5 Fakta VISI dan AKSI Perjuangkan Keadilan Royalti di DPR
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Selasa (11/11/2025), Vibrasi Suara Indonesia (VISI) dan Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) akhirnya menyatukan suara.
Pertemuan yang digelar di Kompleks Parlemen Senayan ini dihadiri nama-nama besar seperti Ariel NOAH, Armand Maulana, Fadly Padi, dan Vina Panduwinata dari kubu VISI, serta Piyu Padi Reborn dan Ari Bias dari AKSI. Momen ini terasa bersejarah, karena mereka sama-sama membawa semangat untuk memperjuangkan keadilan dan transparansi bagi pelaku industri musik Tanah Air.
Meski sebelumnya berada di posisi yang berseberangan, pencipta lagu dengan penyanyi, kedua pihak akhirnya menyadari perjuangan mereka punya tujuan yang sama: menciptakan ekosistem musik yang sehat dan berpihak pada seniman.
Baca juga: Hal yang Disepakati Bersama VISI dan AKSI |
Gak cuma soal siapa yang harus bayar royalti, tapi bagaimana sistemnya bisa lebih modern, digital, dan gak ribet.
Dari pertemuan ini, muncul beberapa poin penting yang disepakati bareng, mulai dari digitalisasi sistem royalti, pembenahan LMK-LMKN, hingga penegasan penyelenggara acara, bukan penyanyi, yang wajib membayar performance rights.
Yuk, kita bahas satu-satu poin penting dari pertemuan ini.
1. Momen Krusial AKSI
Perwakilan AKSI, Piyu (Padi Reborn), menyebut RDPU ini sebagai langkah penting untuk memperjuangkan hak para pencipta lagu di hadapan DPR.
"Hari ini adalah salah satu momen paling krusial dalam perjuangan AKSI," ujar Piyu.
Menurutnya, masih banyak aturan hak cipta yang salah sasaran, hingga banyak pencipta lagu belum sejahtera.
"Banyak implementasi yang salah sasaran. Akibatnya, banyak pencipta lagu belum sejahtera dan belum mendapatkan keadilan."
Piyu menegaskan perjuangan AKSI bukan untuk individu, tapi demi kepentingan seluruh pencipta lagu di Indonesia.
"AKSI berjuang untuk para pencipta lagu, karena ini amanat Undang-Undang Hak Cipta dan UUD 1945."
2. VISI Bela Hak Penyanyi dari Ketidakpastian Hukum
Sementara dari VISI, Ariel NOAH menegaskan organisasinya berfokus melindungi hak para penyanyi yang sering menghadapi ketidakpastian hukum.
"Kalau dari VISI, kami mewakili penyanyi. Walaupun saya juga pencipta lagu, tapi kami di sini sedang membela haknya penyanyi," jelas Ariel.
Ia mencontohkan kasus penyanyi legendaris yang justru disomasi karena menyanyikan lagu sendiri.
"Dua minggu lalu ada penyanyi legendaris disomasi karena nyanyiin lagu sendiri. Ini yang kami perjuangkan, terutama bagi penyanyi di daerah yang tidak punya perlindungan."
Namun Ariel juga mengapresiasi pernyataan AKSI yang menegaskan bahwa penyanyi tidak wajib membayar royalti saat tampil di panggung.
"Kami senang karena dari AKSI sudah ada pernyataan bahwa bukan penyanyi yang harus membayar ketika menyanyikan lagu. Ini langkah maju."
3. Kompak Dorong Digitalisasi Sistem Royalti
Untuk menciptakan transparansi, kedua organisasi sepakat mendorong digitalisasi sistem royalti musik.
Piyu menyebut sistem manual saat ini sudah ketinggalan zaman.
"Selama ini LMK dan LMKN belum digital, masih manual dan harus datang langsung ke tempat acara. Ini yang perlu diubah."
Sementara Ariel menambahkan pembenahan LMK dan LMKN adalah kunci agar royalti bisa tersalurkan dengan adil.
"Kita sama-sama ingin digitalisasi. LMK dan LMKN harus diperbaiki agar siapa yang menerima royalti dan jumlahnya bisa terlihat jelas."
4. Royalti Performance Right Bukan Tanggung Jawab Penyanyi
Keduanya sepakat penyelenggara acara, bukan penyanyi, yang wajib membayar royalti performance right.
"Kami senang karena ada pernyataan langsung dari AKSI bahwa bukan penyanyi yang harus bayar royalti untuk performance rights," ujar Ariel.
Piyu pun membenarkan hal itu dan menegaskan bahwa mekanisme ini sudah diatur dalam Permenkumham Nomor 27 Tahun 2025.
"Kita sepakat, memang dari dulu seperti itu. Tapi karena kurangnya transparansi dari penyelenggara ke LMK, pencipta jadi seolah tak boleh menagih. Itu yang perlu diperbaiki."
5. Masa Transisi dan Harapan Baru untuk LMKN
Anggota AKSI, Ari Bias, menjelaskan industri musik sedang berada di masa transisi pasca-moratorium dari Kementerian Hukum dan HAM.
"LMKN sudah menyiapkan platform digital untuk pendaftaran lisensi dan pembayaran royalti pertunjukan musik."
Ia berharap sistem digital ini bisa membawa perubahan nyata.
"Kita lihat nanti hasilnya seperti apa. Saya masih memantau apakah kinerjanya akan benar-benar efektif."
(dar/dar)











































