Dunia Bikin Musik Mengalun di Kepala, Kita Bikin Sound Horeg

Nah, sebelum masuk ke era mono yang kita kenal sekarang sebagai suara jadul, kita mundur dulu ke akhir 1800-an. Waktu itu, orang-orang baru nemu cara buat merekam suara.
Bayangin aja, pada 1877, Thomas Edison bikin fonograf, alat pertama yang bisa merekam dan memutar suara. Suaranya masih kasar banget, dan tentunya belum ada istilah mono atau stereo, tapi yang penting bisa kedengeran ulang aja udah ajaib.
Barulah di 1920-an, teknologi rekaman berkembang jadi mono. Semua suara direkam dan diputar lewat satu jalur aja. Satu speaker, satu arah, semua suara ditumpuk jadi satu.
Mau itu vokal, gitar, drum, semua keluar dari lubang yang sama. Waktu itu sih udah keren banget, apalagi buat radio dan rekaman piringan hitam.
Tapi manusia kan gak puas-puas. Masuk ke 1950-an, mulailah dikenal istilah stereo. Nah ini baru terasa ada bedanya, suara dibagi dua jalur kiri dan kanan.
Vokal bisa tetap di tengah, gitar bisa nemplok di kiri, dan drum bisa muter ke kanan. Rasanya jadi lebih hidup, kayak kita lagi duduk di depan panggung beneran. Sejak saat itu, stereo jadi standar audio di seluruh dunia.
![]() |
Lanjut ke era berikutnya, ada surround sound. Biasanya muncul di bioskop atau home theater. Speaker-nya gak cuma di depan kiri-kanan, tapi juga di belakang, kadang di samping. Format populer kayak 5.1 atau 7.1 bikin kita serasa dikepung suara, ada yang bisik-bisik di belakang, ada yang teriak di depan. Cocok banget buat film action atau horor.
Terus, sekarang kita udah masuk ke level yang lebih canggih lagi, immersive sound. Ini teknologi yang memungkinkan suara datang dari segala arah. Ada kiri, kanan, depan, belakang, atas, bahkan bisa muter-muter di kepala.
Teknologi kayak Dolby Atmos, spatial audio dari Apple, sampai Sony 360 Reality Audio bikin suara terasa lebih nyata. Jadi bukan cuma soal bagus, tapi juga soal pengalaman. Dengarnya bisa bikin merinding karena detailnya serasa deket banget.
Tapi di Indonesia, suara gak cuma soal detail. Di saat dunia makin niat bikin suara makin detail dan halus, di beberapa daerah, terutama di Pulau Jawa, muncul tren sound horeg.
Buat yang belum pernah denger istilah ini, sound horeg itu semacam sound system rakitan yang ukurannya bisa segede tembok rumah yang dibawa pakai truk, dengan suara yang bisa bikin tembok getar, genteng lompat, dan kaca pecah.
Kata horeg sendiri dari bahasa Jawa, artinya bergetar atau berguncang. Emang, kalau kamu berdiri deket-deket speaker-nya, bukan cuma kuping yang denger, tulang rusuk juga ikutan deg-degan.
Baca juga: Gerilya Dunia Pop Culture Lokal |
Biasanya sound horeg muncul di acara seperti konvoi takbiran, karnaval kampung, atau pesta ulang tahun. Kadang malah sampai jadi ajang adu gengsi antar warga. Siapa yang punya speaker paling tinggi, paling banyak, dan paling keras, dia yang jadi bintang jalanan.
Dari luar mungkin kelihatan norak dan bising, tapi sebenarnya di balik sound horeg itu ada budaya kreatif juga. Penggemar audio modifikasi ngulik alat-alat, rakit amplifier, nyusun box speaker sendiri. Ada seni dan kecintaan tersendiri di balik gemuruh itu.
Masalahnya, kadang lupa batas. Acara bisa sampai larut malam, volume mentok, dan tetangga yang cuma pengen tidur jadi ikut deg-degan kayak nonton konser metal dari dalam kamar.
Baik immersive sound maupun sound horeg, dua-duanya punya tujuan yang mirip, bikin pengalaman suara jadi lebih terasa. Bedanya, yang satu teknikal, satunya lagi brutal.
Immersive sound didesain buat kasih detail yang tajam, arah suara yang presisi, dan sensasi seolah kita ada di dalamnya. Cocok buat kamu yang suka dengerin konser klasik, film kualitas tinggi, atau musik ambient yang mengalun tenang.
Sementara sound horeg, lebih ke ngejar dampak fisik. Bukan cuma kedengeran, tapi kerasa. Suaranya bukan buat dihayati, tapi buat yang gak menikmati naik darah.
Perkembangan audio bukan cuma soal teknologi, tapi juga soal cara manusia menikmati suara. Di satu sisi ada insinyur yang bertahun-tahun bikin algoritma suara 3D biar terdengar seimbang. Di sisi lain ada 'Thomas Alva Edi Sound', ngutak-ngatik rakitan bahkan katanya sampai gak tidur berhari-hari demi bikin speakernya ngalahin sound tetangga RW sebelah.
![]() |
Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberi penjelasan mengenai munculnya fatwa terhadap keberadaan sound horeg. Diketahui sound horeg kini diharamkan MUI Jawa Timur.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam, menjelaskan kemunculan Fatwa yang dikeluarkan MUI memiliki mekanisme alias gak serta merta muncul. Sebelum fatwa haram yang dikeluarkan MUI Jawa Timur, ada perbincangan dengan berbagai pihak termasuk pelaku usaha hingga ahli kesehatan masyarakat.
"Dan dari hasil penelaahan itu, terbukti bahwa kemampuan orang untuk mendengar, itu melebihi dari apa yang terdengar melalui sound horeg itu. Artinya, kekuatan suara yang dikeluarkan oleh sound horeg itu berdampak nyata terkait dengan kesehatan seseorang," ujar Asrorun Niam kepada wartawan di Asrama Haji, Jakarta Timur, Sabtu (26/7/2025).
Lalu dia menjelaskan bukan hanya dari sisi kesehatan, suara yang dikeluarkan sound horeg juga dapat menimbulkan kerusakan di lingkungan. Termasuk merusak rumah akibat kerasnya suara yang keluar dari sound horeg.
"Karena itu pemerintah perlu mengambil langkah-langkah untuk membangun harmoni di tengah masyarakat dan mencegah seluruh aktivitas yang bisa merusak harmoni dan juga merusak kenyamanan dan juga ketertiban umum," jelas dia.
"Jangan ini dibiarkan hanya karena persoalan ekonomi, sementara ada kelompok masyarakat besar yang dirugikan."
"Intinya bukan soundnya. Kalau soundnya digunakan untuk kepentingan hal yang baik dan tidak merusak, kemudian diputar pada waktu yang tepat, tidak mengganggu masyarakat, maka itu tentu dibolehkan ya," tegasnya.
(nu2/mau)