Kontras Sound Design serta Musik Skoring dalam Siksa Kubur

Suara menjadi salah satu aspek dari audio visual yang nggak jarah tak diacuhkan penonton. Nggak seperti cerita yang tiap penonton pasti mengikuti, ataupun visual yang selalu dilihat, suara kadang seperti sering terlewat.
Namun apakah artinya audio tak memegang peranan penting dalam film? Nyatanya nggak gitu. Audio memegang kunci penting dalam penciptaan sebuah karya film karena ini adalah produk audio-visual.
Di setiap film, musik dan suara terasa bias karena tercampur larut bersama dengan filmnya tapi hal itu menunjukkan bahwa audio berperan penting dalam dramatisasi film.
Sama seperti di film horor, kunci untuk menciptakan rasa ketegangan berawal dari adanya skoring yang mencekam ataupun design suara yang terasa aneh. Hal ini membantu untuk meningkatkan intensitas ketakutan penonton yang nantinya akan dibantu dengan visual yang mengerikan.
Pada Siksa Kubur, Joko Anwar kembali melakukan eksperimen dalam suara. Bersama Aghi Narottama, mereka sepakat untuk menampilkan skoring yang kontras dengan visualnya.
Skoring yang biasanya mendukung visual kini dibuat kontradiktif terhadap adegannya. Beberapa adegan tenang disisipi dengan suara mencekam, sementara adegan yang intens diisi dengan suara yang santai.
Hal ini pernah diungkapkan oleh Joko Anwar sendiri bahwa ia menginginkan suatu capaian baru dalam sound dan skoringnya yaitu independen dan mampu bercerita sendiri yang tidak selalu mengikuti apa yang ada di visualnya.
"Jadi dia bisa tidak setuju dengan karakter yang ada di sana. Adegan ini nangis tapi musiknya itu nggak musik yang menandai (adegan sedih), tapi musik yang kebalikannya malah untuk bercerita. Jadi mereka juga harus menjadi karakter dan harus mengatakan sesuatu," ucap Joko Anwar saat ditemui di kantor Come and See Pictures, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Walau ambiguitas ini terkadang membuat kebingungan kepada para penonton, akhirnya cerita yang ingin dibuat masih bisa tersampaikan. Di sisi lain memang terasa seperti terlalu berat dan berlebihan karena memasukan informasi yang banyak dalam satu adegan saja.
Untuk itulah aspek sinematografi diperlukan di titik ini. Di saat musik membawa informasi berbeda, visual berusaha menyajikan informasi yang solid agar penonton masih bisa menerima informasi dari cerita tersebut.
Hal mengenai suara ini mungkin juga didasari atas rasa percaya penonton yang dimana film ini membawa perspektif dari Sita yang merasa tidak percaya. Untuk itu skoring didesain semengganggu mungkin demi mendistorsi indra pendengaran bagi para penontonnya.
Penggunaan frekuensi juga terasa tepat di beberapa momen dan berhasil membantu jalannya cerita. Namun di beberapa bagian ada leveling yang kurang memuaskan sehingga mendistraksi dialog dan membuat penonton kurang mendengar jelas perkataan karakter tersebut.