Konferensi Musik Indonesia 2025 hari ketiga menghadirkan sesi diskusi bertajuk 'Musik Religi dan Serba-Serbi Potensinya'. Diskusi ini menyoroti pentingnya menjadikan musik religi bukan sekadar produk, melainkan sebagai pilar spiritual dan budaya dalam industri musik nasional.
Diskusi diawali dengan paparan mengenai refleksi mendalam tentang posisi strategis musik rohani dalam lanskap budaya dan industri kreatif Indonesia. Hal ini disampaikan oleh musisi sekaligus rohaniwan Sidney Mohede.
Sidney menegaskan musik rohani berperan sebagai jembatan yang menghubungkan spiritualitas dengan realitas.
"Musik religi bukan hanya tentang nada dan lirik, tetapi tentang pesan spiritual yang mampu menembus hati manusia," ujar Sidney, dalam keterangan tertulis, Sabtu (11/10/2025).
Lebih lanjut, penyanyi religi Sulis, yang dikenal luas melalui karya-karya spiritual bersama grup Cinta Rasul, turut mengangkat pentingnya musik sebagai media ekspresi universal yang mampu menyatukan keberagaman budaya dan agama di Indonesia.
Sulis menegaskan Indonesia menjadi satu-satunya negara dengan ekosistem musik religi yang sangat inklusif, memungkinkan lintas agama dan budaya tampil bersama dalam satu panggung.
"Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat beruntung karena memiliki masyarakat yang heterogen dan toleran sehingga prinsip Pancasila menjadi fondasi kuat untuk menerima perbedaan dalam ekspresi seni, termasuk musik religi," ucap Sulis.
Dalam sesi lanjutan, aktivis pelayanan musik rohani Alberd Tanoni menyampaikan gagasan tentang pentingnya peran musik rohani dalam menciptakan dampak positif yang nyata di tengah masyarakat. Ia membagikan kerangka pemikiran berbasis 'IMPACT' sebagai prinsip dasar bagi para pelaku musik rohani dan konten spiritual.
Selanjutnya, Pascal Lesmana dari Langit Musik menyoroti meskipun musik religi sering dianggap sebagai ekspresi ibadah dan spiritualitas pribadi, musik tersebut memiliki potensi industri yang belum tergarap maksimal.
"Banyak yang mengira kalau musik religi tidak menghasilkan uang. Padahal, kalau dikelola dengan benar, ini bisa menjadi sumber ekonomi yang berkelanjutan baik bagi musisinya, label, bahkan daerah asalnya," ujar Pascal.
Pascal menjelaskan pihaknya melalui Langit Musik, mendorong agar lagu-lagu religi tidak hanya diputar saat momen keagamaan atau perayaan musiman saja. Ia ingin musik religi bisa hidup sepanjang tahun dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari.
Pascal juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam distribusi royalti dan pemutaran lagu-lagu di ruang publik.
Untuk itu, PlayUp Langit Musik membangun platform dan sistem yang mendukung model ekonomi berbagi (sharing economy), dengan skema pembagian pendapatan dari iklan audio kepada pemilik konten.
Sementara itu, Perwakilan Langit Musik Rizqi Angga menyampaikan berbagai data, wawasan, dan strategi terkait masa depan distribusi musik religi, khususnya dari sudut pandang teknologi dan transformasi industri digital.
"Dari 100% katalog musik yang ada, hanya sekitar 29,6% konten religi yang didistribusikan ulang melalui layanan streaming. Ini menunjukkan bahwa musik religi masih sangat kecil kontribusinya di ekosistem digital, meskipun potensinya besar," ujar Angga.
Mengakhiri sesi diskusi, Angga mengajak seluruh ekosistem dari musisi, label, platform, hingga komunitas untuk tidak lagi menganggap musik religi sebagai konten musiman.
"Konten religi jangan hanya tampil di bulan puasa atau Natal. Harus ada karya yang bisa hidup lama, awet, dan membangun relasi spiritual secara berkelanjutan," kata Angga.
"Kita siap berkolaborasi," sambungnya.
Kementerian Kebudayaan RI terus mendorong ekosistem musik, termasuk musik religi yang juga merupakan salah satu kekayaan musik Tanah Air. Musik religi tidak hanya menjadi jembatan kerohanian, tetapi juga menjadi perekat bangsa sebagai bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
(akd/akd)