The Paradise of Thorns: Salah Satu Yang Paling Seru Tahun Ini

Candra Aditya
|
detikPop

EDITORIAL RATING

5/5

AUDIENCE RATING

-
Cuplikan adegan dalam film The Paradise of Thorns.

Sinopsis:

Cerita film ini sangat sederhana. Thongkam (Jeff Satur) dan Sek (Pongsakorn Mettarikanon) adaslah pasangan gay yang sekarang sibuk mengurusi perkebunan durian mereka. Perkebunan durian ini adalah hasil kerja keras mereka berdua.

Thongkam menggunakan seluruh uangnya untuk mengembalikan lagi tanah warisan Sek kepada pasangannya tersebut. Sebentar lagi mereka akan menuai hasilnya. Tapi nasib tidak ada yang tahu. Hari itu Sek kecelakaan dan meninggalkan Thongkam untuk selamanya.

Meninggalnya Sek tentu saja mengguncang Thongkam. Tapi kejutan tidak berhenti disana. Keluarga Sek yang tersisa, ibunya Saeng (Srida Puapimol) dan Mo (Engfa Waraha), muncul dalam hidup Thongkam.

Pasalnya, kepemilikan perkebunan durian itu masih menggunakan nama Sek. Meskipun hubungan Thongkam dan Sek sudah seperti pasangan yang menikah, Thailand tidak menganggap hubungan kedua laki-laki ini sah. Saeng dan Mo berniat untuk mengambil tanah ini meskipun mereka tahu Thongkam berjasa atas semuanya.

Maka dimulailah permainan catur paling seru sepanjang masa.

Cuplikan adegan dalam film The Paradise of Thorns.Cuplikan adegan dalam film The Paradise of Thorns. Foto: Dok. GDH 559

Review:

Serahkan kepada pembuat film Thailand untuk mempersembahkan film-film mengesankan tahun ini. Membuka 2024 dengan Not Friends yang sungguh menyenangkan, Thailand juga membuat semua orang menangis dengan How To Make Milions Before Grandma Dies.

GDH, rumah produksi yang memproduksi dua film tersebut, kembali hadir dengan gebrakan terbarunya: The Paradise of Thorns. Yang satu ini memang memiliki target market yang lebih niche. Tapi kalau kamu pecinta film yang membuat emosi, film ini adalah pilihan yang sangat tepat.

Cuplikan adegan dalam film The Paradise of Thorns.Cuplikan adegan dalam film The Paradise of Thorns. Foto: Dok. GDH 559

Ditulis oleh Naron Cherdsoongnern, Karakade Norasethaporn dan sutradara Naruebet Kuno, The Paradise of Thorns adalah sebuah tontonan yang sangat seru. Bayangkan Ipar Adalah Maut tapi lebih berdarah dan dibuat dengan desain produksi yang lebih mewah.

Setiap jengkal film ini menawarkan konflik yang tak berkesudahan. Ketika kamu berfikir bahwa sudah tidak ada lagi yang bisa membuat layar bergetar, Naruebet Kuno menampilkan kejutan lagi yang akan membuat penonton mana pun melongo.

Mudah bagi penonton awam untuk menilai The Paradise of Thorns seperti sinetron. Asumsi ini tidak keliru. Banyak aspek dalam film ini yang terasa seperti soap opera: karakter yang saling tusuk menusuk, gaya akting yang agak berlebihan, belum lagi musik yang menggebu-gebu; memaksa semua penonton untuk merasakan pertikaian yang ada.

Tapi kata yang lebih tepat untuk menggambarkan The Paradise of Thorns adalah "campy". Camp adalah sebuah gaya estetik dan sensibilitas yang sengaja dibuat berlebihan, terutama ketika ada elemen ironis di dalamnya. Istilah ini lebih umum dipakai oleh komunitas LGBTQ+.

Tidak mengherankan jika Naruebet Kuno mengemas film ini layaknya sebuah sinetron mahal karena keputusan estetik tersebut sangat beririsan dengan konten yang ia sampaikan. Banyak hal yang bisa dibahas dalam film ini. Penggambaran karakternya yang matang dan jelas; siapa pun mengerti motivasi masing-masing karakter.

Bagaimana Naruebet Kuno menggunakan musik score yang fantastis untuk mempertebal drama yang ada di layar. Atau bagaimana tidak ada satu pun karakter dalam film ini yang benar-benar putih. Tapi bagi saya, yang paling menarik dalam The Paradise of Thorns adalah keputusannya untuk menempatkan karakter gay.

Cuplikan adegan dalam film The Paradise of Thorns.Cuplikan adegan dalam film The Paradise of Thorns. Foto: Dok. GDH 559

Dalam film ini, tidak ada lagi soal perang batin seorang karakter menyukai sesama jenis. Atau bagaimana reaksi karakter lain terhadap karakter gay. Dalam The Paradise of Thorns, orientasi seksual tidak dianggap sebagai masalah yang serius (kecuali menjadi katalis perebutan aset). Dan ini adalah sebuah hal yang sangat fresh.

Yang juga menarik untuk dicatat adalah semua orang yang ada di layar paham dengan jenis film apa yang sedang mereka buat. Tidak ada satu pun dari aktor yang ada di film ini seperti salah film. Mereka semua rata bagusnya. Jeff Satur, meskipun agak kurang meyakinkan sebagai petani durian karena dandanannya lebih seperti artis film yang sedang tamasya, tahu bagaimana cara menguras emosi.

Engfa Waraha membuat saya gemas setiap kali dia tersenyum misterius. Srida Puapimol tahu bagaimana menjadi emak-emak yang baik di depan tapi busuk di belakang. Harit Buayoi sebagai Jingna adalah sosok yang pas untuk membuat penggemar BL menjerit.

Kolaborasi aktor-aktor yang dahsyat ini menjadikan The Paradise of Thorns benar-benar seru. Kalau ada satu kritik mengenai film ini, hampir semua penonton sepertinya setuju bahwa The Paradise of Thorns bisa berakhir lima belas menit lebih awal.

Tapi sesuai judulnya, film ini tidak tertarik untuk memberikan senja yang indah bagi karakter-karakternya. Pada akhirnya, ini adalah perang orang-orang yang gengsi dan serakah. Dan saya tidak bisa protes karena tidak ada drama yang lebih seru daripada keluarga yang saling tikung demi kemenangan.

Genredrama, thriller
Runtime131 minute
Release Date22 August
Production Co.

GDH 559

Jai Studios

DirectorNaruebet Kuno
Writer

Naruebet Kuno

Naron Cherdsoongnern

Karakade Norasetaphorn

Cast

Jeff Satur as Thongkam

Engfa Waraha as Mo

Srida Puapimol as Saeng

Harit Buayoi as Jingna


TAGS


MOVIE LAINNYA

SHOW MORE