Acil Bimbo atau Raden Darmawan Drajat Hardakusumah, bukan sekadar musisi legendaris. Bersama saudara-saudaranya dalam grup Bimbo, ia menghadirkan lagu-lagu religi yang membekas di hati masyarakat Indonesia.
Suaranya yang khas dan harmonisasi Bimbo menjadikan karya seperti "Tuhan", "Sajadah Panjang", dan "Rindu Kami Padamu" sebagai lagu wajib setiap Ramadan, sekaligus pengingat bahwa musik bisa menjadi jalan untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Kini, meski Acil telah berpulang, warisan musiknya tetap hidup dan terus mengalun lintas generasi. Lebih dari sekadar hiburan, lagu-lagu Bimbo adalah cermin ketulusan dan spiritualitas yang jarang ditemui di dunia musik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sosok Acil pun dikenang bukan hanya sebagai penyanyi, tetapi juga sebagai teladan bahwa seni dapat menjadi sarana dakwah yang lembut dan abadi. Yuk, simak biografi singkat dan perjalanan musik Acil Bimbo.
Biografi Acil Bimbo
Acil Bimbo, sosok yang lahir dan besar di Bandung, adalah salah satu pilar musisi legendaris Indonesia. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan musik berkat lingkungan keluarga yang kental dengan nuansa seni.
Lahir sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara pasangan Raden Dajat Hadjakusumah dan Uken Kenran, Acil dikenal memiliki pribadi yang rendah hati, sederhana, dan penuh semangat dalam berkarya.
Bersama kedua saudaranya, Sam dan Jaka, Acil membentuk Trio Los Bimbos pada akhir tahun 1966. Kelompok musik ini awalnya membawakan lagu-lagu pop yang populer di masanya, sebelum akhirnya menemukan identitas unik mereka yang kuat.
Di balik ketenarannya, Acil tidak pernah melupakan pentingnya pendidikan. Ia berhasil menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada 1974, bahkan melanjutkan ke jenjang kenotariatan hingga meraih gelar pada 1994.
Kehidupan pribadi Acil pun harmonis. Ia menikah dengan Ernawati dan dikaruniai anak-anak serta cucu, termasuk dua cucu yang dikenal luas pernah bergabung di JKT48, Hasyakyla Utami dan Adhisty Zara.
Ketekunan dan pencarian artistik mereka membuat Bimbo dikenal memiliki ciri khas yang tak tertandingi. Dalam bermusik, Acil memandang seni bukan sekadar hiburan, melainkan sarana merenung dan mendekat pada Sang Pencipta. Pandangan inilah yang mewarnai setiap karya Bimbo dan tercermin dalam kehidupan Acil.
Selain sebagai musisi, Acil juga dikenal sebagai pegiat sosial dan lingkungan. Pada tahun 2000, ia mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat Bandung Spirit yang bergerak di bidang sosial dan kebudayaan.
Kepeduliannya terhadap lingkungan terlihat jelas dari kiprahnya dalam pemulihan Sungai Citarum, serta konsistensinya dalam mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga alam. Bersama Bimbo, ia bahkan mengabadikan isu lingkungan lewat lagu-lagu bertema Sungai Ciliwung, Harimau Jawa, dan Cenderawasih.
Di balik popularitasnya, Acil tetap menjaga akar budaya Sunda yang membentuk kepribadiannya. Ia aktif dalam berbagai kegiatan seni dan sosial di tanah kelahirannya, seolah menegaskan bahwa seorang seniman tidak boleh tercerabut dari nilai-nilai tradisi.
Bagi Acil, seni adalah sarana untuk memperkuat jati diri dan memberikan makna bagi masyarakat luas. Kehidupannya menunjukkan konsistensi yang luar biasa, apa yang ia nyanyikan di panggung tercermin pula dalam kesehariannya.
Kejujuran dan kedalaman pesannya membuat Acil Bimbo dicintai, tidak hanya oleh para penggemar musik, tetapi juga oleh mereka yang merasakan ketulusan dalam setiap karyanya. Ia dikenang sebagai penjaga moral dan spiritual yang karyanya akan terus menginspirasi banyak generasi.
Musik Religi Bimbo
Dalam Jurnal UIN Jakarta berjudul Dimensi Tasawuf dalam Musik Religi Bimbo, 1974-1980: Sebuah Kajian Sejarah, yang ditulis Yuda Adipradana, pada aawal kariernya, Bimbo mengusung aliran pop Latin dengan membawakan lagu-lagu populer, termasuk karya Tony Koeswoyo.
Popularitas mereka semakin meningkat setelah tampil di berbagai panggung, hingga melakukan rekaman di Singapura pada 1970 bersama perusahaan Polydor. Kehadiran anggota baru, Iin Hardjakusumah, memperkuat formasi Bimbo dan memperkaya karya mereka dengan lagu-lagu jenaka maupun kehidupan sehari-hari.
Karya-karya seperti "Tuhan", "Sajadah Panjang", "Rindu Kami Padamu", dan "Ada Anak Bertanya pada Bapaknya" menjadi lagu wajib setiap bulan Ramadan. Suaranya yang khas, berpadu harmoni dengan Sam dan Jaka, menciptakan nuansa syahdu yang sulit tergantikan.
Lagu-lagu itu tak hanya diputar di televisi dan radio, tapi juga menjadi bagian dari suasana batin keluarga Indonesia. Bagi Acil, musik religi bukan sekadar tren. Ia melihatnya sebagai medium dakwah yang halus, cara untuk menyentuh hati manusia tanpa menggurui.
Selain menyanyikan lagu-lagu religi, Bimbo juga kerap mengangkat isu sosial dalam karya mereka. Syair-syairnya menggambarkan keresahan, doa, dan harapan bangsa. Perpaduan antara dimensi spiritual dan kemanusiaan inilah yang membuat musik Bimbo lintas waktu, tetap relevan meski zaman berganti.
Meski Acil Bimbo telah berpulang, warisan musik yang ia tinggalkan bersama saudara-saudaranya tetap hidup. Lagu-lagu religi Bimbo terus diputar, mengisi ruang doa, menemani keluarga, dan mengingatkan masyarakat bahwa seni dapat menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhannya.
Warisan itu adalah hadiah bagi bangsa: bukti bahwa musik yang lahir dari ketulusan akan selalu menemukan jalannya untuk abadi. Nama Acil Bimbo akan senantiasa dikenang, bukan hanya sebagai musisi, tetapi juga sebagai simbol bahwa seni dan spiritualitas dapat berpadu indah dalam harmoni.
Artikel ini ditulis Fadya Majida Az-Zahra, mahasiswa magang PRIMA Kemenag.
(auh/irb)