Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) kembali bereaksi usai musisi Candra Darusman sepakati satu hal yang berurusan soal royalti.
Yup, pada acara Indonesia Music Summit 2025, Candra Darusman sempat hadir dan sepakat soal pembayaran royalti diawal suatu acara. Tapi gak langsung semuanya nih karena dianggap memberatkan promotor.
"Memang betul bahwa kita tidak bisa membebankan semuanya di depan kepada promotor. Itu tidak fair," ujar Candra Darusman, di Indonesia Music Summit, Kamis (20/11/2025).
"Makanya dalam praktik di luar negeri itu, promotor cukup membayar 20 persen atau 30 persen dari kapasitas tempat, sisanya adalah pada saat terakhir pertunjukan. Kalau kurang, top up, kalau kelebihan, di kembalikan," sambungnya.
Menanggapi hal ini, AKSI sebagai wadah yang menaungi para komposer atau pencipta lagu kurang sepakat.
Seperti Ari Bias, salah satu anggota AKSI yang menyampaikan ketidaksepakatannya ke detikcom, Sabtu (22/11/2025).
"Kami dari AKSI mendorong Baleg DPR RI untuk merumuskan mekanisme izin dan pembayaran royalti harus sudah dilakukan sebelum konser. Sejalan dengan semangat dan rekomendasi dari Wakil Ketua DPR RI Bapak Ahmad Sufmi Dasco dalam rapat konsultasi stakeholder ekosistem musik di Komisi XIII di DPR RI tanggal 21 Agustus 2025 yang dalam kesimpulannya mengatakan pembayaran royalti harus dilakukan sebelum konser," papar Ari Bias dalam pesan singkatnya.
Gak cuma itu aja guys, Ari Bias mewakili AKSI juga menjelaskan mekanisme pembayaran royalti menurut pandangan mereka yang adil bagi pencipta lagu.
Berikut hal-hal yang mendasari ketidaksepakatan AKSI dengan pembahasan pembayaran royalti beberapa persen di awal sebuah konser.
1. Mekanisme izin/lisensi sebelum pertunjukan (ex ante) merupakan kebutuhan mendasar bagi Pencipta. Tanpa mekanisme ini, tidak ada kepastian bahwa penggunaan ciptaan dilakukan secara sah.
2. Argumen bahwa mekanisme sebelum pertunjukan "memberatkan promotor" tidak dapat dijadikan standar obyektifitas, karena pada saat yang sama mekanisme setelah pertunjukan (ex post) merugikan Pencipta. Ketidakpatuhan dan keterlambatan pembayaran lebih merusak ekosistem industri musik.
3. Jika izin keramaian, venue, dan seluruh biaya produksi dapat dibayarkan sebelum acara, maka tidak logis jika royalti dianggap membebani. Konser menjual dua hal: penyanyi dan lagu; keduanya harus dihormati secara setara.
4. Tidak adil jika Pencipta ikut menanggung risiko keuntungan dan kerugian dari penjualan tiket. Pencipta bukan promotor maupun sponsor, namun dalam sistem berbasis tiket, Pencipta dipaksa menanggung risiko tersebut tanpa keterlibatan apa pun.
5. Seluruh pihak lain dalam industri konser dibayar di muka (penyanyi, penyewa sound system, lighting, venue, dll) tidak ada yang dibayar berdasarkan hasil penjualan tiket. Jika model berbasis tiket dianggap adil, maka semestinya seluruh pihak dibayar dengan cara yang sama; faktanya tidak ada yang menyetujuinya.
6. Pencipta bukan "tidak bekerja". Kekayaan Intelektual adalah fondasi awal dari industri musik. Kerja kreatif Pencipta merupakan pekerjaan pertama dan utama, jauh sebelum seluruh rangkaian kegiatan komersial berlangsung.
7. Dengan karakter venue Indonesia yang sangat beragam serta banyaknya promotor yang lalai, mekanisme pasca-pertunjukan tidak mungkin efektif. Sistem secanggih apa pun tidak akan mampu menegakkan pembayaran royalti jika izin penggunaan tidak diwajibkan sebelum acara berlangsung.
8. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan terobosan regulasi yang sesuai dengan realita budaya, geografi, dan demografi lokal, bukan sekadar mengadopsi aturan dari luar negeri. Dalam kondisi law enforcement yang selama ini lemah dalam penegakan royalti, tanpa perubahan mekanisme ke model ex ante licensing, royalti konser akan tetap mandul, sulit ditagih, dan Pencipta akan terus dirugikan.
Simak Video "Video: Transparansi LMK-LMKN Disorot Saat Rapat Baleg DPR dengan AKSI-VISI"
(pig/ass)