Apa Itu Malam 1 Suro? Simak Berbagai Pantangannya

Apa Itu Malam 1 Suro? Simak Berbagai Pantangannya

Mira Rachmalia - detikJatim
Minggu, 08 Jun 2025 03:00 WIB
Kalender Jawa Juni 2025.
Kalender Jawa. Apa Itu Malam 1 Suro? Foto: Angely Rahma/detikJatim
Surabaya -

Malam 1 Suro adalah salah satu malam yang paling sakral dan penuh makna bagi masyarakat Jawa. Tradisi ini tidak hanya terkait dengan penanggalan Jawa, tetapi juga erat kaitannya dengan nilai-nilai spiritual dan budaya yang telah diwariskan turun-temurun.

Dalam masyarakat Jawa, malam 1 Suro bukan sekadar pergantian tahun, melainkan momentum penting untuk refleksi dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. detikJatim merangkum apa itu malam 1 suro, berikut sejarah dan larangan-larangan pada malam ini. Simak penjelasannya.

Apa Itu Malam Satu Suro?

Secara etimologis, istilah "Suro" berasal dari kata Arab 'Asyura', yang berarti tanggal 10 Muharam. Namun, dalam konteks budaya Jawa, "Suro" merujuk pada bulan pertama dalam kalender Jawa, yang penamaannya diambil dari bulan Muharam dalam kalender Hijriah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1 Suro menandai awal tahun baru Jawa, sementara menurut Kementerian Agama RI, peringatan ini juga bertepatan dengan 1 Muharam, tahun baru Islam. Jadi, malam 1 Suro memiliki dimensi ganda, sebagai momentum spiritual dan kebudayaan yang mempersatukan unsur Islam dan adat Jawa.

Dalam tradisi Jawa, malam ini dipercaya sebagai saat yang tepat untuk introspeksi diri, menjauh dari hiruk-pikuk dunia, serta mendekatkan diri kepada Tuhan. Banyak masyarakat Jawa melakukan tirakat, yaitu laku spiritual seperti berpuasa, berjaga semalaman (melek), tapa bisu (tidak berbicara), dan meditasi untuk menyucikan jiwa.

ADVERTISEMENT

Sejarah Malam 1 Suro dalam Kalender Jawa

Kalender Jawa diciptakan Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Kesultanan Mataram, pada tahun 1633 M (1555 Saka). Ia menyatukan penanggalan Hijriah (Islam), Masehi, dan Saka (Hindu) untuk menciptakan sistem kalender yang bisa diterima berbagai lapisan masyarakat Jawa saat itu.

Sultan Agung ingin memperkenalkan nilai-nilai Islam melalui pendekatan budaya lokal. Ia menetapkan Jumat Legi, bulan Jumadil Akhir tahun 1555 Saka sebagai permulaan kalender Jawa baru, yang bertepatan dengan 1 Muharam dalam kalender Hijriah. Sejak saat itu, 1 Suro menjadi awal tahun dalam kalender Jawa.

Lebih dari sekadar penanggalan, malam 1 Suro dijadikan momen pemersatu antara kelompok santri dan abangan, serta menjadi saat penting untuk melakukan pengajian, ziarah makam leluhur, dan haul. Sejak masa itu, malam 1 Suro dianggap keramat dan dijaga penuh kehormatan.

Larangan dan Pantangan Malam 1 Suro

Karena diyakini sebagai malam sakral dan penuh energi spiritual, masyarakat Jawa meyakini sejumlah larangan yang harus dipatuhi agar terhindar dari kesialan atau gangguan makhluk gaib. Kepercayaan ini telah mengakar kuat di berbagai daerah Jawa hingga kini. Berikut beberapa larangan pada malam 1 Suro.

1. Tidak Menggelar Hajatan

Melangsungkan pernikahan atau hajatan besar pada bulan Suro dianggap pamali (pantangan). Masyarakat percaya bahwa hanya kalangan kerajaan atau sultan yang diperbolehkan mengadakan acara pada waktu ini. Hajatan di luar itu diyakini bisa mendatangkan bencana atau kesialan.

2. Tidak Keluar Rumah

Malam 1 Suro dipercaya sebagai waktu berkumpulnya makhluk halus. Karena itu, masyarakat memilih untuk berdiam diri di rumah guna menghindari hal-hal negatif yang mungkin terjadi di luar.

3. Tidak Pindahan atau Membangun Rumah

Pindah rumah atau memulai pembangunan rumah baru pada malam 1 Suro dianggap membawa nasib buruk. Oleh sebab itu, kegiatan semacam ini biasanya ditunda hingga bulan berikutnya.

4. Menjaga Ucapan, Tidak Berkata Kasar

Berbicara sembarangan, berkata kotor, atau menyebarkan kebencian sangat dihindari. Hal ini karena diyakini apa yang diucapkan bisa menjadi kenyataan, terutama karena keberadaan makhluk gaib yang konon lebih aktif pada malam ini.

5. Tidak Boleh Berisik atau Banyak Bicara

Dalam beberapa daerah seperti Yogyakarta, masyarakat melaksanakan ritual tapa bisu, yaitu laku diam tanpa berbicara sepanjang malam. Mereka juga mengikuti prosesi Mubeng Beteng, yaitu berjalan kaki mengelilingi benteng keraton sambil diam dan merenung.

6. Tradisi dan Ritual Malam 1 Suro

Malam 1 Suro dirayakan dengan berbagai ritual budaya dan spiritual. Di Keraton Yogyakarta, misalnya, digelar prosesi kirab pusaka dan ritual Mubeng Beteng sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan refleksi spiritual. Di berbagai daerah lainnya, masyarakat juga melakukan tirakat pribadi seperti puasa mutih, membaca wirid, dan menyendiri untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ritual-ritual ini bukanlah sekadar warisan budaya, tetapi juga sarana untuk memperkuat spiritualitas, mengendalikan diri, dan menjaga harmoni antara manusia dengan alam semesta.

Demikian detikers penjelasan tentang malam 1 suro. Semoga bermanfaat.




(ihc/irb)


Hide Ads