pembangunannya longgar dan kurang terkendali, dikhawatirkan akan memperparah kerusakan lingkungan di Bali.
"Terus kedua, bisa juga overtourism itu merusak aspek tata ruang. Contohnya apa? Banyak bangunan-bangunan baru yang memang akhirnya bisa merubah landscape keasilan ruang Bali. Kalau misalnya izin-izin terkait pembangunan perumahan, hotel atau apapun itu tidak ketat, bisa berdampak pada hal ini (perusakan landscape). Jadi kalau sisi properti, bisa saja kan ada demand yang tinggi misalnya untuk terkait untuk homestay untuk hostel atau penginapan untuk pengembangan baru," kata Yayat.
3. Kebutuhan Properti dan Dominasi Modal Asing
Tingginya permintaan properti dari wisatawan membuka peluang bagi bisnis homestay, hostel, dan restoran. Namun, hal ini juga memicu adanya kenaikan harga tanah dan properti yang drastis.
Masyarakat lokal, terutama petani, terdesak untuk menjual tanah mereka demi keuntungan yang lebih besar. Oleh karena itu, kehadiran investor asing di sektor properti Bali menimbulkan kekhawatiran akan dominasi modal asing dan hilangnya kontrol atas aset-aset strategis. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya orang asing yang tinggal di Bali bukan hanya untuk berlibur tapi juga untuk bekerja dan membuka usaha.
"Bagaimanapun di mata wisatawan sekarang di sana bukan wisatawan lagi yang datang, tapi orang yang memang mau cari kerja dan mau buka restoran di Bali. Berarti salah satunya kan sekarang banyak orang asing yang punya penginapan, karena banyaknya gini, tadinya petani dan orang yang punya sawah, tiba-tiba tanahnya dibeli. Mau tidak mau mereka pasti jual karena dibeli juga dengan harga tinggi, otomatis sawahnya hilang," ucap Yayat.
Terakhir, Yayat juga menekankan bahwa tuntutan kebutuhan properti di Bali harus dipertimbangkan dengan matang karena kekuatan Bali terletak pada bentang alamnya. Jadi, semuanya harus seimbang. Kalau tidak, hal ini bisa berdampak kepada masalah lingkungan seperti limbah, sanitasi, dan lainnya.
"Jadi jangan sampai kalau ada tuntutan kebutuhan properti itu harus ingat bahwa Bali itu kekuatannya di lanskap alam. Bentang alamnya, area sawahnya, padinya, perkebunannya, pantainya. Jangan semua disulap menjadi tempat perumahan dan segala dengan mengabaikan sisi keseimbangan. Karena nanti suatu saat kalau overtourism itu bisa berimplikasi kepada masalah apa? Kepada masalah sampah, lingkungan, limbah, sanitasi dan sebagainya," pungkasnya.
(abr/abr)