Malam Satu Suro: Antara Sakralnya Tradisi dan Mistisnya Imajinasi

Nugraha
|
detikPop
Sesepuh desa menata sesaji saat melakukan Tradisi Malam 1 Suro di lereng Gunung Merapi, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (19/8/2020). Meskipun diadakan dalam suasana sederhana, warga setempat tetap menjalankan tradisi malam 1 Suro atau 1 Muharram 1442 H sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas perlindungan selama hidup di lereng Gunung Merapi. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc.
Sesepuh desa menata sesaji saat Tradisi Malam 1 Suro di lereng Gunung Merapi, Selo, Boyolali, (19/8/2020). Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
Jakarta - Kalau ngomongin malam satu suro, banyak orang Jawa langsung inget suasana sunyi, angin malam yang dingin, dan larangan-larangan tak tertulis yang diwariskan turun-temurun. Sebut saja jangan keluar malam-malam, jangan bikin acara penting dulu, waktu yang wingit, hati-hati!

Padahal, awal mula malam satu suro itu adalah malam tahun baru Jawa, momen sakral yang diciptakan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram. Beliau bukan cuma pemimpin politik, tapi juga tokoh spiritual yang bijak.

Mengutip dari situs Kementerian Agama RI, Bulan Suro dianggap oleh masyarakat suku Jawa sebagai bulan sakral. Peringatan 1 Suro juga bertepatan dengan 1 Muharram yang merupakan Tahun Baru Islam.

Nah, menurut situs Kemendikbud, satu suro adalah awal bulan pertama tahun baru Jawa di bulan suro yang penanggalannya mengacu pada kalender Jawa. Malam satu suro adalah malam pertanda awal bulan pertama dalam kalender Jawa.

Sekitar 1633 Masehi, Sultan Agung menciptakan sistem penanggalan baru, kalender Jawa, yang menggabungkan kalender Islam (Hijriyah) dengan kalender Hindu (Saka). Tujuannya mulia banget, biar rakyatnya bisa bersatu secara spiritual dan budaya.

Tapi seiring waktu, malam ini gak cuma dianggap sakral. Dia juga mulai diliputi aura mistis. Alasannya karena dalam budaya Jawa, bulan suro (atau Muharram dalam Islam) dipercaya sebagai bulan besar, yang penuh energi, baik energi baik maupun energi gaib.

Malam satu suro jadi waktu di mana tabir dunia nyata dan dunia lain terasa lebih tipis. Karena itu, banyak orang memilih berdiam diri, tirakat, atau gak melakukan aktivitas penting.

Nah, aura inilah yang akhirnya bikin malam satu suro identik dengan hal-hal gaib, sampai akhirnya jadi inspirasi dalam dunia seni dan hiburan, termasuk film horor.

Masuklah ke tahun 1988, dan muncullah film yang sampai sekarang masih melekat di ingatan banyak orang, Malam Satu Suro, dibintangi Suzanna, aktris yang dikenal dengan karakter horor legendaris seperti sundel bolong, arwah penasaran, dan wanita sakti.

Di film ini, Suzanna berperan sebagai Suketi, seorang wanita cantik yang ternyata, kuntilanak! Tapi beda dari kuntilanak kebanyakan, Suketi sebenarnya ingin hidup sebagai manusia biasa.

Dia dinikahi oleh lelaki bernama Bardo dengan ritual yang mengembalikan wujud manusianya. Tapi ketenangan mereka gak berlangsung lama. Ada tokoh-tokoh jahat yang ingin mengembalikan Suketi ke wujud asalnya. Puncak kisah horornya, tentu saja terjadi di malam yang dikenal angker itu, malam satu suro.

Film ini memperkuat citra malam satu suro sebagai malam yang angker, berbau klenik, dan penuh misteri. Padahal, di budaya aslinya malam ini lebih kepada malam spiritual, bukan sekadar malam hantu gentayangan.

Budaya pop kadang membentuk persepsi baru. Mungkin juga jadi sebuah kebetulan, sejak film itu populer, banyak orang makin menganggap malam satu suro sebagai malam penuh gangguan gaib. Bahkan, Malam Satu Suro masih sering tayang setiap tahun di televisi, saat masuk bulan suro. Malah ikut jadi semacam tradisi horor tahunan juga.

Di satu sisi, sakral dan spiritual, dalam budaya Jawa, malam ini waktu terbaik untuk merenung, melakukan laku tirakat, dan menyucikan diri. Di sisi lain, mistis dan misterius berkat perpaduan cerita rakyat, kepercayaan spiritual, dan film-film horor, terutama yang dibintangi Suzanna.

Jadi, kalau kamu bertanya kenapa malam satu suro begitu dekat dengan nuansa mistis, jawabannya karena percampuran antara tradisi spiritual Jawa dengan imajinasi populer, terutama lewat film.

Film Suzanna itu punya peran besar dalam membentuk bayangan kolektif kita tentang malam yang satu ini. Makanya, nanti kalau kamu merasa bulu kuduk merinding tanpa alasan, mungkin bukan karena kuntilanak, tapi karena energi budaya yang masih hidup dalam ingatan.


(nu2/ash)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO