Review Teater
Lakon Dag Dig Dug Teater Populer: Nyeleneh dan Sarat Kritik Sosial

Adalah Slamet Rahardjo sebagai 'otak' dari adaptasi lakon Dag Dig Dug yang pernah dipentaskan sekitar 48 tahun yang lalu. Slamet Rahardjo bukan sembarangan menyutradarai, menulis ulang naskahnya, bahkan melakukan beberapa pembaharuan agar kontekstual.
Mulai dari nama-nama para lakon yang diubah jadi kekinian, narasi kritik sosial dan politik hingga turunnya banyak dialog soal demokrasi yang tak berkesudahan dari setiap zaman.
Perubahan juga berlanjut di karakter. Dari dua pasang suami-istri, jadi cuma sepasang yakni Bapak Salamun (Slamet Rahardjo) dan Hartati (Niniek L Karim).
Cerita bermula dari polemik uang duka anak angkat keduanya yang bernama Chaerul Umam. Dia adalah seorang aktivis pergerakan yang namanya melegenda di kalangan mahasiswa. Chaerul Umam juga jadi simbol harapan bangsa.
Kematian Chaerul Umam karena tablak lari di tengah malam jadi permasalahan, penabraknya belum ditangkap polisi. Giarno (Donny Damara) dan Giarto (Reza Rahadian) tiba membawa uang duka dari Jakarta. Keduanya menerimanya namun Hartati baru sadar, uangnya tak sama dengan jumlah lembaran kwitansi yang ditanda tangani.
Deg-degan, itulah rasanya bagi Salamun dan Hartati. Mereka terlibat dalam politik uang, secara tak langsung. Babak pertama diakhiri oleh suara tokek di tengah perdebatan akan dikemanakan uang tersebut.
![]() |
Babak kedua, cerita berlanjut saat kehidupan sepasang suami-istri berusia matang itu sibuk memikirkan lahan bagi pemakamannya. Mereka kabarnya membeli semen, pasir, dan bambu, maupun kayu buat jenazahnya.
Mereka juga membeli peti mati berbahan kayu jati. Deg-degan menuju kematiannya, itulah yang dirasakan keduanya. Salamun dan Hartati punya pembantu yang setia bernama Cokro. Berpakaian perempuan tapi agak maskulin, saban hari Cokro dapat perlakuan yang nggak adil sampai terus-terusan dimarahi.
"Apalagi, ndoro? Makin tua kok makin cerewet, sibuk marah-marah terus," ucap Cokro yang diperankan Jose Rizal Manua.
Jose Rizal Manua jadi sorotan sepanjang babak. Bagaimana seorang rakyat kecil terus ditindas tanpa ada belas kasihan. Permainan karakter yang dimainkan ketiganya jadi pembicaraan yang tak berkesudahan, stamina Slamet Rahardjo dan Niniek L Karim yang seakan bermonolog di usianya terkini patut diacungi empat jempol.
Dag Dig Dug bukan sebuah naskah yang berasal dari Orde Baru. Jika di tahun 1977, Teater Populer menggelar pementasan dengan sarat kritik akan rezim yang belum juga tumbang, maka di awal 2025 masalah demokrasi masih menjadi sentilan Teater Populer. Pagar laut yang ada di Tangerang juga jadi pembicaraan, permasalahan penindasan rakyat kecil dari setia zaman masih relevan dibicarakan di masa sekarang.
Seperti kata Slamet Rahardjo. "Yang tulus dan yang jujur (akan selamat). Karena di akhir cerita ini, aku terpaksa minta maaf pada Cokro (lambang rakyat kecil). Gambaran hari ini tidak terlalu berlebihan, minta maaf pun."
Lama nggak pernah manggung, inilah rasanya nonton pertunjukan kelompok teater tertua di Indonesia setelah hibernasi panjang: deg-degan sekaligus penuh kejutan. Pentas Teater Populer Dag Dig Dug sukses diselenggarakan selama dua hari pada 25-26 Januari 2025 di Teater Salihara, kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
(tia/dar)