Santosh, Potret Brutal Polisi dan Islamophobia yang Dicekal

Asep Syaifullah
|
detikPop
Cuplikan adegan dalam film Santosh.
Santosh. Dok. Ist
Jakarta - Sutradara Sandya Shuri membuat kejutan lewat karyanya Santosh yang mendapatkan pujian di Cannes. Film ini juga ramai diperbincangkan bahkan digadang masuk Oscar untuk kategori International Features, hingga BAFTA.

Namun prestasi itu justru berbanding terbalik dengan respons negara asalnya, India. Lembaga sensor film di sana malah melakukan pencekalan terhadap film garapan sineas Inggris-India itu.

Lalu apa sebenarnya yang dikisahkan oleh Sandya di dalam film Santosh?

Santosh berkisah tentang perjuangan seorang janda yang menjadi polisi untuk menginvestigasi pembunuhan seorang gadis muda.

Film ini adalah gambaran fiksi yang tak tergoyahkan dari unsur-unsur yang lebih suram dari kepolisian India. Di dalamnya ada gambaran kebencian terhadap wanita yang mengakar, diskriminasi terhadap kaum Dalit - kasta terendah di India yang sebelumnya dikenal sebagai kaum tak tersentuh - dan normalisasi penganiayaan dan penyiksaan oleh petugas polisi.

Santosh juga menampilkan isu kekerasan seksual di India, khususnya terhadap wanita dari kasta rendah. Termasuk gelombang prasangka Islamophobia yang meningkat di negara tersebut.

Film ini dibuat di India, diperankan seluruhnya oleh aktor dan aktris India dan semuanya berbahasa Hindi, bahasa dominan di India utara. Para pembuat film sebelumnya telah menyerahkan naskah untuk difilmkan di India dan tidak menghadapi masalah apa pun. Jaringan bioskop terbesar di India juga turut serta untuk mendistribusikan film tersebut pada Januari.

Cuplikan adegan dalam film Santosh.Cuplikan adegan dalam film Santosh. Foto: Dok. Ist

Namun, penonton India kemungkinan tidak akan pernah dapat menontonnya di bioskop. Soalnya, sensor di Badan Sertifikasi Film Pusat (CBFC), badan pemerintah yang menyetujui semua perilisan film, menolak untuk mengerjakan film Santosh karena kekhawatiran tentang penggambaran negatifnya terhadap polisi.

Sandya yang menjabat sebagai penulis dan sutradara film tersebut, menggambarkan keputusan sensor tersebut sebagai hal yang mengecewakan dan memilukan.

"Hal itu mengejutkan bagi kami semua karena saya tidak merasa bahwa isu-isu ini merupakan hal baru dalam sinema India atau belum pernah diangkat sebelumnya oleh film-film lain," katanya dilansir dari Guardian.

Sandya Shuri mengatakan bahwa sensor menuntut daftar pemotongan radikal yang sangat panjang dan luas sehingga mustahil untuk dilaksanakan.

Pembatasan hukum mencegahnya untuk membagikan rincian pasti dari tuntutan sensor. Tetapi ia mengatakan bahwa daftar pemotongan tersebut sangat panjang hingga mencapai beberapa halaman. Sensor mencakup kekhawatiran tentang tema-tema yang berkaitan dengan perilaku polisi dan masalah-masalah sosial yang lebih luas yang tertanam dalam film tersebut.

"Sangat penting bagi saya bahwa film ini dirilis di India, jadi saya mencoba mencari tahu apakah ada cara agar film ini berhasil," kata Suri.

"Namun pada akhirnya, terlalu sulit untuk melakukan pemotongan tersebut dan membuat film yang masih masuk akal, apalagi tetap setia pada visinya."

Meskipun film ini menawarkan penggambaran polisi yang tanpa kompromi, Sandya Shuri menegaskan "tidak merasa film saya mengagungkan kekerasan seperti yang dilakukan banyak film lain yang berfokus pada polisi. Tidak ada yang sensasional tentang film ini."

Keputusan badan sensor ini muncul pada saat lingkungan budaya India terlihat lebih diawasi daripada sebelumnya. Hal ini terlihat dari film dan serial TV dengan tema-tema sensitif politik, yang sering menjadi sasaran kampanye kebencian dan kasus-kasus polisi, dihentikan oleh platform streaming sebelum dirilis.


(ass/aay)


TAGS


BERITA TERKAIT

Selengkapnya


BERITA DETIKCOM LAINNYA


Belum ada komentar.
Jadilah yang pertama berkomentar di sini

TRENDING NOW

SHOW MORE

PHOTO

VIDEO