Dihubungi terpisah, Tim Kuasa Hukum PPKGBK, Kharis Sucipto - Assegaf Hamzah & Partner menjelaskan, HPL yang terbit setelah HGB sebenarnya hanya masalah perbedaan waktu pembebasan lahan dengan waktu pencatatan administrasi sebagai HPL.
Kharis menegaskan bahwa tanah itu sudah berada di bawah penguasaan negara sejak dibebaskan pada tahun 1959.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lahan itu sudah dibebaskan oleh negara dan dibayarkan oleh negara tahun 1959-1962. Surat Keputusan pemberian hak pengelolaan itu terbit pada 15 Agustus 1989, secara hak inkrah," kata Kharis.
Hanya saja, saat itu penerapan HPL belum bisa dilakukan lantaran belum adanya produk undang-undang yang mengatur soal pencatatan hak atas tanah.
"Secara teori itu, jauh sebelum undang-undang agraria terbit, ada aturannya, peraturan pemerintah tahun '50-an kalau tidak salah, yang mengatur bahwa yang peraturan itu menjadi cikal bakal UU Agraria yang mengatur pengelolaan lahan negara yang mengatur bahwa tanah-tanah yang dikuasai oleh negara, tanah-tanah yang dikuasai dan dibiarkan oleh negara, penguasaannya ada pada negara," beber dia.
Perlu diketahui, Undang-undang Pokok Agraria di Indonesia pertama kali diterbitkan pada tahun 1965 yakni Undang-undang Nomor 6 Tahun 1965.
Kharis melanjutkan, pencatatan HPL atas lahan GBK baru dilakukan pada tahun 1989 saat terbitnya Peraturan Kepala Bdan Pertanahan Nomor 3 Tahun 1989.
"Itu secara administrasi terbit tahun 1989. tapi secara yuridis, ketika negara mengganti rugi pembebasan tanah, penguasaan ada pada negara. Jadi itu bukan lagi tanah negara bebas. Itulah kemudian yang menjadi dasar pengadministrasian atau yang kemudian dikonversi menjadi hak pengelolaan. Jadi tinggal pengadministrasiannya saja yang belakangan," jelasnya.
(dna/dna)